Jumat, 10 Juli 2009

Bantahan syubhat2 dalam jihad


“Jihad disyariatkan di saat yang paling tepat. Sebab ketika orang-orang Beriman masih di Mekkah, kaum musyrikin lebih banyak jumlahnya. Kalau Alloh perintahkan Kaum Muslimin memerangi kaum musyrikin yang ada padahal jumlah mereka tidak sampai sepersepuluh, tentu itu berat bagi mereka. Maka tatkala kedudukan mereka di Madinah kokoh dan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam datang kepada mereka dan merekapun berkumpul membela Syubhat pertama: Mereka mengatakan, “Tidak ada jihad kecuali bersama Khalifah…” (Umat ini tidak boleh berjihad dan melawan kezaliman dan serangan musuh sebelum adanya khalifah!!)
Jawaban:
Ini adalah syubhat yang diwahyukan syetan kepada para mukhodziluun (para pelemah semangat) yang menghalangi orang untuk berjihad jihad di zaman kita sekarang ini.
Alloh ta‘ala berfirman:
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi setiap Nabi musuh dari manusia dan jin yang sebagian mewahyukan kepada yang lain perkataan yang indah untuk menipu, dan seandainya tuhanmu mau, mereka tidak akan melakukannya, maka biarkanlah mereka dengan apa yang mereka buat-buat. Dan agar hati orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat itu mendengarnya, dan agar mereka mengerjakan apa yang mereka kerjakan.”
Kemudian syubhat ini dinukil orang lain karena prasangka baiknya terhadap mereka.
Bantahan terhadap syubhat ini ditinjau dari beberapa sisi:
Pertama: Tidak ada dalil dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang membenarkan pensyaratan seperti ini. Yang ada, semua nash syar‘i yang memerintahkan jihad fî sabilillah –yang sedemikian banyak— tercantum secara mutlak tanpa adanya ikatan waktu, tempat atau sifat tertentu, seperti syarat yang disebutkan dalam syubhat ini..!
Kedua: Tidak adanya satu pun shahabat atau ulama terpercaya –generasi terdahulu maupun belakangan—yang mengatakan pernyataan baru dan “asing” ini. Artinya, perkataan ini adalah perkara baru yang masuk ke dalam khazanah fikih Islam yang tidak menyisakan satu penyimpangan atau kejadian kecuali membahasnya.
Ketiga: Pengikatan dan pensyaratan ini mengandung konsekwensi tidak diamalkannya ribuan Nash Syar‘i yang menganjurkan dan memerintahkan berjihad. Kesannya syarat ini begitu penting, padahal ternyata tidak tercantum –baik secara isyarat atau hanya sekilas— dalam satu nash syar‘I pun; tidak juga dalam perkataan satu pun dari ulama terpercaya, padahal penjelasan dari agama Islam ini sudah sempurna. Nabi kita Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak meninggalkan perkara yang bisa mendekatkan kita ke surga atau menjauhkan kita dari neraka kecuali telah menerangkannya kepada umat. Sebagaimana firman Alloh ta‘ala:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا
“Hari ini telah kusempurnakan agama kalian dan Ku-lengkapi nikmat-Ku terhadap kalian, dan Aku ridho Islam sebagai agama kalian.”
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Tidak kutinggalkan satu perkarapun yang mendekatkan kalian kepada Alloh kecuali telah kuperintahkan. Dan tidak kutinggalkan satu perkarapun yang menjauhkan kalian dari Alloh dan mendekatkan kalian kepada neraka kecuali sudah kularang kalian darinya.”
Para shahabat mengatakan, “Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak meninggalkan masalah seekor burung yang mengepakkan kedua sayapnya di langit kecuali telah menerangkan ilmunya kepada kami.”
Jika agama telah sempurna, dan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak meninggalkan satu perkara pun yang mendekatkan kita kepada Alloh kecuali telah menerangkannya, sampai burung yang terbang di langit saja beliau sudah terangkan ilmunya kepada umatnya, lantas di mana penjelasan dan penyebutan ikatan dan syarat yang nampaknya begitu penting ini..?!
Kami tidak bisa mengatakan apapun selain meyakini dengan pasti bahwa syarat ini rusak dan bathil, pensyaratan ini adalah perkataan baru dan masuk ke dalam fikih Islam.
Di dalam sebuah hadits shohih dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam –seperti dalam Shohih Bukhori dan lain-lain—beliau bersabda,
“Mengapa orang-orang tersebut mensyaratkan syarat yang tidak ada dalam Kitab Alloh? Barangsiapa yang mensyaratkan syarat yang tidak ada dalam Kitabullôh, maka tidak benar. Meskipun syarat itu seratus kali. Syarat Alloh tetaplah lebih benar dan lebih kukuh.”
Keempat: Nash-nash syar‘i menunjukkan dengan jelas dan pasti bahwasanya jihad akan terus berlanjut di setiap zaman hingga hari kiamat, sama saja apakah kaum muslimin memiliki khalifah atau pimpinan pusat atau tidak. Di antara nash tersebut:
• Sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:
«لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ يُقَاتِلُوْنَ عَلىَ اْلحَقِّ ظَاهِرِيْنَ، إِلَى يَوْمِ اْلقِيَامَةِ»
“Akan selalu ada satu kelompok dari umatku yang berperang di atas kebenaran, mereka menang hingga hari kiamat.”
• Di dalam hadits Jabir bin Samuroh disebutkan:
“Senantiasa agama ini tegak, berperang di atasnya satu kelompok dari umatku sampai (menjelang) hari kiamat.”
• Di dalam hadits ‘Uqbah bin ‘Amir disebutkan:
“Akan selalu ada satu kelompok dari umatku yang berperang di atas perintah Alloh, mereka kalahkan musuh mereka, mereka tidak terpengaruh dengan orang yang menyelisihi mereka hingga (menjelang) datang kepada mereka hari kiamat dan mereka tetap seperti itu.”
• Di dalam hadits ‘Imron bin Hushoin disebutkan:
“Akan selalu ada satu kelompok dari umatku yang berperang di atas kebenaran, mereka menang atas orang yang memusuhi mereka sampai kelompok terakhir dari mereka memerangi Al-Masih Dajjal.”
• Di dalam hadits Mu‘awiyah bin Abi Sufyan:
“Akan selalu ada satu kelompok dari kaum muslimin yang berperang di atas kebenaran, mereka menang atas orang yang memusuhi mereka hingga (menjelang) hari kiamat.”
• Dan dari Salamah bin Nufail ia berkata:
“Aku duduk di sisi Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, lalu ada seseorang yang berkata, “Wahai Rosululloh, manusia tidak lagi mengurus kuda dan telah meletakkan senjata, mereka mengatakan: “Tidak ada lagi jihad, perang sudah usai.” Maka Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menghadapkan wajahnya dan bersabda, “Mereka dusta, sekarang, sekarang tiba waktu perang; dan akan senantiasa ada sekelompok dari umatku yang berperang di atas kebenaran; Alloh akan simpangkan hati suatu kaum dan Dia memberi rezeki kelompok tadi dari kaum tersebut hingga (menjelang) tiba hari kiamat dan sampai datang janji Alloh.”
• Dan dari Nawwas bin Sam‘an berkata,
“Usai Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menaklukkan (Mekkah), aku mendatangi beliau dan kukatakan: ‘Wahai Rosululloh, kuda telah dilepas dan senjata telah diletakkan, sungguh perang sudah usai dan mereka mengatakan: Tidak ada lagi peperangan.’ Maka Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Mereka dusta, sekarang datang waktu perang, sekarang datang waktu perang. Sesungguhnya Alloh Jalla wa ‘Ala akan menyimpangkan hati suatu kaum kemudian mereka perangi kaum tersebut dan Alloh beri mereka rezeki dari kaum tersebut sampai tiba ketetapan Alloh kepadanya, dan pusat negeri kaum mukminin adalah Syam.”
Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengkhabarkan bahwa akan selalu ada satu kelompok dari umatnya yang berperang di jalan Alloh dan itu tidak akan terputus hingga akhir zaman. Dan dengan makna ini, banyak para ‘Aimmah mengartikan hadits ini; di antaranya adalah Abu Dawud yang berkata dalam Sunan-nya: Bab Fi Dawamil Jihad (Bab: akan terus berlangsungnya jihad.) Kemudian ia menyebutkan hadits ‘Imron bin Hushoin tadi. Demikian juga dengan Ibnul Jarud: Bab Dawamul Jihad ila Yaumil Qiyamah (Bab: akan terus berlangsungnya jihad hingga hari kiamat) kemudian ia sebutkan hadits Jabir ini.
Imam Al-Khothobi berkata:
“Di sini terdapat keterangan bahwa jihad tidak akan pernah terputus. Dan jika sudah menjadi perkara yang logis apabila para pemimpin itu tidak akan semuanya sepakat menjadi adil, maka hadits ini menunjukka bahwa jihad melawan orang-orang kafir bersama pemimpin yang jahatpun adalah wajib seperti wajibnya dengan pemimpin yang adil.”
An-Nawawi berkata,
“Hadits ini mengandung mukjizat yang jelas, bahwa karakter (senantiasa berperang) ini akan selalu ada –segala puji bagi Alloh ta‘ala—sejak zaman Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam hingga sekarang. Dan akan selalu ada sampai datang ketetapan Alloh yang disebutkan dalam hadits itu.”
Di dalam hadits shohih juga disebutkan: “Kuda akan tetap tertambat kebaikan pada ubun-ubunnya hingga (menjelang) hari kiamat.”
Al-Hafizh berkata dalam syarah hadits ini:
“Di dalamnya juga terdapat kabar gembira akan langgengnya Islam serta pemeluknya hingga hari kiamat, sebab di antara konsekwensi logis langgengnya jihad adalah langgengnya mujahidin sedangkan para mujahidin itu adalah kaum muslimin. Hadits ini mirip dengan hadits lain: “Akan senantiasa ada satu kelompok dari umatku yang berpe-rang di atas kebenaran…”
Sementara itu, Syaikh Sulaiman bin Abdulloh An-Najdi menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa tho’ifah manshuroh tersebut tidak selalunya berada di Syam.
Di antara dalil yang beliau gunakan adalah terputusnya jihad di daerah tersebut sejak beberapa lama, beliau mengatakan mengenai penduduk Syam: “Lagipula, sejak beberapa lama mereka tidak memerangi siapapun dari orang-orang kafir, huru-hara dan peperangan justeru terjadi antara mereka sendiri. Atas dasar ini, sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits: “Mereka ada di Baitul Muqoddas” dan perkataan Mu‘adz: “Mereka ada di Syam” maksudnya adalah mereka berada di sana pada sebagian kurun waktu tapi tidak seluruhnya. Fakta yang ada juga mengindikasikan pendapat kami ini.”
Intinya, akan selalu ada dari umat Islam ini yang menjadi kelompok perang (Tho’ifah Muqotilah) yang berada di atas kebenaran meskipun jumlah mereka sedikit, hingga datang ketetapan Alloh yang tercantum dalam hadits tadi.
Maka sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam: “Akan selalu ada satu kelompok…”
Dan:
“Lan yabroha…” (akan selalu ada…)
…menunjukkan adanya keberlangsungan yang terus menerus akan keberadaan kelompok yang berperang di jalan Alloh pada setiap zaman hingga menjelang hari kiamat. Jihad mereka tidak akan berhenti karena munculnya satu penyebab berupa tidak adanya kholifah yang memimpin umat Islam seperti yang kita alami di zaman sekarang.
Kemudian, kelompok yang berjihad di jalan Alloh –yang disebutkan di dalam hadits-hadits yang sudah kami sebutkan tadi—jumlahnya (menurut tinjauan bahasa dan syar‘i) adalah satu orang atau lebih, sebagaimana firman Alloh ta‘ala:
إِن نَّعْفُ عَن طَائِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ
“Jika Kami memberi maaf satu kelompok dari kalian, Kami adzab satu kelompok lagi dikarenakan mereka adalah kaum yang jahat.”
Al-Qurthubi berkata di dalam Tafsir-nya: “Dikisahkan ada tiga orang: dua orang berolok-olok, dan satu orang hanya ikut tertawa, maka yang dimaafkan adalah yang tertawa dan tidak berkata-kata.”
Alloh ta‘ala berfirman:
فَقَاتِلْ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ لاَ تُكَلَّفُ إِلاَّ نَفْسَكَ وَحَرِّضِ الْمُؤْمِنِيْنَ عَسَى اللهُ أَنْ يَكُفَّ بَأْسَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا وَاللهُ أَشَدُّ بَأْسًا وَاَشَدُّ تَنْكِيْلاً
“Maka berperanglah di jalan Alloh, kamu tidak dibebani selain dirimu sendiri dan kobarkanlah semangat orang beriman (untuk berperang), semoga Alloh menghentikan keganasan orang-orang kafir. Dan Alloh itu lebih keras kekuatan dan siksa-Nya.”
Dari ayat ini serta yang lain, para ulama menyimpulkan bahwa jihad itu bisa saja dilakukan oleh satu orang dari kaum muslimin. Dan bahwa keengganan umat dari jihad fi sabilillah tidak boleh menggoyahkan satu orang ini dari bangkit dan terus berjalan di atas jalan jihad.
Al-Qurthubi berkata di dalam Tafsir-nya (V/ 293):
“Az-Zujaj berkata: Alloh ta‘ala memerintahkan rosul-Nya Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam untuk berjihad meski ia hanya sendirian, sebab Alloh telah jamin kemenangan untuk beliau.
Ibnu ‘Athiyyah berkata: “Ini adalah dzahir lafadz, namun tidak ada satu pemberitaan pun yang menyebutkan bahwa peperangan itu diwajibkan kepada Rosululloh saja tanpa umat yang lain dalam suatu kurun waktu. Dengan demikian maknanya –Wallohu A‘lam—ini adalah perintah kepada beliau secara lafadz dan permisalan pada setiap satu orang secara khusus. Artinya, engkau wahai Muhammad dan setiap yang hanya satu orang dari umatmu maka perintah inilah yang berlaku atasnya: “Maka berperanglah di jalan Alloh, kamu tidak dibebani selain dirimu sendiri…”
Oleh karena itu, hendaknya setiap mukmin tetap berjihad walaupun ia sendirian.
Di antara dalil lain adalah sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam: “Demi Alloh, aku benar-benar akan perangi mereka sampai hilang batang leherku.”
Demikian juga dengan perkataan Abu Bakar ketika memerangi orang-orang murtad: “Jika tangan kananku tidak sejalan denganku, aku akan perangi mereka dengan tangan kiriku.”
Pertanyaannya sekarang: Jika jihad boleh dijalankan meskipun hanya oleh satu kelompok yang hanya terdiri dari satu orang, lantas di manakah khalifah dari kelompok yang hanya beranggotakan satu orang ini, lebih-lebih kalau adanya khalifah menjadi syarat sah jihad...?
Jika dikatakan: Sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam: “Akan senantiasa ada…” ini tidak menunjukkan jihad akan terus berlangsung sepanjang zaman. Artinya, sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam ini tidak boleh kita pakai di waktu tidak adanya khalifah…
Pernyataan ini bisa dijawab sebagai berikut:
Kata-kata: “Akan senantiasa ada…” mengandung arti terus berlangsungnya jihad di setiap zaman, baik ditinjua dari sisi bahasa maupun fakta sejarah, sebagaimana kami jelaskan dari perkataan para ulama tadi. Maka jika kita berada di suatu zaman tertentu yang kita tidak mengetahui adanya tempat dan aktifitas jihad dari tho’ifah muqotilah, bukan berarti kelompok tersebut tidak ada. Ketidak tahuan terhadap sesuatu merupakan indikasi adanya kekurangan, bukan ketidak adaan sesuatu tersebut.
Kemudian, kalau kita terima –untuk sekedar mendebat dan menerima alasan mereka—bahwa sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam “Akan selalu ada…” tidak selalunya menunjukkan terus berlangsungnya jihad oleh Thoifah Muqotilah di putaran zaman atau di setiap zaman, tapi tidak mungkin kita bisa terima bahwa jihad kelompok ini akan hilang dan berhenti selama seratus tahun sejak tidak adanya khalifah seperti yang kita alami sekarang.
• Di antara dalil yang lain adalah sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:
“Sesungguhnya hijroh tidak akan terputus selama ada jihad.”
Dalam riwayat lain:
“Hijroh tidak akan terputus selama musuh masih diperangi.”
Di waktu yang sama, ada riwayat shohih dari Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bahwasanya beliau bersabda:
“Hijroh tidak akan terputus sampai taubat terputus. Dan taubat tidak akan terputus sampai matahari terbit dari barat.”
Mafhum serta manthuq dari hadits ini menunjukkan pendapat yang menyatakan putusnya jihad, mau tidak mau harus mengatakan hijroh juga terputus; sedangkan mengatakan hijroh putus, otomatis harus mengatakan taubat terputus, padahal –berdasarkan ijma‘— taubat tidak akan terputus sampai matahari terbit dari barat.
Berarti, orang yang mengatakan jihad terputus di masa vakumnya khalifah –seperti di zaman kita ini—mau tidak mau harus mengatakan putusnya taubat; dan tak diragukan lagi ini adalah perkataan batil dan rusak karena ia menyelisihi nash, logika dan ijmak.
• Dalil lain adalah firman Alloh ta‘ala:
إِنَّ اللهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُم بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَاْلإِنجِيلِ وَالْقُرْءَانِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Sesungguhnya Alloh telah membeli dari orang-orang beriman jiwa dan harta mereka dengan bahwasanya mereka memperolah surga, mereka berperang di jalan Alloh lalu mereka membunuh atau terbunuh; sebagai janji yang mesti dipenuhi untuknya dan benar di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janji-Nya selain Alloh? Maka bergembiralah dengan jual beli yang engkau adakan itu. Dan itulah kemenangan yang besar.”
Ini adalah akad jual beli yang sudah selesai dan tidak perlu dibatalkan dalam waktu-waktu tertentu. Alloh ta‘ala membeli dari para hamba-Nya jiwa dan harta mereka dengan memberikan kepada mereka surga sebagai balasan dari jihad fi sabilillah. Akad pembelian ini berlaku atas seluruh kaum mukminin kapan pun mereka hidup, di zaman mana pun mereka hidup, baik di zaman adanya khalifah atau tidak ada…tidak ada yang ingin tertinggal dari akad jual beli ini atau tidak merasa ridho dengannya selain orang yang lebih memilih keluar total dari komunitas kaum mukminin.
