Rabu, 01 April 2009

Kepada siapa al-wala dan al-baro' di berikan...???


PENGABAIAN BATASAN AL-WALA’ WAL-BARA’
Kepada Siapa Al-Wala’ Wal Bara’ Diberikan ?


Allah berfirman:
“Sesungguhnya penolong kalian hanyalah Allah, RosulNya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan sholat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk kepada Allah”
Ayat yang mulia ini membatasi al-wala’ orang-orang Mukmin hanya kepada:
1. Allah ta’ala
2. Rosulullah saw
3. Orang-orang Mukmin
Dalam menafsirkan ayat ini dan dalam membatasi dasar Al-Wala’ Al-Allamah AlAlusy berkata dalam ruhul ma’any,”Allah menunggalkan penolong yang disertai dengan macam-macamnya, agar memberikan makna tertentu. Seakan dikatakan,”Al-Wala hanya bagi Allah yang menjadi dasarnya, kepada Rosulullah dan orang-orang mukmin yang mengikutinya’. Gambarannya, penolong kalian adalah Allah, begitu pula RosulNya dan Orang-orang mukmin. Sehingga dalam pernyataan ini ada dasar-dasar yang mengikutinya.
Inilah yang dijelaskan Allah tentang pembatasan Al-Wala’. Lalu bagaimana pemahaman Al-wala’ wal bara’ menurut dewan perwakilan? Al-wala’ itu ditujukan kepada kepala negara, pemerintah dan negara. Hal ini dicantumkan dalam teks undang-undang negara yang menerapkan sistem demokrasi.
Ungkapan praktis tentang makna al-wala’ ialah yang menyatu dalam cinta, taat dan mengikuti. Lalu bagaimana mungkin menyatukan dua hal yang saling bertentangan: cinta kepada Allah dengan cinta kepada kepala negara yang sama sekali tidak mencintai Allah, cinta kepada Rosulullah dengan cinta kepada pemerintah yang menghalangi aplikasi apa yang dibawa Rosulullah saw, cinta kepada orang-orang mukmin dengan cinta kepada negara yang menjadikan pengorbanan nyawa demi negara sebagai ganti dari pengorbanan nyawa di jalan Allah, berperang membela negara dengan berperang membela Islam?
Benar, dua cinta yang saling bertentangan dan bermusuhan itu tidak bisa dipertemukan di dalam satu hati dan di satu waktu. Allah berfirman:
"ما جعل الله لرجل من قلبين فى جوفه"
“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya”. Al-Ahzab:4

Al-Ustadz Sayyid Quthub menjelaskan ayat tentang Al-wala’ diatas:”dalam bentuk yang singkat ayat ini tidak memberikan untuk takwil. Sebab pada hakikatnya ini termasuk masalah aqidah dan masalah harakah berdasarkan aqidah ini, agar Al-wala’ hanya bagi Allah secara murni, agar menjadi satu-satu agama, agar pemilahan yang jelas antara barisan orang mukmin dan barisan-barisan yang tidak menjadikan Islam sebagai agamanya dan tidak menjadikan Islam sebagai manhaj kehidupannya.”
Lalu apakah orang-orang mukmin yang duduk di dewan perwakilan tidak memperhatikan sisi yang amat penting ini dalam mewujudkan makna al-wala’ bagi Allah, RosulNya dan orang-orang Mukmin.
Bersamaan dengan lunturnya makna-makna al-wala’, maka makna-makna al-baro’ juga terabaikan. Sebab keikut sertaan orang-orang muslim di dewan perwakilan dalam lingkup hukum thogut, memberikan peluang bagi para thoghut untuk mendapatkan lagelitas Islam di mata rakyat banyak. Laber ini menjalar ke ketetapan-ketetapan hukum dan slogan-slogan mereka di luar Islam. Sehingga sesuatu yang mestinya didukung oleh orang-orang muslim berubah menjadi sesuatu yang dihindari.

Menyetujui Sistem Thoghut sama Dengan Loyal Kepadanya
Allah berfirman:
“karena itu barang siapa yang ingkar kepada thoghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang tidak akan putus.” Al-Baqoroh: 256
mengingkari thoghut artinya mengingkari sistem dan jalannya, tidak mengambil pemikiran dan pendapatnya, apalagi hal-hal yang khusus tentang aqidah dan syari’at.
Al-Ustadz Sayyid Quthb berkata di dalam Azh-Zhilal,”thoghuth merupakan bentukan dari kata at-tughyan, yang berarti apa pun yang melanggar kebenaran dan keluar dari batas yang telah ditetapkan Allah, atau bisa berarti setiap sistem yang tidak berasal dari Allah, setiap konsep, aturan, adab atau kebiasaan yang tidak berasal dari Allah. Siapa yang mengingkari semua ini dengan segala gambarannya, beriman kepada Allah dan bersandar kepadaNya, maka dia akan selamat.”
Allah berfirman:
“Allah pelindung orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan, orang-orang yang kafir, pelindungnya adalah syaithon yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqoroh; 257)