Orang yang mengatakan tidak ada jihad tanpa khalifah, mau tidak mau ia harus menghentikan akad jual beli yang berlangsung antara seorang hamba dengan Robbnya ketika khalifah tersebut tidak ada, padahal masa vakum ini barangkali akan memakan waktu ratusan tahun…maka, silahkan difikirkan kembali!!
• Dalil yang lain adalah sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:
“Siapa terbunuh membela hartanya maka ia syahid. Siapa terbunuh membela darahnya maka ia syahid. Dan siapa terbunuh membela agamanya maka ia syahid. Dan siapa terbunuh membela keluarganya, maka ia syahid.”
Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda, “Barangsiapa terbunuh karena melawan kedzaliman yang menimpa dirinya, maka ia syahid.”
Maka, apakah akan kita katakan bahwa mereka ini disebut orang-orang yang mati syahid kalau terbunuh ketika ada khalifah, sedangkan jika terbunuh karena membela agama dan melawan kezaliman terhadap dirinya ketika masa kevakuman khalifah maka perlawanan mereka bathil dan mereka bukanlah orang-orang yang mati syahid..?!!
Kelima: Bahwasanya Abu Bashir dan beberapa shahabat yang bergabung dengannya –yang terkena imbas dari butir-butir perjanjian Hudaibiyah sehingga mereka tidak bisa bergabung dengan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam di Madinah—menyergap kafilah-kafilah dagang dan memerangi kaum musyrikin tanpa seizin dan perintah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Di saat yang sama, beliau tidak mengingkari jihad yang mereka lakukan hanya lantaran mereka berjihad tanpa seizin imam yang ketika itu dijabat oleh beliau sendiri, Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.
Bukhori meriwayatkan di dalam Shohih-nya:
“Kemudian Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam pulang ke Madinah. Datanglah Abu Bashir, lelaki dari Quraisy yang masuk Islam ketika itu. Maka kaum Quraisy mengutus dua orang untuk menyusulnya, mereka mengatakan, “Mana janji yang kau sepakati dengan kami?” akhirnya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengembalikan Abu Bashir kepada kedua orang utusan Quraisy tersebut. Keduanya pun keluar dan membawanya sampai di Dzul Hulaifah. Mereka kemudian singgah sebentar untuk memakan kurma. Kemudian, Abu Bashir mengatakan kepada salah seorang dari mereka: “Demi Alloh, aku melihat pedangmu ini bagus wahai Fulan.” Maka yang seorang lagi menghunusnya seraya berkomentar, “Benar, demi Alloh ini memang pedang bagus. Aku sudah mencobanya, aku sudah mencobanya.” Abu Bashir berkata, “Coba saya ingin melihat.” Ia pun memberikan pedang itu kepada Abu Bashir. Begitu pedang diberikan kepada Abu Bashir, ia langsung menebas utusan Quraisy itu sampai mati, sedangkan yang seorang lagi melarikan diri ke Madinah. Sesampai di sana ia masuk ke dalam masjid dengan berlari terengah-engah. Melihat itu, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Tampaknya ia ketakutan.” Ketika orang itu menjumpai Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam ia mengatakan, “Demi Alloh dia telah bunuh temanku, dan aku benar-benar hendak dibunuhnya.” Tak lama kemudian datanglah Abu Bashir, ia mengatakan: “Wahai Nabi Alloh, demi Alloh, Alloh telah penuhi janjimu, engkau telah kembalikan aku kepada mereka kemudian Alloh selamatkan aku dari mereka.” Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Tsakalithu Ummuhu, Abu Bashir adalah penyulut peperangan jika ia bersama para lelaki.”, ketika Abu Bashîr mendengar sabda beliau ini, ia mengerti bahwa beliau akan mengembalikannya kepada Quraisy. Akhirnya Abu Bashir keluar hingga sampai di Saiful Bahr. Dan di kalangan kaum Quraisy ada yang melarikan diri (dari Mekkah), di antaranya adalah Abu Jandal bin Suhail, ia bergabung dengan Abu Bashir, setelah itu tidak ada seorang quraisy pun yang keluar dan masuk Islam kecuali bergabung dengan Abu Bashir, sampai mereka bergabung menjadi satu kelompok. Demi Alloh, tidaklah mereka mendengar ada satu unta yang milik Quraisy yang berangkat menuju Syam kecuali mereka cegat, lalu mereka serang dan mereka ambil hartanya. Akhirnya kaum quraisy mengirim utusan kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memohon dengan sangat dengan nama Alloh agar dikasihani orang yang dikirim, maka barangsiapa yang datang kepada beliau, dia aman. Akhirnya Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengutus agar Abu Bashir dan kawan-kawannya datang kepada beliau.”
Pertanyaannya sekarang: “Jika para shahabat saja boleh berperang di zaman adanya Imam tertinggi, Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, tanpa seizin dan perintahnya –dikarenakan kondisi dan butir perjanjian Hudaibiyah—maka bagaimana perang di jalan Alloh di masa vakum dari khalifah tidak boleh, padahal kevakuman itu bisa jadi disebabkan karena kondisi terpaksa seperti saat ini?!
Keenam: Banyak para shahabat dan tabi‘in yang melewati masa perang tanpa adanya khalifah, seperti Zubair bin ‘Awwam, Mu‘awiyah, Amru bin Al-‘Ash, Al-Husain bin ‘Ali, Abdulloh bin Zubair dan para shahabat yang lain–ridhwanulloh ‘alaihim ajma‘in—.
Juga seperti yang terjadi pada waktu perang Mu’tah, di mana para shahabat mengangkat Kholid sebagai pemimpin mereka ketika para komandan mereka terbunuh dan ketika itu pemimpin tertinggi tidak ada di antara mereka –yaitu Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam—Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallampun ridho dengan apa yang mereka lakukan ini.
Demikian juga dinasti Bani Umayyah dan ‘Abbasiyah serta ‘Utsmaniyah.
Mereka melewati masa perang dan jihad sebelum tegaknya Negara dan Kekhilafahan, serta sebelum pengangkatan Pimpinan Umum kaum muslimin, sementara tidak ada seorang ulama pun yang mengingkari perang yang mereka lakukan lantaran mereka melakukannya tanpa adanya Khalifah atau sebelum Pengangkatan Imam umum atas kaum muslimin.
Masa yang paling terkenal adalah tiga tahun sejak tahun 656 H –saat itu, pasukan Tartar membunuh khalifah ‘Abbasiyah, Al-Mu‘tashim, di Baghdad—hingga tahun 659 H, di tahun inilah khalifah pertama di Mesir dibai‘at .
Meskipun kala itu sedang vakum dari khalifah, kaum muslimin tetap terjun ke medan pertempuran paling membanggakan kaum muslimin sampai hari ini, yaitu pertempuran ‘Ain Jalut melawan Tartar tahun 658 H. Ini terjadi di saat masih adanya sekian banyak ulama, seperti ‘Izzuddin bin ‘Abdis Salam dan lain-lain. Namun tidak ada seorangpun yang mengatakan, ‘Bagaimana kita berjihad padahal kita tidak punya khalifah?’
Bahkan komandan kaum muslimin dalam perang ini (Saifuddin Quthz) mengangkat dirinya sendiri sebagai sultan Mesir setelah Putra ustadznya diturunkan dari Kesultanan karena dianggap masih kecil, para qodhi dan para ulama merestuinya dan kemudian membaiat Quthz sebagai sultan. Ibnu Katsir bahkan menganggap tindakan Quthz ini merupakan nikmat Alloh atas kaum muslimin, sebab melalui dia lah Alloh luluh lantakkan persenjataan Tartar .
Demikian juga dengan jihad dan peperangan yang dilakukan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahulloh melawan orang-orang kafir Tartar dan orang-orang Zindiq Bathiniyah, di zaman ketika tidak ada imam, di waktu para penguasa lari dari beban tanggung jawab terhadap bangsa dan negerinya..!!
Ibnu Taimiyah menganggap kelompok-kelompok perang di zaman tersebut termasuk Thô’ifah Manshuroh, beliau mengatakan:
“Adapun kelompok-kelompok yang ada di Syam, Mesir dan lain-lain, maka sekarang ini merekalah orang-orang yang berperang membela Islam dan merekalah manusia yang paling berhak masuk ke dalam katagori Tho’ifah Manshuroh.”
Demikian juga jihad dan perang Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab Rahimahullah melawan orang-orang musyrik para penyembah kuburan dan sebagainya, tanpa adanya khalifah, tanpa izin dan perintah darinya, dan para ulama Jazirah Arab menyetujuinya –semoga Alloh ta‘ala merahmati mereka semua—dan tidak mengingkarinya yang berperang tanpa adanya khalifah dan imam.
Ketujuh: Hadits ‘Ubadah bin Shomit:
“Kami berbaiat kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Di antara yang beliau ambil sumpah dari kami adalah: hendaknya kami berbaiat untuk mendengar dan taat, baik suka maupun tidak suka, ketika mudah maupun sulit ketidak adilan yang menimpa kami, dan hendaknya kami tidak merampas kepemimpinan dari pemiliknya. Beliau bersabda, “Kecuali apabila engkau melihat kekufuran yang nyata, kamu memiliki keterangan dari sisi Alloh tentangnya.”
Ini adalah khalifah atau imam ketika ia kufur dan gugur kepemimpinannya, dan wajib melawannya, memerangi dan menurunkannya serta mengganti dengan imam yang adil. Dan ini adalah wajib berdasarkan ijma‘ sebagaimana dinukil oleh An-Nawawi dan Ibnu Hajar .
Apakah akan kita katakan: Kita tidak akan keluar melawan penguasa kafir sebab tidak ada imam? Dari mana kita akan memperoleh imam sementara ia telah kufur dan wajib dilawan? Ataukah kita tunggu imam yang tidak ada dan kita biarkan kaum muslimin dihantam fitnah kekufuran dan kerusakan? Apakah ini patut diucapkan seorang Muslim? Sesung-guhnya hadits tadi berisi penjelasan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam untuk memerangi pemimpin dan memberon-taknya apabila ia kufur.
Maka kami tanyakan kepada orang-orang yang melontarkan syubhat ini: Bagaimana kaum muslimin akan berperang dalam kondisi seperti ini padahal tidak ada imam? Jawaban syar‘inya adalah hendaknya mereka melakukan seperti yang dilakukan shahabat pada waktu perang Mu’tah, yaitu mengangkat salah seorang sebagai pemimpin.
Kedelapan: Perkataan ini mengakibatkan munculnya celaan dan keragu-raguan terhadap sah tidaknya jihad yang dila-kukan harokah-harokah jihad hari ini, yang telah sungguh-sungguh bangkit melakukan perlawanan di hadapan para Taghut yang lalim demi tegaknya Khilafah Rasyidah serta memulai kembali babak baru kehidupan Islami di semua lapisan dan tingkatan.
Menyedihkankan sekali, itulah yang kami terima dari orang-orang yang melontarkan pendapat batil ini. Tidak ada jihad yang tegak di jengkal bumi manapun kecuali mereka bersegera –sebelum musuh dari para thoghut yang kafir—melesakkan “panah” berupa tuduhan, sikap antipati dan memunculkan keraguan terhadap keabsahan jihad tersebut, keabsahan loyalitas dan ketulusan para mujahidin..!!
Kesembilan: Perkataan ini sebenarnya tidak akan dilontarkan selain oleh musuh umat Islam yang jahat dan melampaui batas, yaitu para penjajah dan yang semisal, yang bekerja untuk bisa semakin menancapkan kuku kekuasaan dan kepemimpinannya di tanah air Umat Islam guna menimpakan siksaan, kehinaan dan kerendahan terhadap negeri dan rakyatnya.
Hal itu terbukti dengan dihalanginya kaum muslimin untuk bangkit melaksanakan kewajiban jihad yang dipikulkan di pundak mereka, dan dihalanginya mereka untuk membersihkan tanah air dari najis dan serangan musuh.
Musuh yang kafir tidak menginginkan dari Anda lebih dari itu, lebih dari menghentikan umat, melemahkan serta mencegah agar jangan sampai bangkit kembali untuk melaksanakan kewajiban jihad melawannya. Jihad, yang musuh-musuh Islam tidak takut dari umat Islam selain itu!!
Kesepuluh: Syubhat ini sebenarnya adalah pokok akidah kaum Syi‘ah. Sebagaimana disebutkan dalam Kitab Aqidah Thohawiyah: “Hajji dan jihad akan terus berjalan bersama pemimpin kaum muslimin..”
Pen-Syarah berkata: “Syaikh Rahimahulloh mengisyaratkan bantahan terhadap kelompok Rafidhah yang mengatakan, ‘Tidak ada Jihad Fi Sabilillah sampai datangnya keridhoan keluarga Muhammad dan sampai Penyeru dari langit memanggil: Ikutilah dia!’
Batilnya perkataan ini terlalu jelas untuk dibuktikan dengan dalil.”
Di saat Syi‘ah menyelisihi aqidah mereka sendiri dengan diawalinya Revolusi Khumaini –yang itu merupakan bukti rusaknya keyakinan yang tertulis di buku-buku mereka—, kaum Syi‘ah merasa dalam kesulitan besar lantaran terikat oleh teori-teori dibuat-buat yang tidak bisa dibuktikan baik oleh dalil maupun logika, yang akhirnya memaksa mereka membuat pemikiran baru untuk mengeluarkan mereka dari dilema dan kesulitan ini. Akhirnya mereka tampil di hadapan kaumnya dengan mengusung jargon pemikiran “Kepemimpinan Orang Fakih(wilayatul faqih)”, di mana seorang fakih diberi kelayakan dan tugas seorang imam yang nantinya dari sanalah gelora jihad dan perang akan dikumandangkan..!
Anehnya, syubhat ini menggelayuti orang yang menisbatkan dirinya kepada Ahlus Sunnah.
Kemunculan syubhat-syubhat seperti ini adalah sunnah qodariyyah yang berlangsung dan akan terus berlangsung selama masih ada kelompok yang berjihad dan melaksanakan perintah Alloh –dan kelompok ini akan selalu eksist sampai turunnya ‘Isâ ‘Alaihis Salam—.
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Akan selalu ada satu kelompok dari ummatku yang melaksanakan perintah Alloh, tidak terpengaruh oleh orang yang melemahkan atau menyelisihi mereka sampai datang ketetapan Alloh dan mereka menang atas manusia.”
Alloh ta‘ala berfirman:
يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآَئِمٍ
“…mereka berjihad di jalan Alloh dan tidak takut celaan orang yang suka mencela…”
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memberi kabar gembira kepada mujahidin dengan kemenangan dan bahwa orang-orang yang melemahkan dan menyelisihi itu tidak akan mempengaruhi mereka, semua itu tak lain adalah fitnah (ujian) untuk menyaring barisan.
Masalah: Adakah Perbedaan Antara Jihad Difâ‘ Dan Jihad Tholab Dalam Pensyaratan Keharusan Adanya Imam Dan Khalifah, Ataukah Kedua Jenis Jihad Itu Bisa Dijalankan Tanpa Adanya Imam/ Pimpinan Umum?
Kami jawab pertanyaan ini dengan beberapa point berikut ini:
Pertama: Tidak ada dalil syar‘i yang shohih yang mensya-ratkan adanya Imam Umum dalam jihad tholab, apalagi jihad difa‘.
Kedua: Dalil-dalil yang memerintahkan untuk berjihad –baik yang tholabi maupun yang difa‘i—tercantum secara mutlak tanpa ikatan syarat apapun.
Ketiga: Jihad tholabi biasa dilakukan para shahabat tanpa seizin dan perintah dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam; seperti perang dan jihad yang dilakukan Abu Bashir dan kawan-kawan ketika menyerang kaum musyrikin Quraisy dan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak mengingkari nya. Ini menunjukkan berarti itu boleh dilakukan, walhamdulillah..
Keempat: Meskipun demikian, jika seorang Imam atau Amir memerintahkan seseorang, atau satu jama‘ah, atau satu negeri untuk jangan bergerak menyerang musuh terlebih dahulu karena pertimbangan maslahat yang pasti yang ia ketahui, maka mereka wajib mentaati Amir tersebut dan wajib melaksanakan perintahnya.
Kelima: Adapun jika imam menghentikan jihad secara mutlak terhadap musuh yang musyrik, membuang misi jihad dari agenda tugas yang ia emban dan melarang umat untuk melaksanakannya, maka umat tidak boleh mentaatinya dalam hal itu, sebab tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada sang Kholiq, Alloh ‘azza wa jalla.
Keenam: Pembebasan negeri-negeri kaum muslimin yang terampas oleh musuh sekarang ini –dan begitu banyak negeri terampas—, jihad untuk menegakkan Khilafah Rosyidah, jihad dalam rangka mengangkat seorang Pimpinan Utama yang memberlakukan hukum yang diturunkan Alloh di semua penjuru negeri Kaum Muslimin di muka bumi, jihad untuk melenyapkan kezaliman yang sedang meluas dan dilakukan thoghut-thoghut terhadap kaum muslimin di negeri mereka, maka jihad seperti ini semuanya adalah jihad difâ‘, sampai umat ini keluar dari masa berat dan genting seperti saat sekarang. Jika sudah, barulah ketika itu kita bisa bisa tentukan titik tolak perdebatan dari awal. Oleh karena itu, sekarang sebenarnya tidak ada kesulitan menghadapi orang-orang yang melontarkan syubhat ini.
Ketujuh: Perbedaan antara jihad difâ‘ dan jihad tholab adalah: Jihad difa‘ merupakan kewajiban fardhu ain yang harus dilaksanakan oleh semua lapisan kaum muslimin semampunya dan sesuai kedekatan mereka dengan tempat terjadinya peperangan, sebagaimana disebutkan secara rinci dalam buku-buku fikih. Sementara jihad tholab adalah fardhu kifayah, jika salah satu kelompok dari umat ini sudah melaksanakan, maka gugurlah kewajiban dari yang lain. Wallohu Ta‘ala A‘lam, Alloh ta‘ala lebih mengetahui.
Syubhat Kedua: Tidak Ada Jihad Sebelum Menuntut Ilmu.
Jawaban:
Jika mereka yang melontarkan ucapan ini –yaitu wajib menuntut ilmu sebelum berjihad— maksudnya adalah ilmu syar‘i yang fardhu ‘ain, maka kami katakan: ilmu seperti ini bisa diperoleh dalam tempo sangat singkat dan tidak diharuskan bagi semua orang untuk mengerti dalil-dalil syar‘inya secara terperinci. Ini seperti dinukil Ibnu Hajar dari Al-Qurthubi ia berkata,
“Inilah yang dipegangi para a’immah ahli fatwa dan para ulama salaf sebelumnya. Sebagian mereka berhujjah dengan perkataan mengenai prinsip fithroh yang sudah dibahas dan berdasarkan riwayat mutawatir dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam kemudian para shahabat bahwa mereka menghukumi orang pedalaman Badui yang masuk Islam sebagai orang Muslim yang sebelumnya adalah penyembah berhala. Para shahabat menerima ikrar dua kalimat syahadat dari kaum Badui tersebut disertai kesiapan untuk melaksanakan hukum-hukum Islam tanpa harus mempelajari dalil-dalil.”
Namun jika yang mereka maksud adalah ilmu syar‘i yang fardhu kifayah dan seorang muslim tidak bisa berjihad sampai memperoleh ilmu syar‘i dalam kadar tertentu, maka ini keliru dari dua sisi:
Sisi pertama: Ia menjadikan sesuatu yang fardhu kifayah sebagai fardhu ain.
Ini juga mengakibatkan hilangnya mashlahat-mashlahat kaum muslimin dengan sikap berpangku tangan mereka dari berjihad dengan dalih menuntut ilmu terlehih dahulu, padahal Alloh ta‘ala melarang hal ini dengan firman-Nya:
وَمَاكَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَآفَةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِنهُمْ طَآئِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Dan tidak selayaknya kaum mukminin semuanya pergi berperang. Mengapa tidak ada satu kelompok dari golongan yang memahami agama dan agar mengingatkan kaumnya ketika pulang agar mereka waspada.”
Seperti Anda lihat, dalam ayat ini Alloh ta‘ala membagi manusia kepada orang yang bertafaqquh dan yang tidak, sebagaimana termaktub dalam firman Alloh ta‘ala:
فَسْأَ لُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui.”
Sedangkan orang Alim yang bertafaqquh itu diperintahkan mengajari manusia, baik dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka, atau memulai dia yang memulai menerangkan kebenaran jika mereka tidak bertanya, sebagaimana firman Alloh ta‘ala: “..dan agar mengingatkan kaumnya ketika pulang agar mereka waspada.”
Juga firman Alloh ta‘ala:
“Katakanlah, kemarilah aku bacakan kepada kalian apa yang diharamkan robb kalian atas kalian…”
Demikian juga orang awam yang bukan mutafaqqih, ia diperintahkan untuk bertanya kepada orang alim mengenai perkara agama yang tidak ia ketahui sebagaimana dalam ayat surat An-Nahl tadi.
Jika orang alim melihat orang awam mengerjakan sesuatu atas dasar ketidaktahuan kemudian ia juga tidak bertanya, maka orang alim itu harus segera memberikan nasehat dan pengajaran, sesuai firman Alloh ta‘ala: “..dan agar mengingatkan kaumnya ketika pulang agar mereka waspada.”
Juga firman Alloh ta‘ala: “Katakanlah, kemarilah aku bacakan kepada kalian apa yang diharamkan robb kalian atas kalian…”
Sisi kedua: Ia menjadikan sesuatu yang bukan syarat dalam jihad sebagai syarat.
Sesungguhnya orang yang mewajibkan manusia menuntut ilmu sebelum berjihad, kita mesti menanyakan dulu: Apa dalil perkataan Anda ini, baik dari Al-Qur’an ataupun As-Sunnah?
Di sini, kami sendiri akan coba menjawabnya, kami katakan: Perkataan Anda ini tidak berlandaskan satu dalil pun, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa mengadakan perkara baru dalam urusan kita yang bukan termasuk darinya, maka ia tertolak.”
Oleh karena itu, perkataan orang yang mengatakan perkataan ini adalah kebid‘ahan dalam agama yang tertolak dan tidak diterima.
Kemudian, kita juga mesti bertanya kepadanya: Apa dalil perkataan Anda ini dari sirah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam atau sirah para Salafus Sholih dari kalangan para shahabat serta orang-orang setelahnya? Apakah mereka mengharuskan setiap muslim untuk mencari ilmu sebelum berjihad? Dan apakah mereka mengujikan ilmu tersebut kepada pasukan perang?
Padahal dulu para shahabat yang menyertai Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam pada waktu perjanjian Hudaibiyah tahun 6 H ada 1400 orang, pada waktu Fathu Makkah tahun 8 H ada 10.000 shahabat. Tak sampai sebulan kemudian setelah Fathu Makkah, Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berangkat menuju Hunain bersama 12.000 orang; 10.000 orang di antaranya yang menyertai beliau memasuki Mekkah, 2.000 sisanya adalah orang-orang yang masuk Islam saat Fathu Makkah.
Lantas, kapan orang-orang itu belajar sementara mereka telah keluar menuju perang Hunain dan keislaman mereka belum lewat satu bulan? Apakah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan kepada mereka: Kalian adalah orang-orang yang baru masuk Islam, maka jangan berperang bersama saya sampai kalian belajar ilmu terlebih dahulu?
Ternyata, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengijinkan mereka berjihad bersama beliau, justeru pada saat peperangan itulah mereka bisa belajar dan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menunjukkan kepada mereka apa yang wajib bagi mereka. Ini sebagaimana disebutkan Abu Waqid Al-Laitsi RA ia berkata,
“Kami berangkat bersama Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menuju Hunain ketika kami baru saja keluar dari kekufuran (baru masuk Islam). Ketika itu kaum musyrikin memiliki pohon Sidroh yang mereka beribadah dan menggantungkan senjata-senjata mereka di sana, namanya adalah Dzatu Anwath. Kemudian kami melewati pohon tersebut, maka kami katakan: “Wahai Rosululloh, buatkanlah untuk kami Dzatu Anwath sebagaimana mereka memiliki Dzatu Anwath.” Mendengar itu, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Allohu Akbar, sungguh itu adalah tradisi, demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalian telah katakan sebagaimana perkataan Bani Israil kepada Musa: “Jadikanlh sesembahan-sembahan buat kami sebagaimana mereka juga punya sesembahan. Musa berkata, “Sungguh kalian adalah kaum yang bodoh.” kalian benar-benar akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian.”
Dari penjelasan tadi, Anda mengetahui bahwa ilmu bukan merupakan syarat wajibnya jihad, bahkan kalau seseorang memiliki kekurangan dalam mencari ilmu yang wajib ‘ain sekalipun, kekurangan dia ini tidak menjadi penghalang baginya untuk tetap berjihad.
Syarat wajibnya jihad adalah seperti yang disebutkan Ibnu Qudamah, ia berkata,
“Dan syarat wajibnya jihad ada tujuh: Islam, baligh, berakal, merdeka, lelaki, selamat dari marabahaya dan adanya biaya.”
Ini ditambah lagi syarat adanya izin dari kedua orang tua dan orang berhutang kepada yang, masih menurut Ibnu Qudamah.
Inilah sembilan syarat wajibnya jihad fardhu kifayah.
Adapun jika jihad menjadi fardhu ain, gugurlah sebagian sembilan syarat ini dan tersisa lima syarat saja, yaitu: Islam, baligh, berakal, laki-laki –kecuali mereka yang tidak mensyaratkannya—selamat dari mara bahaya. Tidak disyaratkan adanya nafkah jika musuh telah memasuki negeri, atau musuh tersebut berada tidak sampai pada jarak qoshor –menurut salah satu pendapat.
Sebagaimana yang bisa dilihat – bagi siapa yang ingin mencari kebenaran, tidak sombong dan tidak keras kepala— bahwa ilmu syar‘i tidak masuk ke dalam syarat-syarat yang telah disebutkan tadi. Dan ini bukan hanya Ibnu Qudamah yang mengatakan. Saya tidak temukan dalam kitab fikih mana pun –sejauh yang saya telaah— yang mensyaratkan syarat ini.
Dalam hal ini cukuplah bagi Anda sebuah hadits riwayat Bukhori Rahimahullah dari Al-Barro’ RA ia berkata:
Datang seorang lelaki yang menghunus besinya kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, ia berkata: “Wahai Rosululloh, aku berperang ataukah masuk Islam dulu?” beliau bersabda, “Masuk Islamlah kemudian berperang.” Maka iapun masuk Islam, kemudian berperang sampai terbunuh. Maka Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Ia beramal sedikit dan diberi pahala banyak.”
Yang semisal adalah hadits: “Pulanglah, aku tidak akan minta tolong kepada orang musyrik.”
Konon, orang musyrik ini kemudian masuk Islam dan ikut berperang yaitu pada perang Badar.
Sebagaimana Anda lihat, Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak memerintahkan seorangpun dari dua orang musyrik ini untuk pergi mempelajari agamanya sebelum mengijinkan berperang kepadanya, tetapi beliau mencukupkan dengan iman yang mujmal (global).
Seandainya ilmu adalah syarat wajibnya jihad, tentu Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak mengizinkan orang ini berperang bersama beliau sebelum menuntut ilmu. Dari sini Anda tahu bahwa ilmu bukanlah syarat, Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa membuat syarat yang tidak ada dalam Kitab Alloh, maka syarat itu batil meskipun seratus syarat.”
Dengan demikian, kini Anda mengerti bahwa perkataan ini –wajibnya mencari ilmu sebelum jihad—adalah perkataan bathil dan mengakibatkan terhentinya jihad yang menurut kami adalah fardhu ain atas sebagian besar kaum muslimin hari ini. Saya berharap perkataan batil ini tidak menjadi pembenaran bagi sebagian orang untuk duduk dari jihad.
Syubhat ketiga: Apakah sifat adil termasuk syarat di dalam jihad?
Jawaban:
Kepada orang yang mengatakan bahwa kita tidak akan berjihad sampai kita penuhi tarbiyah iman dengan sempurna, kami ingin menanyakan dua pertanyaan:
Pertanyaan pertama: Apakah tujuan dari tarbiyah ini adalah sampai seorang muslim mencapai “keadilan syar‘i” ataukah martabat yang lebih tinggi lagi?
Pertanyaan kedua: Apakah keadilan termasuk syarat wajibnya jihad? Maknanya, seorang muslim tidak boleh berjihad sampai ia menyandang sifat adil? Dan apakah berarti kewajiban jihad gugur dari orang fasik?
Pertama kali, kami akan sebutkan definisi adil, kami katakan: Adil adalah lurusnya agama seorang Muslim.
Ada juga yang berpendapat, orang adil adalah orang yang tidak meragukan. Tidak meragukan di sini terdiri dari dua perkara: Kesalehannya agama, yaitu menunaikan yang fardhu dan yang sunnah serta menghindari yang haram, tidak melakukan dosa besar dan tidak terus menerus melakukan dosa kecil. Kedua, memenuhi muru’ah dengan melakukan perbuatan yang menjadikan dirinya baik dan memperbagus diri serta meninggalkan perkara yang membuat dirinya kotor dan jelek.”
Kemudian kita sebutkan syarat wajib jihad –dan sudah saya sebutkan pada bagian yang lalu—yaitu: Islam, baligh, berakal, laki-laki, selamat dari marabahaya, merdeka, adanya biaya, izin kedua orang tua serta orang yang berhutang. Ini dalam jihad fardhu kifayah. Adapun dalam jihad fardhu ain, maka syaratnya hanya lima syarat pertama saja. Sebagaimana Anda lihat sendiri, di sini sifat adil bukan termasuk syarat.
Kalau sudah jelas bahwa adil bukanlah syarat wajib jihad, secara otomatis gugur sudah perkataan orang yang mengatakan harus ada tarbiyah terlebih dahulu sampai seorang muslim mencapai derajat keadilan sebelum ia berjihad, selanjutnya gugur pulalah perkataan orang yang mensyaratkan adanya derajat keadilan yang lebih tinggi lagi.
Bahkan, para fuqoha menerangkan kebalikan dari itu, yaitu boleh minta bantuan orang fasik dan munafik dalam perang.
Asy-Syaukani berkata: “Dikatakan dalam Al-Bahr: ‘Dan diperbolehkan meminta bantuan kepada orang munafik berdasarkan ijma‘, sebagaimana ketika Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam meminta bantuan kepada Abdulloh bin Ubay dan para pengikutnya. Diperbolehkan juga meminta bantuan orang-orang fasik dalam menghadapi orang-orang kafir berdasarkan ijma‘. Boleh juga meminta tolong kepada para pemberontak (bughot) menurut kami, sebab ‘Ali Alaihis Salam melakukannya terhadap pasukan Al-Asy‘ats.”
Dikatakan di dalam Al-Majmu‘: “Abu Bakar Al-Jashshosh berkata di dalam Ahkamul Qur’an: Jihad wajib tetap dijalankan bersama orang-orang fasik sebagaimana wajibnya bersama orang adil. Dan semua ayat yang mewajibkan jihad tidak membedakan apakah jihad itu dilakukan bersama orang fasik atau orang adil yang sholeh. Dan sesungguhnya ketika orang-orang fasik berjihad, status mereka adalah orang yang taat dengan jihad yang ia lakukan.”
Ibnu Hazm berkata –setelah menyebutkan hadits:
“Sesungguhnya Alloh menolong agama ini dengan kaum yang tidak memiliki nilai.”
Dan hadits:
“Sesungguhnya Alloh benar-benar menguatkan agama ini dengan orang yang fajir.”—
Ia berkata: “Ini menunjukkan bolehnya meminta bantuan kepada kaum yang disebutkan sifatnya dalam hadits ini, untuk melawan orang-orang yang memerangi dan dalam melawan para pemberontak, mereka adalah orang-orang fajir dari kaum muslimin yang mereka itu tidak memiliki kedudukan. Demikian juga, orang-orang fasik terkena kewajiban jihad dan terkena kewajiban untuk melawan para pemberontak sebagaimana orang mukmin yang baik. Tidak boleh melarang orang-orang fasik untuk berjihad, tetapi justeru bagaimana mengajak mereka kepadanya.”
Ahlus Sunnah wal Jama‘ah memperbolehkan perang bersama Amir yang jahat dengan keterangan rincinya. Jika keluar berperang dengan orang jahat yang diikuti saja boleh (yaitu bersama Amir), maka keluar berperang bersama orang yang menjadi pengikut tentu lebih boleh.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahulloh panjang lebar menerangkan masalah ini. Di antara yang saya nukil di bab ketiga adalah kata-kata beliau:
“Jika kebetulan ada orang yang memerangi mereka dengan kriteria sempurna, maka itulah tujuan utama dalam mencapai keridhoan Alloh, memuliakan kalimat-Nya, menegakkan agama-Nya dan mentaati rosul-Nya. Namun jika ada yang terdapat dalam dirinya kejahatan dan niat yang rusak, yaitu ia berperang demi mendapatkan kepemimpinan atau berkelakuan melampaui batas dalam beberapa perkara kepada mereka, sementara kerusakan dari tidak diperanginya musuh lebih besar terhadap din daripada kerusakan memerangi mereka dengan kondisi seperti ini, maka yang wajib adalah tetap memerangi musuh demi menolak kerusakan yang lebih besar dengan melakukan kerusakan yang lebih kecil. Karena ini termasuk prinsip Islam yang harus diperhatikan.
Oleh sebab itu, di antara prinsip Ahlus Sunnah wal Jama‘ah adalah berperang bersama orang baik maupun jahat. Sebab Alloh bakal menguatkan agama ini dengan orang jahat dan dengan kaum yang tidak memiliki nilai, sebagaimana dikhabarkan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.
Dan juga, jika perang tidak berjalan kecuali dengan para pemimpin yang jahat, atau bersama pasukan yang banyak terdapat kejahatannya, maka pasti akan terjadi dua kemungkinan: Perang tidak dijalankan bersama mereka sehingga pasti akan mengakibatkan fihak lain berkuasa, dan ini lebih besar bahayanya terhadap agama dan dunia; atau tetap berperang bersama pemimpin yang jahat sehingga tetap ada perlawanan terhadap kejahatan yang lebih besar dan kebanyakan syari‘at Islam tetap bisa ditegakkan meski tidak semuanya. Pilihan kedua inilah yang wajib dalam kondisi seperti ini atau kondisi apa saja yang semisal, bahkan kebanyakan perang pasca kekuasaan Khulafa’ur Rosyidin tidak terjadi kecuali seperti ini kondisinya...
hingga beliau Rahimahulloh berkata:
“Jika seseorang mengetahui jihad yang diperintahkan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam akan dilaksanakan para pemimpin hingga hari kiamat dan mengetahui larangan beliau untuk membantu kezaliman orang yang dzalim, ia akan tahu bahwa jalan tengah yang merupakan ajaran Islam murni adalah berjihad bersama orang yang berhak diajak berjihad seperti kaum diperintahkan tadi, baik bersama pemimpin atau kelompok, mereka itu lebih layak terhadap Islam daripada mereka. Jika jihad tidak bisa dilakukan kecuali dengan cara itu, selama ia tidak membantu kelompok tempat ia bergabung dalam hal maksiat kepada Alloh, maka hendaknya ia mentaati mereka dalam ketaatan kepada Alloh dan tidak mentaati mereka dalam maksiat kepada-Nya, sebab tidak ada ketaatan terhadap makhluk dalam bermaksiat kepada sang Kholiq.
Inilah jalan yang ditempuh orang-orang terbaik umat ini, baik yang dulu atau sekarang. Itu juga kewajiban bagi setiap mukallaf. Inilah jalan pertengahan antara jalan kelompok Haruriyyah dan semisalnya yang menempuh jalan kehati-hatian rusak karena minimnya ilmu, dan jalan kelompok Murji’ah dan semisalnya yang mentaati pemimpin secara mutlak meskipun mereka bukan orang baik.”