ayat ini mengisyaratkan bahwa wala’nya para thoghut merupakan tanda yang amat jelas tentang kekafiran mereka kepada Allah. Cahaya yang dimaksud di sini adalah kitab Allah yang diturunkanNya kepada RosulNya.
Jika hal ini sudah dipahami, maka seperti yang sudah diketahui, tugas pertama dewan perwakilan adalah membuat ketetapan dan tugas kedua adalah pengawasan. Dewan bisa menetapkan hukum dan undang-undang, mengawasi pelaksanaannya oleh lembaga eksekutif atau pemerintah. Seperti yang sudah kami jelaskan di atas, dewan perwakilan ini memilki kebebasan membuat ketetapan. Artinya, ia bisa membuat ketetapan sekehendak hati tanpa diikat dengan syariat Allah. Padahal intisari dari ketetapan itu dinukil dari kalangan Yahudi dan Nasroni. Karena dewan ini menyingkirkan ketetapan dalam Al-Kitab dan As-Sunnah lalu berdiri sendiri untuk menetapkan hukum, maka dari sisi ini dewan perwakilan layak disebut thoghut. Jika ia mengikuti ketetapan hukum orang-orang Yahudi dan Nasroni, berarti ia mengikuti ketetapan hukum thoghut. Ini merupakan makna lain. Biasanya dewan mengkompromikan antara dua makna ini. Sementara Allah telah memperingatkan orang-orang Mukmin agar tidak loyal kepada orang-orang Yahudi dan Nasroni. Jika mereka melakukannya, maka mereka termasuk golongan Yahudi dan Nasroni.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu sekalian mengambil 0rang-orang Yahudi dan nasroni menjadi pemimpin-pemimpin kalian. Sebagian mereka menjadi pemimpin sebagian yang lain. Barangsiapa diantara kalian mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim”. (Al-Maidah : 51)
Al-Allamah Al-Qurthuby berkata di dalam Al-jami’ Li’ahkaamil Qur’an,”Makna, sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain’, adalah dalam tolong-menolong. Karena dia telah menyalahi Allah dan Rosul-Nya seperti yang mereka lakukan, maka dia juga harus dimusuhi sebagaimana juga mereka layak dimusuhi, dia pasti mendapat neraka sebagai mana mereka juga mendapat neraka, sehingga dia termasuk golongan mereka dan menjadi rekan mereka.”
Rosulullah saw dan para sahabatnya telah memperingatkan agar tidak mencari pertolongan atau bertanya tentang sesuatu kepada para Ahli Kitab. Al-Imam Ahmad meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, dia berkata,”Rosulullah saw bersabda,:
“janganlah kalian bertanya kepada Ahli kitab tentang sesuatu, karena sekali-kali mereka tidak dapat memberikan petunjuk kepada kalian, sedang mereka telah sesat. Maka kalian entah membenarkan kebathilan ataukah mendustakan kebenaran. Sesungguhnya sekiranya Musa masih hidup di antara kalian, maka tidak ada pilihan baginya kecuali mengikutinya.”
Meskipun hadits ini dho’if, karena keberadaan Almujalid bin Sa’id yang tidak kuat seperti yang dikatakan oleh Al-Hafidz di dalam At-targhib, tapi hadits ini diperkuat perkataan yang serupa dari beberapa sahabat. AL-Bukhori menerjemahkan di dalam kitab AL-I’tishom dam shohihnya satu bab dan menyebutkan sabda Rosulullah saw,”janganlah kalian bertanya kepada Ahli kitab tentang sesuatu.”
Dalam riwayat Al-Bukhori disebutkan bahwa Ibnu Abbas ra. Berkata,”bagaimana mungkin kalian bertanya ahli kitab tentang sesuatu, sementara kitan kalian yang diturunkan kepada Rosulullah saw lebih baru, kalian membacanya secara murni dan tidak tercampur. Kalian juga telah diberitahu bahwa ahlu kitab mengganti kitab Allah dan merubahnya. Mereka menulis kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu berkata,”Ini berasal dari sisi Allah”, agar dengan begitu mereka dapat menjualnya dengan harga yang murah. Ilmu yang datang kepada kalian tidak melarang kalian untuk bertanya kepada mereka. Tidak, demi Allah, kami tidak melihat seorang pun diantara mereke bertanya kepada kalian tentang apa yang diturunkan kepada kalian.”
Kesimpulannya, sekali-kali orang Yahudi dan nasroni tidak bisa memberi petunjuk kepada orang-orang muslim, karena mereka telah sesat. Maka bagaimana mungkin ketetapan hukum diambilkan dari mereka? Yang lebih celaka lagi, ketetapan – ketetapan hukum dari mereka ditempatkan sebagai pengganti syari’at Allah yang sudah pasti. Adakah al-wala’ terhadap mereka yang lebih besar dari sikap ini?.