Perkara ini adalah baku yang kemudian menjadi prinsip tertulis dalam masalah-masalah keyakinan Ahlus Sunnah wal Jamâ‘ah, sebagaimana dinukil dari Syarah ‘Aqidah Thohawiyah dalam bab ketiga. Di antara yang disebutkan di sana adalah:
“Hajji dan jihad tetap berjalan bersama pemimpin Kaum Muslimin yang baik maupun yang jahat, hingga hari kiamat, tidak dibatalkan dan dihilangkan oleh apapun.”
Dari keterangan di atas, Anda bisa melihat bahwa jihad bersama orang fasik yang memimpin maupun yang menjadi pasukan adalah boleh berdasarkan ijma‘, bahkan wajib jika menolak orang-orang kafir tidak bisa dilakukan selain berjihad bersama orang-orang fasik, sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyah Rahimahulloh tadi.
Prinsip pokok dalam permasalahan ini adalah: jihad diperintahkan kepada orang-orang beriman, sebagaimana firman Alloh ta‘ala:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنجِيكُم مِّنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ {10} تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرُُ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ {11} يَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَيُدْخِلْكُمْ جَنَّاتٍ
“Hai orang-orang beriman, maukah Ku tunjukkan kepada kalian perdagangan yang menyelamatkan kalian dari adzab yang pedih? Kalian beriman kepada Alloh dan rosul-Nya dan kalian berjihad di jalan Alloh dengan harta dan jiwa kalian. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. Dia akan mengampuni dosa kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga-surga…”
Dan ayat-ayat lainnya.
Ayat ini adalah perintah berjihad kepada kaum mukminin serta orang yang memiliki dosa-dosa: “Dia akan mengampuni dosa kalian…”
Ayat ini menunjukkan bahwa sudah terbiasanya seorang mukmin berbuat dosa tidak berarti menggugurkan perintah jihad darinya. Sedangkan orang fasik sebesar apapun dosanya, keimanan tetap tidak tercabut dari dalam dirinya secara total, sebab ia masih memiliki muthlaqul iman yang menjadikan ia harus menanggung beban syariat, meskipun ia tidak memiliki iman muthlaq (iman yang sempurna).
Berkumpulnya ketaatan dan kemaksiatan dalam diri seorang hamba adalah bagian dari akidah Ahlus Sunnah wal Jama‘ah. Ini diambil dari kaidah umum bahwa iman adalah perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Seperti dalam riwayat Bukhori dari Umar RA bahwasanya ada seorang lelaki di zaman Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bernama ‘Abdulloh, ia biasa dipanggil Himar, dia selalunya membuat Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tertawa. Pernah beliau mencambuknya lantaran minum khomer. Suatu hari ia datang kepada beliau kemudian diperintahkan agar dicambuk, maka ada seseorang yang mengatakan: “Ya Alloh, laknatlah dia. Betapa seringnya ia melakukan dosa.” Mendengar itu, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Jangan kau laknat dia, demi Alloh engkau tidak tahu bahwa dia mencintai Alloh dan rosul-Nya.”
Inilah seorang shahabat, meskipun kemaksiatan yang ia lakukan yaitu minum khomer, namun ia masih memiliki nilai ketaatan berupa cinta kepada Alloh dan rosul-Nya Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Dan kecintaan ini termasuk cabang iman terbesar, coba renungkan derajat kecintaan kepada Alloh dan rosul-Nya dalam ayat yang membatalkan delapan uzur jihad dalam surat At-Taubah: “Katakanlah jika bapak-bapak kalian …dst.”
Selain itu, pelaku maksiat mendapatkan manfaat khusus dari jihad, yaitu bisa menghapus dosa-dosanya. Sebagaimana kata Ibnu Taimiyah Rahimahullah setelah mengkomentari ayat dalam surat Ash-Shoff tadi:
“Dan siapa yang banyak dosa, maka obat termanjurnya adalah jihad. Sesungguhnya Alloh ta‘ala mengampuni dosa-dosanya sebagaimana Alloh khabarkan dalam kitab-Nya: “Dia akan mengampuni dosa kalian…”
Dan barangsiapa ingin membebaskan diri dari barang haram dan ingin bertaubat sementara ia tidak bisa mengembalikan barang tersebut kepada pemiliknya, hendaknya ia infakkan di jalan Alloh dengan mengatasnamakan pemiliknya, sebab itulah cara yang baik untuk bisa terbebas darinya, ditambah lagi ia mendapat pahala jihad.”
Dari penjelasan di atas, Anda tahu bahwa kefasikan tidak menggugurkan beban kewajiban jihad; orang fasik pun mendapatkan perintah berjihad secara syar‘i seperti orang adil yang sholeh.
Sudah disebutkan sebelumnya apa yang dinukil Asy-Syaukani mengenai kebolehan –bukan kewajiban—minta bantuan kepada orang fasik dan munafik berdasarkan ijma‘. Jika itu jelas diperbolehkan, maka perkaranya dikembalikan kepada manfaat dan mafsadah yang ditimbulkan jika orang tersebut turut serta dalam berjihad; mana di antaranya keduanya yang lebih dominan maka itulah yang dijadikan patokan hukum. Artinya, jika turut sertanya orang fasik dalam berjihad itu lebih besar manfaatnya daripada mafsadatnya, ia dipersilahkan ikut. Namun jika sebaliknya, hukum pun sebaliknya (yaitu tidak boleh ikut serta).
Hal senada dikatakan oleh Ibnu Qudamah:
“Jangan sampai seorang komandan memilih shahabat seorang mukhodzil, yaitu orang yang menghambat manusia dari berperang. Jangan juga seorang murjif, yaitu orang yang mengatakan: ‘Pasukan kaum muslimin telah hancur, mereka tidak punya bala bantuan dan kekuatan melawan orang-orang kafir.’ Jangan juga memilih shahabat orang yang bersekongkol mencelakakan kaum muslimin dengan menjadi mata-mata untuk kepentingan orang-orang kafir, atau orang yang menimbulkan permusuhan antar kaum muslimin, dan jangan pula mengambil sahabat orang yang gemar berbuat kerusakan.”
Semua ini berpulang kepada firman Alloh ta‘ala:
لَوْ خَرَجُوا فِيكُم مَّازَادُوكُمْ إِلاَّ خَبَالاً وَلأَوْضَعُوا خِلاَلَكُمْ يَبْغُونَكُمُ الْفِتْنَةَ وَفِيكُمْ سَمَّاعُونَ لَهُمْ
“Kalaulah mereka keluar beserta kalian, tidaklah mereka menambah selain kekacauan dan mereka akan bergegas-gegas maju ke muka di celah-celah barisan kalian untuk menimbulkan fitnah di antara kalian sedang di antara kalian ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka.”
Juga firman Alloh ta‘ala:
فَإِنْ رَّجَعَكَ اللهُ إِلَى طَائِفَةٍ مِنْهُمْ فَاسْتَئْذَنُوْكَ لِلْخُرُوْجِ فَقُلْ لَنْ تَخْرُجُوْا مَعِىَ أَبَدًا وَلَنْ تُقَاتِلُوْا مَعِىَ عَدُوًّا إِنَّكُمْ رَضِيْتُمْ بِاْلقُعُوْدِ أَوَّلَ مَرَّةٍ فَاقْعُدُوْا مَعَ الْخَالِفِيْنَ
“Maka jika Alloh mengembalikanmu kepada satu golongan dari mereka, kemudian minta izin kepadamu untuk keluar berperang maka katakan: “Kamu tidak boleh keluar bersamaku selama-lamanya dan tidak boleh memerangi musuh bersamaku. Sesungguhnya kamu telah rela tidak pergi berperang kali yang pertama, karena itu duduklah bersama orang-orang yang tidak ikut perang.”
Ringkasnya, orang yang memiliki karakter suka melemahkan dan merusak barisan atau berkhianat, tidak boleh diikutkan dalam jihad. Orang seperti ini kerusakan yang ditimbulkannya sangat besar meski di sana ada manfaat-manfaat.
Diperbolehkannya berjihad bersama pemimpin fasik dan pelaku maksiat –di mana manfaatnya lebih besar daripada kefasikan dirinya—, bukan berarti merupakan pembenaran dari kefasikan dan kemaksiatannya. Namun ia tetap harus diperintah kepada yang makruf dengan cara memberi pengajaran dan nasehat, serta dilarang dari yang mungkar dengan cara memberi peringatan dan hukuman. Ini maknanya adalah melatih tarbiyah iman di tengah berlangsungnya jihad.
Kita tidak katakan jihad ditunda sampai tarbiyah iman sempurna, sebab ini tidak akan selesai kecuali dengan datangnya kematian, sesuai firman Alloh ta‘ala:
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Dan beribadahlah kepada Robbmu sampai datang kepadamu keyakinan.”
Keyakinan dalam ayat ini maksudnya adalah kematian sebagaimana dalam tafsirnya.
Bisa saja ajal tiba sementara seorang hamba belum memperoleh nilai tarbiyah ini kecuali sedikit. Alloh ta‘ala berfirman:
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُم مُّقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللهِ
“Kemudian Kami wariskan Al-Kitab itu kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, dan di antara mereka ada yang pertengahan, dan di antara mereka ada pula yang terlebih dahulu berbuat baik dengan izin Alloh.”
Inilah tingkatan-tingkatan iman pada diri pengikut Rosul dan para pewaris Al-Kitab.
Dari pemaparan di muka, mungkin bisa kita ringkas sebagai berikut:
1. I‘dad Imani (baca: tarbiyah) adalah wajib dan merupakan pilar utama kemenangan. Perincian hal ini sudah kita sampaikan di muka, khususnya mengenai pengaruh kemaksiatan-kemaksiatan terhadap muncul-nya kele-mahan, dan maksiat yang dilakukan oleh sebagian orang akan membahayakan semuanya jika mereka tidak mengingkarinya. Inilah kondisi terbaik yang jika ada akan terasa benar-benar indah.
2. Di saat yang sama, kami katakan bahwa jihad tidak ditunda dengan alasan melaksanakan I‘dad Imani –meskipun jihad bisa ditunda karena pertimbangan I‘dad materiil ketika dalam kondisi lemah—khususnya apabila jihad menjadi fardhu ‘ain.
Yang paling spesifik dari kondisi-kondisi jihad fardhu ‘ain adalah ketika musuh menduduki negeri kaum muslimin, dan inilah kondisi kebanyakan negeri Islam hari ini. Maka jihad seperti ini fardhu ‘ain dan mendesak sekali untuk segera dilaksanakan. Menunda jihad seperti ini berdampak kepada bahaya dan kerusakan. Fitnah apakah yang lebih besar daripada ketika orang-orang kafir menganeksasi tanah air Kaum Muslimin, mereka paksakan hukum kafir dan berusaha merusak Kaum Muslimin dan menggoyahkan agama mereka dengan berbagai tipudaya. Maka siapa yang mengatakan jihad melawan mereka ini harus ditunda sampai tarbiyah orang yang ingin berjihad itu siap, maka ia tidak mengerti bahwa sarana penghancur itu lebih banyak daripada sarana membangun,
وَلاَ يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا
“Dan mereka tidak henti-hentinya memerangi kalian sampai mereka bisa mengembalikan kalian dari agama kalian (kepada kekufuran) jika mereka mampu.”
وَلَن تَرْضَى عَنكَ الْيَهُودُ وَلاَ النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ
“Dan kaum yahudi dan nashrani tidak akan pernah rela kepada kalian sampai kalian ikuti agama mereka.”
Ia juga tidak mengerti bahwa orang-orang kafir tidak akan membiarkan sarana apapun yang merealisasikan tarbiyah dengan baik. Alloh ta‘ala berfirman:
وَلَوْلاَ دَفْعُ اللهِ النَّاسَ بَعْضَهُم بِبَعْضٍ لَّهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدَ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللهِ كَثِيرًا وَلَيَنصُرَنَّ اللهُ مَن يَنصُرُهُ إِنَّ اللهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ
“Dan sekiranya Alloh tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara nashrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang yahudi dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut Asma Alloh. Sesungguhnya Alloh pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Alloh benar-benar Mahakuat lagi Mahaperkasa.”
Kalau Alloh ta‘ala tidak menolak orang-orang kafir melalui orang-orang yang berjihad di jalan-Nya, tidak akan tersisa lagi tempat yang layak untuk beribadah kepada Alloh Swt. Oleh karena itu, Ibnul Qoyyim Rahimahullah mensifati para mujahid dengan kata-katanya:
“Mereka mengorbankan nyawa demi kecintaan kepada Alloh dan menolong agama-Nya, meninggikan kalimat-Nya dan melawan musuh-musuh-Nya. Mereka adalah teman bagi siapa saja yang menjaganya, mendapat pahala amalan-amalan yang mereka kerjakan dengan pedang-pedangnya meskipun mereka bermalam di rumah masing-masing. Mereka mendapatkan pahala orang yang beribadah kepada Alloh dengan jihad dan penaklukan-penaklukan yang mereka lakukan, karena merekalah yang menjadi sebab dari semua itu. Sang Pembuat Syari‘at telah menjadikan adanya sebab itu sama dengan pelakunya dalam hal pahala dan dosa. Oleh karena itu, penyeru kepada petunjuk dan penyeru kepada kesesatan masing-masing mendapatkan balasan seperti yang mengikutinya, sebab dia menjadi penyebab.”
3. Jika kaum muslimin telah menyelesaikan I‘dad materi sesuai kemampuan, “Dan siapkanlah kekuatan yang engkau mampu…” diiringi perkiraan bisa menang, maka wajib melaksanakan jihad dan tidak boleh menundanya dengan alasan menyempurnakan I‘dad Imani. Artinya, jika dalam kondisi lemah, harus melakukan dua I‘dad sekaligus, i‘dad iman dan materi. Maka siapa yang berusaha melakukan I‘dad imani dengan meninggalkan I‘dad materi, ia telah berbuat dosa karena meninggalkan hal yang diperintahkan “Dan siapkanlah kekuatan yang engkau mampu…”
4. I‘dad Imani wajib dilatih dalam setiap tahapan sebelum memasuki tahapan jihad dan ketika tengah melaksana-kannya. Sebab amar makruf nahi munkar adalah sifat yang harus ada dalam diri kaum muslimin sebelum dan setelah memperoleh kekuasaan (tamkin) di muka bumi. Sementara tarbiyah terbaik adalah yang dilakukan ketika jihad berlangsung, sebab biasanya dalam kondisi tersebut manusia dekat dengan Alloh ta‘ala.
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sendiri selalu memberikan pengarahan di saat beliau melakukan jihad dan tidak ada seorangpun mengatakan jihad ditunda sampai tarbiyah sempurna.
Di antara bentuk tarbiyah itu adalah sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam: “Ya Alloh, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang dilakukan Kholid bin Walid.”
Juga sabda beliau kepada sariyah Abdulloh bin Hudzafah: “Kalau mereka memasukinya (masuk ke dalam api, lantaran dikomando pemimpinnya seperti itu, penerj.), mereka tidak akan pernah keluar selamanya. Sesungguhnya ketaatan hanyalah dalam perkara yang makruf.”
Juga sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam kepada Usamah bin Zaid, “Apakah engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan Laa ilaaha illallooh?”
Demikian juga dengan sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam kepada Abu Dzar: “Sesungguhnya engkau adalah orang yang di dalam dirimu ada perkara jahiliyyah.”
Juga sabda beliau dalam salah satu peperangan: “Sesungguhnya Alloh benar-benar menguatkan din ini dengan orang yang jahat.”
Demikian juga, dulu terjadi peristiwa menyebarnya berita bohong (haditsul Ifki) setelah selesai dari suatu peperangan. Beliau kemudian melaksanakan hukuman had qodzaf terhadap beberapa tentara dalam perang tersebut. Bahkan di antara mereka merupakan veteran perang Badar, yaitu Misthoh bin Utsatsah. Di antara mereka juga ada penyair Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, Hassan bin Tsabit.
Oleh karena itu, bisa saja ada orang yang sempurna dan baik serta mendapat jaminan masuk jannah namun terjerumus ke dalam dosa besar, seperti Mishthoh bin Utsatsah dan Hathib bin Abi Balta‘ah RA.
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda tentang Hatib:
“Bukankah dia adalah pengikut Badar? Engkau tidak tahu, barangkali Alloh melihat hati mereka kemudian berfirman: ‘Kerjakanlah sesuka kalian, Aku telah wajibkan surga bagi kalian.”
Ibnu Hajar berkata, “Meski seseorang mencapai derajat kesholehan seperti apapun dan mendapat jaminan masuk surga, ia tetaplah tidak ma‘shum) dari terjerumus ke dalam dosa. Sebab Hathib termasuk orang yang Alloh wajibkan surga baginya, namun ia melakukan perbuatan sampai sejauh itu.”
Yang semisal dengan ini sangatlah banyak. Jadi, tarbiyah iman dilatih di tengah-tengah jihad, namun jihad tidak ditunda karena alasan itu. Sebab tarbiyah –sebagaimana sudah dikemukakan—tidak akan berakhir kecuali dengan matinya seorang hamba, Alloh Swt membolak-balikkan hati serta mengarahkannya sesuai kehendak-Nya.
5. Sifat adil bukanlah syarat wajib jihad, dan orang fasik boleh berangkat berjihad jika ia seorang prajurti, asalkan manfaatnya untuk jihad lebih besar daripada mafsadahnya, sebagaimana diterangkan rinciannya di muka. Tidak diizinkan ikut bagi orang yang dalam dirinya ada sifat gemar berbuat kerusakan atau berkhianat.
6. Sesungguhnya tidak buruk jika dalam barisan kaum muslimin ada beberapa orang pelaku maksiat. Yang buruk adalah membiarkan mereka dalam maksiatnya dan tidak memerintahkan mereka mentaati Alloh ta‘ala, baik dengan cara menyuruh atau melarang, hal ini mengingat kesalahan dan maksiat tidak akan pernah bisa lepas dari manusia.
Semasa hidupnya, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sendiri melaksanakan hukuman zina dan qodzaf, minum khomer, mencuri dan perampokan. Kaum munafikin juga ikut berperang bersama beliau sebagaimana sudah dijelaskan tadi, tidak ada seorang pun yang mengatakan: ‘Kita tidak akan berjihad selama dalam barisan kita masih ada orang-orang bermaksiat dan munafik.’ Padahal, Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidak datang satu hari kepada manusia kecuali hari setelahnya lebih buruk daripada hari itu.”
Intinya, jika dalam satu kelompok yang berjihad terdapat orang-orang yang bermaksiat, itu bukanlah alat pembenaran untuk meninggalkan jihad bersama kelompok tersebut karena masih adanya para pelaku maksiat dalam kelompok itu.
7. Jika tidak ada kelompok yang diisyaratkan di atas (yaitu kelompok yang sholeh namun beranggotakan para pelaku maksiat) dan tidak mungkin jihad dilakukan kecuali bersama orang ummiy yang jahat, atau bersama pasukan yang banyak kejahatannya, maka jihad bersama mereka tetap wajib dilakukan –sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyah—demi menolak salah satu dari dua mafsadat yang lebih besar, yaitu mafsadat orang-orang kafir. Dan inilah bentuk ketakwaan kepada Alloh sesuai kemampuan: “Maka bertakwalah kalian kepada Alloh semampu kalian.”
Sesungguhnya tidak ada kerusakan yang lebih besar daripada ketika orang-orang kafir menguasai negeri kaum muslimin serta dampak yang ditimbulkan, seperti pemurtadan Kaum Muslimin secara paksa yang mengenai hampir seluruh umat Islam –selain yang dirahmati Alloh, sesungguhnya Alloh Mahapengampun lagi Mahapenyayang.
Alloh ta‘ala berfirman:
وَلاَ يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرُُ فَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Mereka tidak henti-henti-nya memerangi kalian sampai mereka dapat mengemba-likan kalian dari agama kalian (kepada kekufuran) jika mereka sanggup. Dan barangsiapa murtad di antara kalian kemudian mati dalam keadaan kafir, maka sia-sialah amal perbuatannya di dunia dan akhirat. Dan mereka itu adalah penghuni neraka serta mereka kekal di dalamnya.”
Jika seorang muslim berperang bersama Amir yang jahat atau pasukan yang banyak kejahatannya, maka hendaknya ia bekerja sama dengan mereka dalam kebaikan dan ketakwaan serta tidak bekerja sama dalam perbuatan dosa dan permusuhan; mentaati mereka dalam ketaatan dan tidak mentaati mereka dalam kemaksiatan, serta terus memberikan nasehat kepada, semoga dengan itu Alloh ta‘ala memperbaikinya dengan itu.
Ibnu Taimiyah Rahimahulloh berkata:
“Jika tidak memungkinkan melaksanakan kewajiban-kewajiban berupa ilmu dan jihad dan lain-lain kecuali dengan orang yang dalam dirinya terdapat kebid‘ahan, yang bahayanya lebih rendah daripada bahaya jika kewajiban itu ditinggalkan, maka meraih mashlahat dari kewajiban yang diiringi kerusakan sedikit itu lebih baik daripada sebaliknya. Oleh karena itu, perbincangan tentang hal ini terdapat perincian.”
Asy-Syathibi berkata,
“Demikian juga jihad bersama pemimpin yang jahat, para ulama menyatakan hal itu diperbolehkan. Malik berkata: Jika itu ditinggalkan tentu berbahaya bagi kaum muslimin.
Jadi jihad adalah sangat penting, keberadaan pemimpin di dalamnya juga sangat urgen, sifat adil adalah pelengkap dari yang urgen ini, sedangkan jika pelengkap dikembalikan kepada yang pokok justeru bisa membatalkannya, maka pelengkap itu tidak dianggap.”
Abu Muhammad bin Hazm bahkan memiliki perkataan sangat keras terhadap orang yang melarang jihad melawan orang-orang kafir bersama pemimpin jahat.
Ibnu Hazm berkata,
“Tidak ada dosa yang lebih besar setelah kekufuran selain orang yang melarang jihad melawan orang-orang kafir dan membiarkan kehormatan Kaum Muslimin diserahkan kepada mereka, hanya lantaran kefasikan seorang Muslim yang mana orang lain belum tentu menganggap kefasikannya itu.”
Hanya perlu diketahui, Pemimpin jahat yang diikuti dalam perang –jika memang tidak ada yang lain—adalah Pemimpin yang kejahatannya itu hanya untuk dirinya sendiri dan tidak sampai kepada tingkat kekufuran.
Dari penjabaran tadi, Anda tahu wahai saudaraku muslim, bahwa perkataan yang menyatakan kita tidak berjihad sampai kita menuntut ilmu syar‘i atau sampai kita sempurnakan tarbiyah keimanan dan mewajibkan hal itu kepada setiap muslim merupakan perkataan yang berujung kepada pencabutan Islam hingga ke akarnya.
Sesungguhnya ilmu dan tarbiyah adalah benar dan kami menyeru manusia kepada keduanya, tetapi dengan catatan sebagai berikut:
a. Bahwa keduanya –ilmu dan tarbiyah—bukan syarat wajibnya jihad. Maknanya, kita tidak boleh melarang seseorang berjihad karena alasan ia belum mempelajari ilmu tentang agamanya atau mensucikan jiwanya. Allohumma, kecuali ilmu yang bersifat fardhu ain khusus masalah jihad, seperti ilmu tentang disyari‘atkannya jihad dan mengetahui bendera yang ia berperang di bawahnya.
b. Sesungguhnya jalan keluar dari kehinaan yang sekarang dialami kaum muslimin adalah jihad sebagaimana dalam hadits Tsauban secara marfu‘: “Hampir-hampir umat-umat mengeroyok kalian…dst” Dan hadits Ibnu Umar secara marfu‘: “Jika kalian berjual beli dengan ‘inah…dst” keduanya sudah kami jelaskan. Dan jihad ini menurut kami adalah wajib atas sebagian besar kaum muslimin, khususnya jihad melawan penguasa murtad. Dari sini, kami menganggap ilmu dan tarbiyah merupakan bagian dari I‘dad (persiapan) menuju jihad, dalam rangka membentuk satu kelompok yang berjihad di atas ilmu dan agama. Kami tidak menganggap ilmu dan tarbiyah tanpa jihad sebagai jalan keluar.
Syubhat Keempat: Apakah Persenjataan (Syaukah) Dan Kemampuan Menjadi Syarat Dalam Jihad Difa‘î ?
Jawaban:
Bahwasanya harus dibedakan antara jihad tholab dan jihad difa‘. Pensyaratan adanya syaukah dan kemampuan untuk wajibnya jihad adalah dalam jihad tholab. Adapun jihad difa‘, seperti ketika musuh memerangi negeri kaum muslimin, yang wajib adalah melawan semampunya:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
“Adapun jihad defensif, merupakan perlawanan terbesar terhadap serangan terhadap kehormatan dan agama, hukumnya wajib menurut ijmak. Ketika aggressor datang, yang merusak agama dan dunia, maka tidak ada yang lebih wajib setelah iman selain melawannya. Tidak disyaratkan satu syarat pun, tetapi melawan semampunya. Para ulama dari madzhab kami dan yang lain menetapkan hal itu. Maka harus dibedakan antara menolak serangan orang dzalim dan kafir dan antara menyerang mereka di negeri-nya.”
Beliau berkata lagi,
“Adapun jika musuh hendak menyerang Kaum Muslimin, maka melawannya menjadi wajib atas seluruh orang yang diserang. Orang yang tidak diserang juga wajib membantu orang yang diserang, dan ini wajib hukumnya sesuai kemampuan masing-masing, baik dengan jiwa atau hartanya, baik sedikit atau banyak, berjalan atau berkendaraan. Sebagaimana ketika Kaum Muslimin diserang musuh pada perang Khondaq. Alloh tidak mengizinkan seorang pun meninggalkannya seperti dalam Perang Ofensif (menyerang musuh terlebih dahulu), di mana dalam hal itu Alloh membagi Kaum Muslimin ada yang duduk dan ada yang berangkat.”
Beliau berkata lagi,
“Dan perang difa‘ seperti ketika jumlah musuh banyak dan kaum muslimin tidak mampu menghadapinya, akan tetapi jika mereka mundur dikhawatirkan musuh akan menyerang orang-orang yang ada di belakang mereka, maka dalam kondisi seperti ini pengikut madzhab kami menegaskan mereka wajib mengorbankan nyawa mereka dan nyawa orang yang dikhawatirkan tadi, dalam rangka menolak musuh sehingga mereka semua selamat.
Yang semisal adalah ketika musuh menyerang negeri Islam sementara jumlah yang berperang tidak sampai setengah jumlah musuh; jika mereka mundur musuh akan menyerang kehormatan, maka yang seperti ini dan semisalnya adalah perang difa‘, bukan perang tholab. Tidak diperbolehkan mundur dalam kondisi apapun. Perang Uhud termasuk katagori perang seperti ini.”
Bahkan, dalam jihad tholab sekalipun, syaukah dan ke-mampuan adalah syarat wajib, bukan syarat sah jihad. Dalil-dalil dari apa yang kami sebutkan adalah:
a. Kisah ‘Ashim bin Tsabit ketika Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengutusnya sebagai pemimpin beberapa orang shahabatnya ke ‘Adhol dan Al-Qoroh. Ketika itu ada + 100 pemanah untuk menyerang mereka. Para pemanah itu mengepung Ashim dan para shahabatnya seraya mengatakan, “Kalian mendapatkan sumpah dan janji, jika kalian mau turun menyerah kepada kami, kami tidak akan membunuh seorangpun dari kalian.” Maka Ashim berkata, “Adapun saya, aku tidak akan turun dalam tanggungan orang kafir…” Akhirnya mereka memerangi Ashim dan kawan-kawannya sampai tujuh orang dari mereka berhasil membunuh Ashim dengan menggunakan lembing.”
Di sini tidak diragukan lagi bahwa kemampuan Ashim dan shahabatnya tidak cukup untuk melawan 100 pemanah, padahal sebenarnya mereka memiliki alternatif untuk meninggalkan perang. Namun demikian Ashim RA tidak mau mengambil pilihan kecuali memerangi mereka, ia pun memerangi mereka sampai terbunuh.
b. Dalil lain adalah kisah ‘Amru bin Jamuh RA, seorang lelaki pincang dan ia memiliki empat anak seperti singa yang ikut serta dalam beberapa perang Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.
Tatkala perang Uhud, mereka ingin menahan ayahnya dan mengatakan, “Sesungguhnya Alloh telah memberi udzur kepadamu.”
Maka ia datang kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan mengatakan, “Anak-anakku ingin menahan aku dari kesempatan ini dan melarangku berangkat bersamamu. Demi Alloh, aku benar-benar berharap bisa menginjakkan kakiku yang pincang ini di Jannah.”
Maka Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Adapun engkau, Alloh telah memberi udzur kepadamu, engkau tidak wajib berjihad.” Kemudian beliau bersabda kepada anak-anaknya, “Janganlah kalian halangi dia, barangkali Alloh akan memberikan kesyahidan kepadanya.”
Akhirnya ia turut keluar bersama beliau hingga akhirnya terbunuh dalam perang Uhud.”
Dari Abu Qotadah ia berkata: “Amru bin Jamuh datang kepada Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam kemudian ia berkata: “Ya Rasulullah, apa pendapat tuan jika aku berperang di jalan Alloh sampai aku terbunuh, apakah aku akan bisa berjalan di Jannah dengan kakiku dalam keadaan sehat (normal)?” –kakinya memang pincang—maka Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Ya.”
Akhirnya ia terbunuh bersama keponakan serta maula-nya. Maka Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam melewatinya kemudian bersabda, “Seolah aku melihat ia sedang berjalan di jannah dengan kakinya dalam keadaan sehat.”
Kemudian Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan agar mereka berdua berikut maulanya dijadikan dalam satu kubur. Mereka pun dikubur menjadi satu.”
Petunjuk yang ada pada kisah Amru bin Jamuh adalah bahwa Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengi-zinkan ia berperang meski ia dalam keadaan pincang yang mendapatkan udzur berdasarkan nash Al-Qur’anul Karim, jadi dia sebenarnya tidak wajib berperang.
c. Dalil lain adalah kisah Salamah bin Al-Akwa‘ ketika ia menyergap Abdurrohman Al-Fazari dan pasukannya untuk mengambil kembali kambing milik Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang mereka rampas. Salamah bin Al-Akwa‘ mengejar mereka sendirian, ia terus melempari mereka dengan lembing hingga berhasil membebaskan apa yang mereka rampas. Ia terus mengejar mereka sementara mereka lari dan mereka buang apa yang mereka simpan, ia mengambil salab dari mereka lebih dari 30 burdah dan 30 tombak.
Salamah menuturkan: “…aku terus berada pada posisiku sampai akhirnya aku melihat pekuda-pekuda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang berada di celah-celah pohon.” Ia melanjutkan: “Ternyata yang paling depan adalah Al-Akhrom Al-Asadi, disusul di belakangnya Abu Qotadah Al-Anshori.”
Salamah melanjutkan, “Kemudian kupegang tali kekang kuda Al-Akhrom. Merekapun lari mundur, aku katakan, “Wahai Akhrom, waspadailah mereka, jangan sampai mereka menghadangmu sebelum Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan para shahabatnya datang.”
Al-Akhrom berkata, “Wahai Salamah, jika engkau beriman kepada Alloh dan hari Akhir serta tahu bahwa surga dan neraka itu benar, maka jangan halangi antara diriku dan kesyahidan.”
Salamah berkata, “Akhirnya kulepaskan ia, kemudian ia bertemu berhadapan dengan Abdurrohman, Abdurrohman berhasil menikam dan membunuhnya. Kemudian Abu Qotadah, pekuda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengejar Abdurrohman dan berhasil menikam dan ganti membunuhnya. Demi Dzat yang telah memuliakan wajah Muhammad, aku benar-benar mengikuti mereka, aku kejar dengan kakiku sampai aku tidak melihat di belakangku ada para shahabat Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, tidak juga debunya sedikitpun. Hingga sebelum matahari tenggelam, mereka belok ke sebuah lembah yang di sana ada mata air, namanya Dzu Qorod, untuk minum darinya karena mereka kehausan. Kemudian mereka melihat diriku yang mengejar di belakang mereka, maka akupun mengusir mereka dari mata air tersebut sehingga mereka tidak jadi minum satu tetespun darinya.”
Di antara komentar Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam ketika itu: “Sebaik-baik penunggang kuda kita hari ini adalah Abu Qotadah, dan sebaik-baik pasukan pejalan kaki kita adalah Salamah.”
Hadits ini juga disebutkan Imam Ibnun Nuhas Ad-Dimyathi dalam kitabnya Masyari‘ul Asywaq ila Mashori‘il ‘Usysyaq fi Fadho’ilil Jihad dalam bab yang ia beri judul: Keutamaan Satu Orang Yang Pemberani Atau Kelompok Yang Sedikit Menceburkan Diri Ke Dalam Jumlah Yang Banyak Karena Mengharapkan Kesyahidan Dan Ingin Merugikan Musuh. Kemudian ia berkata:
“Di dalam hadits shohih ini terdapat dalil yang sangat tepat tentang kebolehan satu orang menyerang golongan musuh yang banyak meskipun ia yakin dirinya bakal terbunuh, jika ia melakukannya ikhlas demi mencari kesyahidan, seba-gaimana dilakukan Al-Akhrom Al-Asadi RA; dan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak mencela perbuatannya itu dan tidak melarang sahahabat melakukan hal yang sama.
Bahkan dalam hadits ini terdapat dalil disunnahkannya dan keutamaan perbuatan ini, sebab Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memuji Abu Qotadah dan Salamah tindakan mereka berdua sebagaimana disebutkan, padahal mereka berdua maju menghadapi musuh sendirian dan tidak menunggu sampai kaum muslimin datang.”
d. Ibnu Qudamah berkata,
“Jika jumlah musuh berlipat ganda dari jumlah Kaum Muslimin namun Kaum Muslimin merasa akan menang, maka lebih baik mereka bertahan. Sebab ada mashlahat di sana. Namun kalau mereka mundur, boleh-boleh saja, sebab tidak ada jaminan mereka akan selamat. Tetapi jika mereka menduga kuat bahwa mereka akan binasa jika tetap bertahan dan jalan selamat adalah dengan mundur, maka lebih baik mundur. Kalaupun mereka tetap bertahan, juga boleh-boleh saja karena keiningan mati syahid dan masih adanya kemungkinan bisa menang.”
Seandainya syaukah dan kemampuan menjadi syarat sah jihad, tentu Ibnu Qudamah tidak memperbolehkan tetap bertahan, walaupun dalam dugaan kuat mereka pasti akan binasa dan akan selamat jika mundur.
e. Al-Quthubi berkata di dalam Tafsir-nya:
“Muhammad bin Al-Hasan berkata: ‘Seandainya ada satu orang yang maju menghadapi 1000 orang musyrik sendirian, itu tidak menjadi mengapa jika ia tetap memiliki keinginan kuat untuk selamat dan bisa merugikan musuh. Jika tidak seperti itu, maka hal itu makruh, sebab ia menyodorkan dirinya kepada kehancuran tanpa adanya manfaat bagi kaum muslimin.”
Jika maksud dia adalah membangkitkan keberanian kaum muslimin melawan musuhnya sehingga ia melakukan tindakan tersebut, maka tidak mengapa. Sebab di sana ada manfaat bagi kaum muslimin dari beberapa sisi.
Jika tujuannya adalah irhab (menggentarkan musuh) agar mereka tahu kuatnya kaum muslimin dalam urusan agama, maka tidak mengapa. Jika di sana ada manfaat bagi kaum muslimin, lalu ia membinasakan dirinya dalam rangka memuliakan agama Alloh dan menghinakan kaum kafir, maka itu adalah kedudukan mulia yang Alloh puji Kaum Mukminin dengannya dalam firman-Nya: “Sesungguhnya Alloh telah membeli dari orang-orang beriman jiwa mereka…”
Dan ayat pujian lain di mana Alloh memuji orang yang mengorbankan nyawanya.