Al-Wala’ Kepada Simbol-simbol Thoghut
Sistem yang diterapkan penguasa, entah sistem diktator atau demokrasi, tentu akan menciptakan simbol-simbol yang digunakan sebagai selubung yang harus dimuliakan. Diantara simbol-simbol itu adalah:
- penghormatan kepada bendera negara. Untuk itu dibuat acara-acara tertentu dan semua orang yang melakukan penghormatan kepada bendera. Di sekian banyak negara Islam, meskipun tidak semuanya, acara-acara ini dianggap suci dan sakral seperti layaknya syiar – syiar ibadah. Padahal seperti itu tidak layak dilakukan kecuali kepada Allah semata.
- Mengucapkan kalimat,”hidup kepala negara”, yang juga diagung-agungkan. Biasanya para murid di sekolahan harus menggumamkan kalima ini pada pagi hari sebelum memulai pelajaran, meskipun kepada negara itu termasuk makhluk Allah yang hina dan tidak layak dimuliakan.
- Bersumpah untuk menghormati undang-undang. Semua anggota dewan perwakilan, termasuk pula orang muslim harus melakukan sumpah ini.

Yang perlu dipertanyakan, bagaiamana mungkin seorang wakil dari kalangan muslimin bersumpah untuk menghormati undang-ungan dan hukum negara, padahal keduanya bertentangan dengan syari’at Islam??
Sesungguhnya sumpah merupakan pengakuan yang amat jelas dan tidak ada kesamar-samaran di dalamnya, yang mencerimintah al-wala’ kepada thoghut dan sistem yang dibuatnya. Yang seiring dengan waktu, kita melihat sebagian orang muslim bersumpah kepada thoghut dengan maksud agar menyenangkannya. Padahal thoghut tidak membutuhkan mereka. Allah ta’ala berfirman:
“mereka bersumpah kepada kalian dengan nama Allah untuk mencari keridloan kalian, padahal Allah dan RosulNya itulah yang lebih patut mereka cari keridloannya, jika mereka adalah orang-orang yang beriman.” (At-Taubah: 62)
maka bagaimana mungkin orang-orang muslim yang duduk di dewan bersumpah untuk menghormati undang-undang dan hukum positif, padahal Allah telah berfirman:
“dan, tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan wanita yang mukminah, apabila Allah dan RosulNya telah menetapkan sesuatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan, barangsiapa mendurhakai Allah dan RosulNya, maka sungguhlah dia sudah sesat, sesat yang nyata.” (Al-Ahzab: 36)
berpaling dari sebagian apa yang diturunkan Allah saja sudah diperingatkan, lalu bagaimana dengan meninggalkan semua itu dan bersumpah untuk menghormati selainnya??

Bekerjasama dan Tolong menolong Bersama Musuh-musuh Allah.
Allah berfirman:
" مُّحَمَّدُُ رَّسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّآءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ"
“muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka” (Al-fath;29)
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa diantara kalian yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin dan yang menundukan orang-orang kafir.” (Al-Maidah: 54)
Allah mensifati orang-orang mukmin dengan dua sifat: keras terhadap orang kafir dan menundukan mereka.
Orang-orang muslim yang duduk di dewan justru ada dalam dua hal yang diperingatkan:
1. mereka bahu membahu, koalisi dan tolong menolong dengan orang-orang kafir lewat saluran nasionalisme atau lewat panitia bersama atau lewat jalinan kerja sama dengan partai-partai sekuler. Biasanya yang demikian itu harus dilakukan sebelum masuk ke pemilihan anggota dewan dan ketika proses pemilihan. Sementara orang-orang kafir itu bisa saja berasal dari kalangan Nasroni, Druz, Nushairiyah, Isma’iliyah, Baath, komunis atau lain-lainnya, seperti yang terjadi di Syiria, Mesir dan beberapa negeri lainnya.
2. mereka harus bekerja sama, koalisi dan tolong menolong dengan orang-orang non muslim di dalam dewan perwakilan lewat panitia bersama, yang berarti harus menunjukan sikap lemah lembut, bersahabat dan wajah yang berseri, apalagi jika tugas panitia bersama ini ialah untuk mengkaji rancangan undang-undang yang diajukan ke dewan perwakilan, yang tentunya itu semua merupakan hukum positif, yang terkadang mereke harus bertentangan dengan syari’at Islam atau diam saja ketika melihat sesuatu yang bertentangan dengan syari’at.