Dengan demikian, sebaiknya hukum amar makruf nahi munkar pun dibangun di atas pertimbangan di atas.”
f. As-Sarkhosi berkata:
“Tidak mengapa mundur jika kaum muslimin didatangi musuh yang tidak sanggup dilawan , namun tidak mengapa juga jika terus bersabar. Tidak seperti dikatakan sebagian orang bahwa itu adalah menceburkan diri dalam kebinasaan. Itu justeru merupakan pengorbanan jiwa dalam rangka mencari keridhoan Alloh ta‘ala. Perbuatan ini pernah juga dilakukan oleh lebih dari satu shahabat RA. Di antaranya adalah ‘Ashim bin Tsabit ketika ia menolak mundur, dan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memuji perbuatan mereka. Dari sini tahulah kita bahwa tindakan seperti itu tidak mengapa. Wallohul Muwaffiq.”
Ini semua adalah dalam jihad tholab, yang keabsahan jihadnya jelas tidak disyaratkan satu kelompok mujahid harus memiliki syaukah yang bisa mendatangkan kemenangan atas musuh. Kalau kelompok tersebut bisa menimbulkan kerugian kepada musuh walaupun itu sekedar menggentarkan hati mereka, itu sudah cukup. Atau bisa mendatangkan mashlahat bagi kaum muslimin walaupun mashlahat ini hanya berupa memompa keberanian dalam hati orang-orang beriman.
Adapun dalam jihad difa‘, maka tidak perlu ada syarat seperti ini, sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya.
Tidak diragukan, pendapat yang muncul akan beragam dalam menentukan kerugian dan mashlahat yang bisa ditimbulkan dari tindakan maju melaksanakan operasi tertentu dalam jihad. Maka dalam kondisi seperti ini harus ada ijtihad dalam menentukannya. Yang wajib bagi kelompok mujahid adalah bertakwa kepada Alloh sehingga ia tidak bersikap ngawur dan tidak juga terlalu pengecut. Namun ia serahkan urusan tersebut kepada orang berilmu yang memiliki kemampuan melakukan qiyas dengan baik. Kelompok tersebut juga harus selalu merujuk kepada ulama yang mengamalkan ilmunya (‘Amilin).
Oleh karena itu, kapan saja sekelompok Ahlul Haq merasa yakin –setelah mengerahkan kesungguhannya dan meminta pertimbangan kepada para ulama— bahwa mereka mampu menimbulkan kerugian pada musuh, atau memberikan mashlahat bagi kaum muslimin, maka mereka bisa langsung melaksanakan operasi itu saat itu juga. Untuk selain mereka yang berudzur karena masih lemah, maka ia tidak berhak mengingkari apa yang mereka lakukan dengan dalih bahwa mereka belum memiliki kemampuan, tapi mestinya ia justeru bergembira dengan operasi tersebut mencita-citakan dirinya menjadi pelakunya.
g. Ibnu Abdil ‘Izz berkata,
“Jika seorang hamba tidak mampu mengetahui sebagian hal itu atau tidak bisa mengamalkannya, maka janganlah ia melarang dilaksanakannya ajaran Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang tidak mampu ia laksanakan. Tidak mencela itu sudah cukup baginya, justeru seharusnya ia merasa bangga dan senang karena ada orang lain yang melaksanakannya, dan berandai andai menjadi pelaku-nya.”
Ini dikarenakan Alloh ‘azza wa jalla telah memberikan udzur orang yang tidak mampu berjihad, akan tetapi dengan syarat ia berlaku baik kepada Alloh dan rosul-Nya, bukan menghambat dan mencela. Alloh ta‘ala berfirman:
لَّيْسَ عَلَى الضُّعَفَآءِ وَلاَعَلَى الْمَرْضَى وَلاَعَلَى الَّذِينَ لاَيَجِدُونَ مَايُنفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوا للهِ وَرَسُولِهِ
“Tidak ada dosa bagi orang-orang lemah, orang-orang sakit dan orang-orang yang tidak mendapatkan biaya untuk membawanya jika mereka berbuat baik kepada Alloh dan rosul-Nya.”
Al-Hafidz Ibnu Katsir berkata,
“Maka bagi orang-orang ini tidak ada dosa jika tidak ikut perang dan berbuat baik ketika ketika itu, serta tidak mempengaruhi manusia, tidak menghalangi mereka dan mereka baik-baik saja. Oleh karena itu Alloh berfirman setelahnya:
مَاعَلَى الْمُحْسِنِينَ مِن سَبِيلٍ وَاللهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik, sesungguhnya Alloh Mahapengampun lagi Mahapengasih.”

Syubhat Kelima: Kita Harus Menahan Diri Tidak Berperang Dulu Karena Kaum Muslimin Masih Lemah Seperti Yang Terjadi Pada Fase Mekkah
Jawaban:
Apa pendapat mereka yang mengatakan lemahnya kaum muslimin adalah sebab tidak disyari‘atkannya jihad di Mekkah? Apakah itu merupakan ‘illah yang mempengaruhi disyari‘atkan atau tidaknya jihad? Ataukah itu merupakan hikmah dari hukum naskh dan tadarruj (pensyariatan setahap demi setahap)?
Agar permasalahan ini menjadi lebih jelas, kita kembali kepada masalah disyariatkannya jihad pada periode Mekkah dan periode Madinah, dan bahwa ayat pedang (At-Taubah: 5, penerj.) telah menghapus semua hukum disyariatkannya jihad pada ayat-ayat yang turun sebelumnya.
Para ulama generasi salaf dan setelahnya menetapkan bahwa fase terakhir itu menjadi penghapus fase sebelumnya.
Imam Ibnu Jarir Ath-Thobari berkata mengenai tafsir firman Alloh ta‘ala:
“Maka berilah maaf dan biarkanlah mereka sampai Alloh datangkan urusan-Nya.”
“Alloh jalla tsana’uhu menghapus berlakunya pemberian maaf dan membiarkan mereka dengan mewajibkan memerangi mereka sebagai ganti, sampai kalimat orang-orang kafir dan kaum mukminin sama (artinya mereka masuk Islam, penerj.), atau membayar jizyah dari tangan dalam keadaan hina.”
Kemudian ia menukil pendapat tentang hukum nasakh ini dari Ibnu ‘Abbas, Qotadah dan Robi‘ bin Anas.
Al-Hafiz Ibnu Katsir di dalam tafsir firman Alloh ta‘ala:
“Maka berilah maaf dan biarkanlah mereka sampai Alloh datangkan urusan-Nya.” juga menukil pendapat terhapusnya ayat ini dari Ibnu ‘Abbas. Ia berkata, “Abul ‘Aliyah, Ar-Robi‘ bin Anas, Qotadah dan As-Suddi mengatakan bahwa ayat ini terhapus dengan ayat pedang, ini ditunjukkan juga oleh firman Alloh ta‘ala: “…sampai Alloh datangkan urusan-Nya.”
Ibnu ‘Athiyyah mengatakan dalam tafsirnya mengenai ayat pedang: “Ayat ini menghapus semua pemberian maaf dalam Al-Quran atau yang senada dengannya. Disebutkan bahwa ayat-ayat seperti ini berjumlah sekitar 114 ayat.”
Al-Qurthubi berkata mengenai tafsir firman Alloh ta‘ala: “Maka berilah maaf dan biarkanlah mereka sampai Alloh datangkan urusan-Nya.”
“Ayat ini mansûkh dengan firman Alloh ta‘ala:
قَاتِلُوا الَّذِينَ لاَيُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَلاَيُحَرِّمُونَ مَاحَرَّمَ اللهُ وَرَسُولُهُ وَلاَيَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَن يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ
Dari Ibnu ‘Abbas, dikatakan: “Yang menghapus ayat ini adalah firman Alloh: “…faqtulul musyrikiina…”
Beliau berkata juga mengenai tafsir firman Alloh ta‘ala:
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ
“Hai Nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan munafik serta bersikap keraslah terhadap mereka.”
“Ayat ini menghapus semua ayat tentang pemberian maaf dan memberi ampun.”
Ibnu Hazm berkata, “Larangan perang dihapus menjadi wajibnya perang.”
Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah berkata, “…maka perintah-Nya agar mereka berperang menghapus perin-tah menahan diri…”
As-Suyûthî berkata:
“Firman Alloh ta‘ala: “…Faqtulul Musyrikiin haitsu wajadtumuuhum…” , ini adalah ayat pedang yang menghapus ayat-ayat tentang pemberian maaf, membiarkan, berpaling dan berdamai. Jumhur menjadikan keumuman ayat ini sebagai dalil untuk memerangi bangsa Turki dan Habasyah.”
Ia juga berkata,
“Semua pemberian maaf, berpaling, membiarkan dan menahan diri terhadap orang kafir yang tercantum dalam Al-Qur’an telah terhapus dengan ayat pedang.”
Lebih dari satu orang ulama yang menukil adanya ijmâ‘ tentang pendapat yang menyatakan terhapusnya ayat-ayat tadi, di antaranya:
Ibnu Jarir berkata dalam tafsir firman Alloh ta‘ala:
“Katakanlah kepada orang-orang beriman, hendaknya mereka memberi ampun kepada orang-orang yang tidak mengharapkan hari-hari Alloh…”
“Ayat ini terhapus dengan perintah Alloh untuk memerangi orang-orang musyrik. Kami katakan terhapus lantaran adanya ijmâ‘ Ahlut Takwil yang menyatakan seperti itu.”
Al-Jashshosh berkata mengenai firman Alloh ta‘ala:
فَإِنِ اعْتَزَلُوكُمْ فَلَمْ يُقَاتِلُوكُمْ وَأَلْقَوْا إِلَيْكُمُ السَّلَمَ فَمَا جَعَلَ اللهُ لَكُمْ عَلَيْهِمْ سَبِيلاً
“Maka jika mereka membiarkan kalian, tidak memerangi kalian dan mengemukakan perdamaian, maka kami tidak berikan jalan bagi kalian untuk (menawan dan membunuh mereka).”
“Dan kami tidak mengetahui seorang fuqoha pun yang melarang memerangi orang musyrik yang tidak memerangi kita, yang diperselisihkan adalah boleh tidaknya membiarkan mereka tidak diperangi, bukan larangannya; sebab semuanya sepakat larangan perang terhadap orang musyrik yang tidak memerangi kita telah terhapus.”
As-Syaukani berkata:
“Adapun memerangi orang-orang kafir, bertempur melawan orang-orang kafir dan mengajak mereka kepada Islam atau mereka membayar jizyah, atau diperangi, semua itu merupakan ajaran agama yang sudah sangat jelas. Adapun dalil-dalil yang berisi perintah membiarkan dan meninggalkan mereka jika mereka tidak memerangi, maka itu sudah mansukh (dihapus) menurut kesepakatan kaum Muslimin, dengan ayat yang mewajibkan untuk memerangi mereka dalam kondisi apapun jika memiliki kemampuan untuk memerangi mereka dan menyerbu ke negeri-negeri mereka.”
Shiddîq Hasan Khon juga menukil ijmâ‘ dengan lafadz yang sama dengan Asy-Syaukani, namun ia tidak menisbatkan perkatan itu kepadanya.
Jadi, yang benar, belum disyariatkannya jihad di fase Mekkah adalah karena adanya hikmah penghapusan hukum (nask), bukan merupakan ‘illah. Sebab ‘illah disyariatkannya jihad adalah meninggikan kalimat Alloh. Nash-nash syar‘i menunjukkan bahwa ‘illah memerangi orang-orang kafir adalah karena kekufuran orang kafir, sebagaimana firman Alloh ta‘ala:
فَإِذَا انْسَلَخَ اْلأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوْهُم
“Jika telah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrik di mana saja kalian temui mereka.”
Alloh ta‘ala juga berfirman:
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لاَتَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ للهِ فَإِنْ انْتَهَوْا فَإِنَّ اللهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرُُ
“Dan perangilah mereka sampai tidak ada fitnah dan agama itu seluruhnya menjadi milik Alloh. Jika mereka berhenti, maka sesungguhnya Alloh Mahamelihat apa yang mereka kerjakan.”
Alloh ta‘ala juga berfirman:
قَاتِلُوا الَّذِينَ لاَيُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَلاَيُحَرِّمُونَ مَاحَرَّمَ اللهُ وَرَسُولُهُ وَلاَيَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَن يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Alloh dan hari akhir serta tidak mengharamkan apa yang Alloh dan rosul-Nya haramkan dan tidak beragama dengan agama yang benar (Agama Alloh; Islam), yaitu orang-orang yang diberi kitab sampai mereka membayar jizyah dengan tangan sementara mereka dalam keadaan tunduk.”
Nash-nash ini –dan yang semisal— menjelaskan bahwa orang-orang kafir diperangi karena kekafiran mereka. Ayat dan hadits-hadits yang ada menyatakan munculnya hukum perang disebabkan mereka kafir.
Al-Qurofî Rahimahulloh berkata, “Dzohir dari nash-nash yang ada menunjukkan bahwa munculnya hukum perang disebabkan ada kekafiran dan kesyirikan, dan munculnya suatu hukum lantaran suatu sifat itu menunjukkan bahwa sifat itulah yang menjadi ‘illah, sementara selain sifat itu bukan ‘illah.”
Jadi, ‘illah yang menjadikan wajib tidaknya jihad bukan kuat atau lemahnya kaum muslimin sehingga dikatakan secara mutlak bahwasanya menahan diri dan membiarkan itu wajib ketika dalam kondisi lemah. Tetapi ‘illahnya tak lain karena adanya kekufuran serta agama yang bukan seluruhnya milik Alloh. Sehingga, perang menjadi wajib sampai tidak ada fitnah dan sampai agama semuanya menjadi milik Alloh.
Perkataan bahwa lemahnya kaum muslimin menjadi sebab tidak disyariatkannya jihad di Mekkah tidak lain adalah sebuah ijtihad, bukan nash hadits Nabi. Oleh karena itu, bisa saja menambahkan hikmah dan sebab-sebab lain dari ijtihad seperti ini sesuai yang Alloh bukakan kepada para hamba-Nya.
Ibnu Katsir telah mengisyaratkan bahwa lemahnya kaum muslimin bukan merupakan satu-satunya sebab jihad tidak disyariatkan di Mekkah, ia berkata:
“Orang-orang beriman di awal-awal Islam di Mekkah diperintahkan untuk sholat dan zakat yang belum mencapai nishob. Mereka juga diperintah menyantuni orang fakir dari mereka. Mereka juga diperintahkan mem-biarkan dan memaafkan orang-orang musyrik, serta ber-sabar hingga tiba saatnya nanti. Padahal, mereka juga menahan amarah dan ingin sekali berperang agar bisa melampiaskan perasaannya terhadap musuh.
Kondisi saat itu belum tepat lantaran banyak sebab. Di antaranya adalah masih sedikitnya jumlah orang beriman dibandingkan jumlah musuh.
Sebab lainnya karena mereka berada di negeri mereka sendiri, yaitu Tanah Harom yang merupakan petak tanah termulia, sehingga saat itu belum ada perintah perang dulu sebagaimana dikatakan.
Oleh sebab itu, jihad belum diperintahkan kecuali setelah di Madinah, ketika mereka sudah memiliki basis kekuatan dan para pembela.”
Ia juga mengisyaratkan sebab lain ketika menafsirkan firman Alloh ta‘ala: “Katakanlah kepada orang-orang beriman, hendaknya mereka memberi ampun kepada orang-orang yang tidak mengharapkan hari-hari Alloh…”
Ia berkata, “Artinya, hendaknya orang-orang beriman memaafkan dan bersabar menahan gangguan mereka. Ini berlaku di awal-awal Islam, mereka diperintahkan bersabar menghadapi gangguan orang-orang musyrik dan Ahli Kitab agar membuat mereka lunak. Tatkala mereka ternyata terus menerus menentang, Alloh mensyariatkan sikap tegas dan jihad. Demikianlah yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas RA dan Qotadah.”
Ia berkata dan menolong beliau, mereka sudah punya negeri Islam dan tempat berlindung, Alloh pun mensyariatkan jihad melawan musuh.”
Ustadz Sayyid Quthb Rahimahullah memiliki pernyataan tentang masalah ini, beliau menambahkan bahwa dalam lemahnya Kaum Muslimin ada enam hikmah lain, secara ringkas beliau mengatakan:
“Bisa jadi fase Mekkah adalah fase tarbiyah dan I‘dad. Di antara tujuan tarbiyah adalah mendidik jiwa masyarakat Arab untuk bersabar menghadapi perkara yang biasanya mereka tidak sabar, seperti ketika mereka mendapat perlakuan zalim atau kezaliman itu menimpa orang yang mereka jadikan tempat perlindungan. Hal ini supaya kepribadian mereka terbebas darinya dan agar tidak kembali mengulangi tabiat seperti itu, demikian juga orang yang mereka pandang sebagai tumpuan hidup.
Mungkin juga, karena dakwah secara damai lebih berbekas dan lebih bisa diterima pada lingkungan seperti Quraisy yang biasa bersikap arogan dan merasa mulia, dan mungkin saja kalau perang digunakan pada fase seperti ini hanya akan menambah penentangan.
Di antara hikmah lain, bisa jadi untuk menghindari munculnya peperangan dan pembunuhan di setiap rumah. Sebab saat itu belum ada sistem kekuasaan berupa undang-undang umum yang mengatur penyiksaan yang menimpa orang-orang beriman, tapi hanya diserahkan kepada pemimpin masing-masing, mereka berhak menyiksa dan mendidiknya.
Barangkali juga, karena Alloh tahu bahwa kebanyakan orang-orang yang menentang dan menyiksa Kaum Muslimin generasi pertama itu kelak bakal menjadi tentara Alloh yang ikhlas.
Barangkali juga, sifat kesatria Bangsa Arab biasanya ingin membalaskan dendam orang terzalimi yang menerima siksaan namun tidak bisa membalas, terlebih jika siksaan itu menimpa orang terpandang di kalangan mereka. Ibnud Daghonah misalnya, ia tidak rela membiarkan Abu Bakar hijrah dan keluar dari Mekkah, ia menganggap itu aib bagi bangsa Arab, maka ia mendampingi dan melindunginya.
Barangkali juga karena sedikit dan terbatasnya jumlah kaum Muslimin di Mekkah ketika itu. Maka dalam kondisi seperti ini, peperangan yang dipaksakan akan berujung kepada terbunuhnya kelompok muslim dan eksisnya kesyirikan.
Di saat yang sama, ketika itu belum ada tuntutan mendesak untuk mengabaikan semua pertimbangan ini. Sebab perkara yang pokok dalam dakwah ini berjalan dengan tepat dan terlaksana pada waktunya, dakwah tetap bisa dilaksanakan oleh Sang Dai, yaitu Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, sementara beliau sendiri dilindungi pedang-pedang Bani Hasyim, sehinga tidak ada tangan yang berani coba-coba mengusiknya kecuali terancam akan tertebas.”
Sebelum ini, ustadz Sayyid Quthb sudah memberikan pengantar yang menyebutkan bahwa apa yang akan belaiu ucapkan dalam masalah ini tak lain adalah ijtihad, bisa salah dan bisa benar. Dan bisa saja di balik semua itu ada hikmah-hikmah lain yang tidak diketahui selain Alloh, sikap seorang mukmin di hadapan tugas syariat dan hukum apapun yang sebabnya tidak Alloh terangkan secara rinci, pasti dan jelas, maka:
“…meskipun terlintas sebab dan ‘illah-‘illah dari hukum atau tugas syariat tertentu, ia harus menganggap semua yang terlintas itu sebatas kemungkinan saja. Janganlah ia memastikan –walau se-tsiqoh apapun ilmu ilmu dan perenungannya terhadap hukum-hukum Alloh—bahwa pendapatnya itulah hikmah yang dikehendaki Alloh secara nash, di balik itu tidak ada yang lain. Sikap tidak memastikan seperti ini termasuk adab yang wajib terhadap Alloh…”
Jadi, ini adalah masalah ijtihad. Tidak mungkin bisa dipastikan bahwa lemahnya kaum muslimin adalah satu-satunya sebab tidak disyariatkannya jihad di Mekkah.
Artinya, di sana ada banyak hal yang bisa menjadi pertimbangan untuk menemukan sebab-sebab mengapa perang dilarang di fase Mekkah. Lantas, mengapa kelemahan dianggap sebagai satu-satunya ‘illah yang menjadi poros ada tidaknya perintah menahan diri dan membiarkan?
Perkataan bahwa lemahnya kaum muslimin adalah sebab tidak disyariatkannya jihad di fase Mekkah, sebenarnya adalah pembahasan mengenai hikmah dari pensyariatan secara bertahap (tadarruj), bukan mengenai ‘illah hukum. Seperti perkataan Aisyah ketika menerangkan sebab ditundanya hukum-hukum diturunkan, di antaranya tadarruj dalam pengharaman khomer.
Kita tahu bahwa tadinya khomer tidak haram, selanjutnya diharamkan ketika sholat saja dan terakhir diharamkan secara total. Hukum terakhir inilah yang menghapus semua hukum sebelumnya. Tidak diragukan lagi bahwa belum diharamkannya khomer pada awal mula Islam memiliki sebab-sebab, seperti dijelaskan pada perkataan Aisyah RA:
“Sesungguhnya yang pertama kali diturunkan adalah surat Mufashshol yang di dalamnya disebutkan tentang surga dan neraka. Hingga ketika manusia mau kembali kepada Islam, turunlah masalah halal haram. Seandainya pertama-tama langsung turun; ‘Kalian jangan minum khomer’ tentu mereka akan mengatakan, ‘Kami tidak akan meninggalkan khomer selamanya.’ Jika langsung diturunkan, ‘Kalian jangan berzina.’ Tentu mereka akan mengatakan, ‘Kami tidak akan meninggalkan zina selamanya…”
Di sini, Aisyah RA menjelaskan bahwa sebab penundaan diturunkannya berbagai hukum –seperti diharamkannya khomer— adalah disebabkan manusia pada awal-awal kedatangan Islam belum siap menerimanya. Ini juga salah satu hikmah ilahiy dengan menunda turunnya hukum sampai jiwa mereka tenang dengan tauhid serta memahami surga dan neraka.
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata,
“Maka tatkala jiwa sudah tenang atas hal itu, barulah turun ayat-ayat hukum. Oleh karena itu, Aisyah RA berkata, ‘Seandainya pertama kali langsung turun; ‘Kalian jangan minum khomer’ tentu mereka akan mengatakan, ‘Kami tidak akan meninggalkan khomer.’ Hal itu disebabkan watak jiwa yang akan menolak meninggalkan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan.”
Tetapi perlu dicatat, sebab yang disebutkan Ummul Mukminin ‘Aisyah mengenai ditundanya penurunan ayat-ayat hukum bukan berarti jika sebab itu kembali ada, hukum dari sebab itu akan sama dengan hukum yang berlaku pertama kali. Misalnya, jika hari ini ada orang Barat masuk Islam dan tadinya ia biasa minum khomer atau memiliki kebiasaan seperti kebiasaan orang Arab dahulu, atau lebih parah, maka tidak boleh kita terapkan syariat pengharaman khomer secara bertahap terhadapnya. Namun sejak hari pertama masuk Islam, ia diwajibkan mengamalkan perintah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang paling akhir (pengharaman khomer secara total) meskipun dalam dirinya terdapat sebab yang sama dengan sebab diharamkannya khomer secara bertahap.
Jadi, ‘Aisyah tidak berbicara mengenai ‘illah diharamkannya khomer, zina atau hukum lainnya. Bahkan tidak berbicara tentang hikmah pensyariatan hukum tersebut. Beliau hanya berbicara mengenai hikmah mengapa turunnya hukum-hukum tersebut ditunda.
Demikian juga, dalam urusan jihad sah-sah saja mengatakan: Sesungguhnya lemahnya kaum muslimin di fase Mekkah adalah hikmah tidak disyariatkannya jihad di masa itu. Akan tetapi, itu bukan merupakan ‘illah yang menjadi poros wajib tidaknya jihad.
Sesungguhnya perkataan bahwa dalam kondisi lemah hukum kembali kepada hukum yang berlaku ketika fase Mekkah sama dengan meninggalkan I‘dad (persiapan) untuk perang. Sebab ketika itu kaum Muslimin tidak diperintahkan melakukan I‘dad. Perintah I‘dad baru turun ketika di Madinah, setelah disyariatkannya perang. Perkataan ini jelas tidak benar. Karena sudah jelas, di saat jihad tidak bisa dilakukan lantaran kondisi lemah maka harus dilakukan I‘dad, sebagaimana disebutkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah .





Syubhat Keenam: Orang Kafir Terlindungi Darah Dan Hartanya Jika Kaum Muslimin Belum Memiliki Persenjataan Yang Cukup (Syaukah) Dan Kekuatan. Sebab Rosululloh Sho-llallohu ‘Alaihi wa Sallam Tidak Memerangi Memerangi Seorang Musyrikpun Di Mekkah Dan Tidak Menghalalkan Harta Dan Darah Mereka
Jawaban:
Adapun anggapan bahwa orang kafir terlindungi jika Kaum Muslimin tidak memiliki syaukah dan kekuatan, maka ini adalah kebid‘ahan dalam agama Islam.
Mengenai masalah terlindunginya darah, sudah dibica-rakan pada pembahasan pertama dari pasal kedua. Se-dangkan masalah syaukah dan kekuatan telah dibahas pada jawaban syubhat keempat, silahkan merujuknya kembali.
Berdalil dengan sikap Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam terhadap orang-orang kafir di fase Mekkah itu seperti perkataan mereka yang biasa disebut “Jama‘ah Tawaqquf”. Mereka mengatakan bahwa kita sedang hidup di masa kelemahan seperti periode Mekkah dulu, sehingga kita harus memberlakukan kembali fase-fase pemberlakuan hukum yang diikuti di masa pertama Islam, yaitu memulai dengan apa yang diturunkan di Mekkah di masa lemah yang sekarang kita juga sedang mengalaminya.
Nanti kalau jama‘ah ini sudah sampai kepada kekuasaan dan memberlakukan Islam sebagai hukum, barulah ia jalankan syari‘at yang turun di Madinah, tatkala Islam berkuasa.
Adapun fase yang sekarang kita alami adalah masa kelemahan, wanita-wanita musyrik belum haram dinikahi, sembelihan-sembelihan mereka juga belum haram, sholat Jum‘at belum wajib, begitu juga sholat Idul Fithri dan Idul Adha. Berjihad juga tidak boleh, kita wajib menahan diri dulu dan tidak melakukan perlawanan, dan tidak ada hukum-hukum lain yang turun ketika Islam berkuasa di Madinah yang bisa diberlakukan sekarang.
Parahnya, kelompok ini menganggap itu bagian dari akidah, sehingga kemudian mengkafirkan orang yang mengingkari fase-fase tersebut. Pada akhirnya, mereka mengkafirkan orang yang berusaha menyusun kekuatan di masa kelemahan seperti ini.
Oleh karena itu, di antara mereka ada yang menyatakan pandangan khususnya secara terus terang tentang kafirnya Sayyid Quthb Rahimahullah karena dalam pandangan mereka beliau ini mengambil jalan kekuatan.
Yang lebih parah dari bid‘ah ini adalah bid‘ah seseorang bernama Mahmud Thoha As-Sudani –yang terbunuh pada masa An-Numairi— di mana ia juga beranggapan bahwa kita ini hanya diwajibkan mengamalkan Al-Qur’an Mekkah, ia menamakannya Al-Qur’an Mekkah dengan Qur’an Al-Isholah. Atas dasar keyakinan itu, sekarang ini tidak ada zakat dan jihad, khomer tidak haram dan pada asalnya wanita itu adalah terbuka, bukan berjilbab serta kebatilan-kebatilan lain , ini tentunya adalah kesesatan yang paling parah.


Syubhat Ketujuh: Tidak Boleh Membunuh Orang Amerika Dalam Kondisi Lengah (Ightiyâl) Berdasarkan Sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam: “Tidak Selayaknya Seorang Nabi Melakukan Pengkhianatan Mata.”
Jawaban:
Diperbolehkan melakukan ightiyal terhadap orang kafir harbi, yakni orang kafir yang tidak ada ikatan janji.
Sunnah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menunjukkan kebolehannya jika dilakukan terhadap orang yang gangguan terhadap Alloh dan rosul-Nya Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sangat keras. Masalah ini juga diisyaratkan dalam firman Alloh ta‘ala:

فَإِذَا انْسَلَخَ اْلأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوْهُمْ وَخُذُوْهُمْ وَاحْصُرُوْهُمْ وَاقْعُدُوْا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ
“…maka bunuhlah orang-orang musyrik di manapun kalian jumpai mereka, kepunglah mereka, dan intailah mereka dari tempat-tempat pengintaian.”
Al-Qurthubi berkata, “…dan intailah mereka dari tempat-tempat pengintaian” maksudnya, intailah mereka di tempat-tempat ketika mereka lalai. Ini merupakan dalil bolehnya melakukan ightiyal terhadap mereka sebelum mendakwahi mereka.”
Perkataan Al-Qurthubi, “…sebelum mendakwahi mereka” maksudnya, bagi orang yang sebelumnya sudah menerima dakwah.
Sedangkan ayat “…dan intailah mereka dari tempat-tempat pengintaian.” berisi dalil disyariatkannya aksi pengintaian, pemantauan dan memata-matai musuh.
Adapun sunnah, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam pernah memerintahkan untuk membunuh Ka‘b bin Al-Asyrof dan Abu Rofî‘ bin Abil Huqoiq, keduanya adalah orang Yahudi.
Mengenai Ka‘ab, disebabkan karena ia memprovokasi kaum musyrikin untuk memerangi Kaum Muslimin. Ia juga gemar mencaci Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dengan syairnya dan suka mengganggu isteri-isteri kaum Muslimin. Adapun kisah pembunuhannya terdapat dalam riwayat Bukhori dan Muslim.
Bukhori meriwayatkan dari Jabir:
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Siapa yang mau membunuh Ka‘b bin Al-Asyrof? Sesungguhnya ia telah menyakiti Alloh dan rosul-Nya.” Maka Muhammad bin Salamah berdiri lalu berkata, “Wahai Rosululloh, apakah tuan suka kalau saya membunuhnya?” beliau bersabda, “Ya.” Ia berkata, “Kalau begitu, izinkan aku mengatakan sesuatu.” Beliau bersabda, “Katakan saja.” Akhirnya Muhammad bin Maslamah mendatangi Ka‘b.”
Selanjutnya dalam hadits ini dikisahkan bahwasanya Muhammad bin Salamah dan teman-temannya mengelabui Ka‘ab dengan berpura-pura kecewa terhadap Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, mereka juga menipunya sebelum berhasil membunuhnya ketika Ka‘b berada di benteng Manî‘.
Ibnu Hajar berkata,
“Di dalam Mursal ‘Ikrimah disebutkan: ‘..Maka orang-orang yahudi ketakutan dengan peristiwa pembunuhan itu, kemudian mereka mendatangi Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan mengatakan, ‘Pembesar kami terbunuh diam-diam.’ Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam lalu menceritakan kelakuan Ka‘ab yang suka memprovokasi orang lain untuk memerangi beliau dan menyakiti Kaum Muslimin.’”
Sa‘d menambahkan, “…akhirnya mereka ketakutan dan tidak bicara sepatahpun.”
Hingga Ibnu Hajar mengatakan:
“Hadits ini berisi bolehnya membunuh orang musyrik tanpa mendakwahinya dulu, jika dakwah secara umum sudah sampai kepadanya. Dan berisi bolehnya berbicara dalam perang sesuai keperluan, meskipun orang yang mengatakan tidak bermaksud makna yang sebenarnya.” Bukhori meriwayatkan hadits ini dalam Kitabul Jihad (Bab Al-Kidzbu fil Harbi/ Bab Berdusta Dalam Perang) dan (Bab Al-Fatku bi Ahlil Harbi/ Bab: Membunuh Orang Kafir Harbi)
Maka barangsiapa yang menyebut aksi ightiyal terhadap orang-orang kafir yang memerangi Alloh dan rosul-Nya Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sebagai sebuah pengkhianatan janji atau sebutan semisal, atau mengatakan Islam mengharamkannya, berarti ia sesat dan mendustakan Al-Qur’an dan Sunnah.
An-Nawawi berkata:
“Al-Qodhi berkata, ‘Tidak halal bagi siapapun mengatakan bahwa membunuh orang seperti ini adalah mengkhianati janji. Dulu pernah ada seseorang yang mengatakannya di majelis Ali bin Abi Tholib RA , maka diperintahkan agar kepalanya dipenggal, iapun akhirnya dipenggal.’”
Kisah terakhir ini disebutkan Al-Qurthubi dalam tafsir firman Alloh ta‘ala: “…maka bunuhlah para pemimpin-pemimpin kekafiran.”
Disebutkan juga oleh Ibnu Taimiyah dalam As-Shorimul Maslul ‘Ala Syatimir Rosul. Ia juga menyebutkan peristiwa yang terjadi antara Muawiyah dan Muhammad bin Maslamah RA.
Adapun Ibnu Abil Huqoiq adalah Yahudi dari Khoibar dan pedagang Hijaz. Dulu dialah yang pergi ke Mekkah untuk membujuk rayu kaum Quraisy menyerang Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sehingga mereka membentuk pasukan Ahzab (pasukan sekutu), jadi dialah penyulut api perang Ahzab.
Bukhori meriwayatkan dari Al-Barro’ bin ‘Azib ia berkata, “Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengutus beberapa orang Anshor kepada Abu Rofi‘, beliau menunjuk Abdulloh bin ‘Atik sebagai pemimpin. Abu Rofi‘ ini selalu menyakiti Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan bersekongkol melawan beliau. Waktu itu ia berada di bentengnya di tanah Hijaz.”
Masih dari Barro’, Bukhori meriwayatkan lagi, ia berkata:
“Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengutus satu rohth (pasukan berjumlah antara 3-10, penerj.) untuk membunuh Abu Rofi‘, maka Abdulloh bin ‘Atik masuk ke rumahnya pada suatu malam kemudian membunuhnya.”
Abdulloh bin Atik mengunakan berbagai tipuan sampai ia berhasil membunuhnya, ia menyamar hingga bisa masuk ke benteng, kemudian itu tutup pintu rumah orang-orang Yahudi dari luar, baru kemudian ia berjalan ke ruangan Abu Rofi‘. Tidaklah ia berjalan melewati satu pintu melainkan ia kunci pintu itu dari dalam, ia juga merubah suaranya hingga tidak dapat dikenali.
Ibnu Hajar berkata, “Di dalam hadits ini terdapat beberapa kesimpulan, yaitu: Bolehnya melakukan ightiyal terhadap orang musyrik yang dakwah sudah disampaikan kepadanya kemudian ia masih saja berada di atas kesyirikannya. Dan boleh membunuh orang yang membantu musuh dalam melawan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dengan tangan (perbuatan), hartanya, atau lisannya. Juga bolehnya memata-matai dan mencari celah kelalaian pasukan perang musuh, dan bersikap keras dalam memerangi orang-orang musyrik. Juga bolehnya menyamarkan perkataan demi sebuah kemashlahatan, dan diperbolehkannya kaum Muslimin yang sedikit maju menghadapi orang musyrik yang banyak.”
Dalam masalah ini, Syaikh Abdurrohman Ad-Dausari Rahimahulloh berkata ketika menyebutkan tingkatan-tingkatan ‘Ubudiyyah di dalam tafsirnya terhadap firman Alloh ta‘ala:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya kepada-Mulah hamba beribadah dan hanya kepada-Mulah hamba mohon pertolongan.”
Ia berkata,
“Kemudian, menyiapkan kekuatan semampunya termasuk kewajiban agama dan konsekwensi dalam menegakkannya. Maka seorang hamba yang ibadahnya kepada Alloh benar, tidak akan menunda-nunda dalam urusan ini, apalagi meninggalkan atau meremehkannya. Seorang hamba yang beribadah kepada Alloh dan dalam dirinya terdapat tekad kuat untuk berjihad, ia akan melaksanakan aksi ightiyal terhadap para pemimpin kekafiran dari kalangan para Aktifis gerakan Atheis dan Pornografi, dan siapa saja yang mencela wahyu Alloh atau menulis dan melancarkan propaganda untuk melawan agama yang lurus ini, sebab orang-orang seperti ini telah menyakiti Alloh dan rosul-Nya Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.