Semua tindakan dan sikap ini jelas bertentangan dengan fiman Allah ta’ala:
“kamu tidak dapat mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, seling berkasih sayang dengan orang-orang yang menantang Allah dan Rosul-Nya, sekalipun orang itu bapak-bapak atau anak-anak atau saudara-saudara atau keluarga mereka.” (Al-Mujadilah : 22)
Bahkan Allah mensifati orang-orang semacam itu sebagai orang-orang munafiq,
“(yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mu'min. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.” (An-Nisa: 139)
begitulah keadaan orang-orang muslim yang berada di dewan perwakilan, yang terseret kesalahan fatal dalam mempraktekan pengertian al-wala’ wal bara’ sehingga tidak ada warna yang jelas.

Bersikap Lemah lembut Terhadap Musuh-musuh Allah Termasuk Loyal Kepada Mereka
Orang-orang muslim adalah satu barisan, yang memiliki aqidah dan minhaj robbany tersendiri. Sementara orang-orang non muslim terdiri dari berbagai barisan yang berpencar-pencar, yang memiliki aqidah dan jalan syetan. Tugas-tugas orang muslim terhadap orang-orang non muslim ialah mengajak agar masuk Islam dan tunduk di bawah benderanya, sehingga mereka pun ke dalam barisan orang-orang muslim. Hal ini tidak akan terwujud kecuali jika orang-orang Muslim tetap menjaga superioritas ke-islamannya dan celupan Robbany. Allah telah berfirman:
" صِبْغَةَ اللهِ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ صِبْغَةً وَنَحْنُ لَهُ عَابِدُون"
“celupan Allah, dan siapakah yang lebih baik celupannya dari pada Allah ? dan, kepadaNyalah kami menyembah.”
Tidak boleh bersikap lemah lembut dan lunak terhadap musuh-musuh Allah, Firman-Nya:
“maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu).” (Al-Qolam: 9)
Ibnu Abbas berkata,”artinya, sekiranya mereka memberi keringanan kepada mereka, maka mereka pun akan memberikan keringanan kepadamu.”
Menurut Mujahid, Mereka ingin kamu cenderung kepada sesembahan mereka dan kamu meninggalkan kebenaran yang ada padamu.
Begitulah harapan orang-orang kafir dan musyrik, agar orang-orang muslim melepaskan aqidah dan agamanya, atau minimal sebagian diantaranya, dan orang-orang kafir itu akan melepaskan sebagian kebatilannya. Demi Allah, ini merupakan pembagian yang curang. Orang yang melepaskan sebagian kebatilannya tidak akan merugi sedikit pun. Yang rugi adalah pihak yang harus melepaskan sebagian kebenaran yang dipeganginya.
Hasan Al-Alawy, seorang penduduk Irak yang nasionalis dan berasal dari kalangan syi’ah berkata,”seorang pemikir nasionalis terkenal, Sathi’ Al-Hishry diserahi tugas untuk merancang sistem pendidikan dan pengajaran. Maka dengan kewenangan yang dimiliki dan dengan keleluasaan alasannya dia bisa menjauhkan Islam lewat kurikulum, menjadikan pelajaran sejarah Arab yang diwarnai Islam hanya sekedar pelajaran sampingan, jika dibandingkan dengan materi sejarah Eropa.
Orang-orang semacam ini selalu menunggu-nunggu kapan bencana akan menimpa orang-orang muslim, mengharap kekalahan dan kehancuran menimpa mereka. Mereka itu telah disifati Allah:
“Mereka bakhil terhadapmu, apabila datang ketakutan (bahaya), kamu lihat mereka itu memandang kepadamu dengan mata yang terbalik-balik seperti orang yang pingsan karena akan mati, dan apabila ketakutan telah hilang, mereka mencaci kamu dengan lidah yang tajam, sedang mereka bakhil untuk berbuat kebaikan.Mereka itu tidak beriman, maka Allah menghapuskan (pahala) amalnya.Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Al-Ahzab : 19)
maka bagiamana mungkin orang-orang muslim yang duduk di dewan perwakilan memberikan kebebasan dan menjaminnya kepada orang-orang yang jahat seperti itu?. Tidak dapat diragukan lagi bahwa sikap seperti ini muncul karena adanya celah yang amat lebar dalam pemahaman al-wala’ wal bara’.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan berikan nasehat anda :