Tidak diperbolehkan bagi kaum Muslimin di jengkal bumi manapun, baik orang alimnya atau awamnya, membiarkan orang seperti mereka tetap hidup. Sebab mereka lebih berbahaya daripada Ibnu Abil Huqoiq dan lain-lain yang Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan untuk melakukan ightiyal kepada mereka.
Maka tidak melakukan ightiyal terhadap orang-orang yang menjadi pewaris mereka di zaman sekarang merupakan pengabaian wasiat Nabi pilihan Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, kekurangan yang parah dalam ibadah kepada Alloh, dan merupakan toleransi terang-terangan sekaligus jahat terhadap “cangkul-cangkul” yang menghancurkan agama Alloh. Tidak ada yang dilapangkan dadanya dalam hal itu kecuali orang yang tidak memiliki ghiroh terhadap agama Alloh dan rasa marah demi wajah-Nya yang Mahamulia. Itu merupakan kekurangan besar dalam kecintaan dan pengagungan kepada Alloh dan rosul-Nya, tidak mungkin dilakukan oleh orang yang merealisasikan ‘ubudiyyah kepada Alloh dengan maknanya yang benar dan sesuai yang diwajibkan.”
Ibnu Qudamah berkata:
“Boleh melakukan tabyit terhadap orang-orang kafir, yaitu menyerang mereka di malam hari serta membunuh mereka ketika lengah. Ahmad berkata: Tidak mengapa menyerang malam hari, bukankah Romawi juga diperangi di malam hari? Ia berkata lagi: Kami tidak mengetahui seorang pun yang memakruhkan penyerangan musuh di malam hari.
Sufyan membacakan kepadanya dari Az-Zuhri dari Abdulloh dari Ibnu ‘Abbas dari Ash-Sho‘b bin Jatsamah ia berkata: Aku mendengar Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam ditanya mengenai perkampungan-perkampungan orang musyrik yang kami serang di malam hari kemudian mengenai wanita dan anak-anak mereka, maka beliau bersabda, “Mereka termasuk mereka.”
Ahmad berkata: Isnad-nya jayyid.
Jika dikatakan: bukankah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam melarang membunuh wanita dan anak-anak?
Kami katakan: Ini jika membunuh mereka dengan sengaja. Ahmad berkata, ‘Kalau membunuh mereka dengan sengaja, maka tidak boleh.’ Ia berkata: Hadits Ash-Sho‘b datang setelah larangan Nabi SAW untuk membunuh wanita di saat mengutus pasukan untuk membunuh Ibnu Abil Huqoiq.
Juga, kompromi dari dua hadits tersebut bisa dilakukan, yaitu: larangan dibawa kepada makna jika sengaja, dan boleh dalam kondisi tidak sengaja.”
As-Sarkhosi berkata dalam As-Sairul Kabir:
“Jika orang-orang Islam yang ditawan bisa membunuh musuh yang memerangi dengan cara ightiyal dan mengambil harta mereka, maka itu tidak mengapa. Sebab kaum tersebut memerangi mereka, di saat yang sama, mereka dalam kondisi ditindas dan didzalimi, maka mereka boleh melakukan perlakuan setimpal terhadap orang yang menzalimi jika hal itu memungkinkan.”
Dalil lain (yang mereka gunakan) adalah kisah Abdulloh bin Sa‘d bin Abis Sarh dalam riwayat Abu Dawud, Nasa’i, Al-Bazzar, Al-Hakim dan Al-Baihaqi dari hadits ‘Utsman RA, bahwasanya ia meminta jaminan keamanan untuk Abdulloh bin Sa‘d bin Abis Sarh, lalu Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berpaling darinya. Ia mengulangi untuk kedua kalinya. Maka tatkala Abdulloh pergi, beliau bersabda, “Mengapa tidak ada seorangpun dari kalian yang membunuhnya ketika aku berpaling darinya?” para shahabat mengatakan, “Mengapa tuan tidak mengisyaratkan dengan mata tuan?” beliau bersabda, “Tidak selayaknya bagi seorang Nabi melakukan pengkhianatan mata.”
Para ulama berkata: Ini berlaku khusus bagi Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Artinya, itu boleh dilakukan oleh selain beliau. Seandainya ada seseorang selain Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang memberikan isyarat, tentu itu sesuai dengan keinginan Rosululloh ‘Alaihis Sallam ketika berpaling dari permintaan keamanan ‘Utsman untuk Abdulloh, maksud beliau barangkali ada salah satu dari shahabat yang datang kemudian membunuh Abdulloh bin Abis Sarh.”
Abu Dawud, Tirmizi dan Baihaqi meriwayatkan melalui jalur lain dari Anas, ia berkata:
“Aku berperang bersama Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, lalu kaum musyrikin maju ke arah kami sampai kami lihat kuda kami berada di punggung-punggung kami. Di antara mereka ada seorang lelaki yang maju menerobos barisan kami, ia memukul serta memporak-porandakan dan membuat kami kocar kacir, kemudian Alloh kalahkan mereka. Maka ada seorang lelaki yang mengatakan: “Sungguh aku bernadzar, jika Alloh datangkan lelaki tadi kepadaku, aku akan penggal kepalanya.”
Akhirnya orang itu datang kedua kalinya, kemudian Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menahannya, tidak membaiatnya. Maka lelaki yang bersumpah tadi menghadangnya, namun ia sungkan kepada Rosululloh Saw untuk membunuhnya. Tatkala Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam melihat ia tidak melakukan apapun, baru beliau membaiatnya. Lelaki itu berkata, “Bagaimana dengan nadzarku?” beliau bersabda, “Sesungguhnya aku tidak menahan diri dari orang itu sejak hari ini kecuali agar engkau tunaikan nazarmu.” Lelaki itu berkata, “Wahai Rosululloh, mengapa tuan tidak mengerdipkan mata kepadaku?” beliau bersabda, “Tidak boleh seorang nabi mengedipkan mata.”
Di sini muncul permasalahan, yaitu jika tidak memung-kinkan membunuh orang kafir kecuali dengan membunuh wanita dan anak-anak yang menyertainya, apakah hal itu diperbolehkan atau tidak?
Jawabnya: Boleh membunuh mereka meskipun mereka tidak berperang dan membantu peperangan, yaitu ketika tidak memungkinkan membunuh orang kafir kecuali dengan itu, dan tidak melakukannya dengan sengaja. Dalam masalah ini ada dua hadits:
a. Hadits Ibnu ‘Umar ia berkata,
“Ada seorang wanita terbunuh di salah satu peperangan, maka Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam melarang membunuh wanita dan anak-anak.”
Di dalam riwayat lain: “Beliau mengingkarinya.” Menggantikan kata-kata: “Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam melarangnya.”
b. Hadits Ash-Sho‘b bin Jatstsamah ia berkata,
“Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam ditanya mengenai anak-anak kaum musyrikin, mereka diserang di malam hari kemudian mengenai wanita dan anak-anak kaum musyrikin. Maka beliau bersabda, “Mereka adalah dari mereka.”
Dalam lain riwayat: “Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam ditanya bahwa pasukan kuda menyerang pada malam hari kemudian mengenai anak-anak kaum musyrikin, maka beliau bersabda, “Mereka termasuk ayah mereka.”
An-Nawawi berkata, ““Mereka termasuk ayah mere-ka,” artinya: tidak mengapa melakukan serangan tersebut; sebab hukum-hukum yang berlaku bagi ayah mereka juga berlaku untuk mereka dalam hal waris, nikah, qishosh, diyat dan sebagainya. Di sini maksudnya adalah jika mereka terkena dengan tidak sengaja dan bukan dalam keadaan terpaksa.
Hadits berisi larangan membunuh wanita dan anak-anak dalam penyerangan malam itu adalah madzhab yang kami pegang, termasuk madzhab Malik, Abu Hanifah dan Jumhur. Makna dari kata Al-bayaat dan yubayyatuuna adalah: mereka diserang di malam hari di mana antara lelaki, wanita dan anak-anak tidak bisa diketahui. Hadits ini berisi bolehnya penyerangan malam hari dan bolehnya menyerang orang yang sudah didakwahi tanpa harus memberitahukan penyerangan itu terlebih dahulu. Termasuk kandungan hadits ini adalah: Hukum anak-anak orang kafir di dunia sama dengan hukum ayahnya; adapun di akhirat, jika mereka mati sebelum baligh ada tiga madzhab dalam hal ini.”
Adapun berdalil dengan hadits yang menyebutkan bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menghukum mati seorang Muslim dalam perang Khaibar karena ia membunuh orang kafir dengan cara meng-ightiyal-nya, dan ketika itu beliau bersabda, “Aku paling utama atau paling berhak sebagai orang yang memenuhi jaminannya.”
Maka hadits ini dho‘îf, disebutkan Abu Dawud dalam Marosil-nya, semua jalur periwayatannya cacat (ma‘lulah). Pengarang Ad-Diroyah fi Takhriji Ahaditsil Hidayah mengupas dengan baik sebagian besar jalur periwayatannya (II/ 262), demikian juga dengan pengarang Nashbur Royah milik Az-Zaila‘i, ia menyebutkan dan menilainya sebagai hadits dho‘if, silahkan memeriksa pembahasan tentang hal itu.
Asy-Syafi‘i –semoga Alloh ta‘ala merahmati beliau—berkata,
“Kalaulah kita anggap hadits itu shohih, maka itu sudah manshukh dengan sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam pada waktu Fathu Makkah, ‘Seorang muslim tidak dibunuh lantaran membunuh orang kafir.’ Hadits ini tercantum dalam riwayat Bukhori dan yang lain. Kalaulah hadits itu shohih, dan kita anggap ia tidak ter-manshukh, maka hukum itu berlaku bagi kafir dzimmi yang mu‘ahad , sebagaimana disebutkan di dalam kitab Al-Muwaththo’ tulisan Imam Malik –semoga Alloh ta‘ala merahmatinya—kemudian ia ter-manshukh. Tinggallah dosa tersebut bagi yang membunuh orang kafir mu‘ahad. Menurut kami, membunuh kafir dzimmi yang mu‘ahad adalah terlarang dan kami katakan hal itu berdasarkan hadits dari Abdulloh bin ‘Amru RA dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam beliau bersabda, “Barangsiapa membunuh kafir mu‘ahad, ia tidak akan mencium bau surga, dan sungguh baunya tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun.”
Sekarang ini, orang-orang Amerika bukan berstatus mu‘ahad sebagaimana akan dijelaskan. Lebih-lebih para pelaku yang melancarkan operasi serangan terhadap mereka sudah memberitahukan bahwa tidak ada ikatan dan perjanjian apapun dengan mereka. Maka bagaimana hadits dan petunjuk Nabi Al-Mushthofâ Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengenai bolehnya membunuh orang kafir secara ightiyâl ini akan diterapkan dengan kondisi Bani Ashfar (Amerika) seperti sudah dijelaskan?

Syubhat Kedelapan: Barangkali Ada Yang Mengatakan, ‘Kalaulah Kami Terima Pendapat Kalian Ini, Maka Sesungguhnya Ini Berlaku Ketika Dalam Kondisi Perang, Sedangkan Antara Kita Dan Amerika Adalah Kondisi Damai, Sebab Ada Mu‘âhadah (Adanya Perjanjian) Yang Harus Dipenuhi
Jawaban:
Pertama: Sudah jelas dari pemaparan sebelumnya dan tidak menyisakan tempat untuk ragu, bahwa Amerika adalah negara yang memerangi kaum muslimin secara umum, tidak ada yang membantahnya kecuali orang yang sombong.
Kedua: Kalaulah kita setuju ada mu‘ahadah, apa yang kalian katakan tentang perbuatan Abu Bashir dan larinya dia ke daerah Tepi Pantai lalu menyerang orang-orang kafir, setelah itu orang yang masuk Islam yang lari membawa agamanya bergabung kepadanya? Apakah kalian akan menganggap perbuatannya haram? Jika iya, berarti kalian telah mencela Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan menyebut beliau telah membatalkan janji –dan itu mustahil bagi beliau—, karena Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam membenarkan hal itu, beliau bersabda, “Tsakilathu Ummuhu, Abu Bashir adalah pengobar perang seandainya bersamanya para perwira.” (Ini adalah riwayat Bukhori)
Sekarang, tidak ada alasan buat Anda untuk mengatakan bahwa masa sekarang ini termasuk dalam kondisi perjanjian. Jika Anda mengatakan hal itu, kami katakan kepada Anda: Kondisi yang kita alami sekarang ini bukan termasuk dalam kondisi perjanjian, wahai para penghalang dan pelemah semangat jihad…
Jika Anda hendak menilai kondisi yang sedang kita hadapi sekarang, Anda mesti mendatangkan dalil tentangnya.
Ketiga: Perjanjian umum –menurut Anda tadi— sudah batal berdasarkan alasan berikut:
1. Perjanjian itu tidak dilangsungkan oleh Imam Tertinggi kaum muslimin. Maka perjanjian itu berlaku khusus bagi yang mengadakan akad dengan Amerika jika yang mengadakannya adalah seorang penguasa yang berhukum dengan hukum Islam. Jika tidak maka tidak, dan seribu kali tidak..
2. Perjanjian itu waktunya tidak terbatas, sehingga itu batil. Karena sekarang ini sudah lebih dari 150 tahun kaum muslimin tidak terjun dalam kancah perang tholabi terhadap orang kafir, dan ini adalah batil serta tidak diperbolehkan.
Makanya, Ibnu Qudamah berkata, “Minimal, jihad dilaksanakan setahun sekali; sebab jizyah itu wajib atas Ahlu Dzimmah setiap tahun dan itu merupakan ganti dari pemberian perlindungan. Maka begitu juga dengan pengganti jizyah, yaitu jihad; ia wajib dilaksanakan setahun sekali kecuali ada uzur, seperti karena kaum muslimin masih lemah dari segi jumlah dan logistiknya, atau sedang menunggu bantuan yang diminta, atau jalan yang hendak mereka lewati ke arah musuh ada penghalang, atau di sana tidak ada makanan dan minuman, atau ia mengetahui bahwa musuhnya punya pandangan bagus terhadap Islam, sehingga besar harapan mereka masuk Islam jika perang terhadap mereka ditunda, atau hal lain yang dipandang sebagai mashlahat ketika perang tidak dilaksanakan. Maka boleh tidak melaksanakan jihad dalam rangka gencatan senjata. Karena Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dulupun membuat perjanjian damai dengan kaum Quraisy selama dua puluh tahun dan menunda peperangan terhadap mereka sampai mereka sendiri yang membatalkan janjinya, beliau juga menunda perang terhadap para kabilah Arab tanpa adanya gencatan senjata. Jika satu tahun diperlukan perang lebih dari satu kali, hal itu wajib dilaksanakan; sebab itu adalah fardhu kifâyah, sehingga wajib dilaksanakan kapan diperlukan. Dan sebagaimana ditetapkan para ulama, jika mu‘ahadah lebih dari batas waktu yang ditentukan, batallah sisa waktu yang lebih tersebut.
3. Perjanjian itu adalah perjanjian mengenai perkara haram, maka tidak ada kata mendengar dan taat di dalamnya, yang bernilai haram di sana adalah penihilan jihad dan penghapusan pilar penegak Islam dengan alasan menjaga perdamaian dunia.
4. Tetap berlangsung tidaknya perjanjian ini sangat ter-gantung dengan konsekwen tidaknya salah satu fihak, yaitu ia tidak melanggarnya. Faktanya, Amerika telah melanggar semua perjanjian dan ikatan. Bahkan ia tidak mengenal selain kata khianat dan melanggar janji! “Bagaimana bisa ada perjanjian (aman) dari sisi Alloh dan rosul-Nya dengan orang-orang musyrikin.”
“Bagaimana bisa (ada perjanjian dari sisi Alloh dan rosul-Nya dengan orang-orang musyrikin) padahal jika mereka menang terhadap kamu mereka tidak memelihara hubungan kekerabatan terhadap kamu dan tidak pula (mengindahkan perjanjian). Mereka menyenangkanmu dengan mulut-mulut mereka sedangkan hatinya menolak dan kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.”
“Mereka tidak memelihara hubungan kerabat terhadap orang-orang mukmin dan tidak pula (mengindahkan perjanjian). Dan mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.”
5. Kalaulah kita setuju akan adanya perjanjian khusus satu negeri Muslim dan penguasanya dengan Amerika, maka para mujahidin yang berada di selain negara yang menjalin ‘perjanjian palsu’ tadi tidak terikat janji apapun dengan Amerika seperti yang dinyatakan Amerika sendiri.
6. Berdasarkan ijma‘, boleh membatalkan janji dari suatu kaum dengan syarat dikhawatirkan kaum itu akan mengabaikannya. Alloh berfirman:
وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِن قَوْمٍ خِيَانَةً فَانبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَى سَوَآءٍ إِنَّ اللهَ لاَيُحِبُّ الْخَآئِنِينَ
“Dan jika kamu khawatir akan terjadinya pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Alloh tidak suka orang-orang yang berkhianat.”
7. Kemudian, bagaimana mungkin memberikan jaminan keamanan kepada orang kafir yang memerangi dan menjajah negeri Islam sementara ia selalu melakukan pelanggaran keamanan dan perjanjian ini setiap masa. Maka memberikan rasa aman dan jaminan keamanan kepada orang seperti ini ibarat orang yang mengucapkan sesuatu hal sekaligus mengucapkan lawan katanya dalam satu waktu, dan seperti orang yang memberikan jaminan keamanan kepada orang yang menyembelih, merampok dan menodai kehormatannya, kemudian setelah itu mengatakan kepadanya, “Kejahatan seperti apapun yang engkau lakukan terhadap hak-ku, engkai tetap aman menurut fihak saya; adapun engkau –hai musuh yang menyerang—engkau mendapatkan kebebasan sebebas-bebasnya untuk menodai kehormatanku dan merampok hasil negeriku, bagaimana dan kapan saja kamu mau.”
Tindakan seperti ini tentu saja tidak benar baik secara akal maupun syar‘i. Dan tidak ada seorangpun –yang memiliki akal dan din walau seberat biji dzarroh—menyatakan kebenaran akad dan perjanjian seperti ini dan keharusan untuk menghormatinya.
Umat ini belum pernah mengenal perjanjian dan akad seperti ini kecuali di zaman kita sekarang, di mana banyak sekali putera-putera Umat Islam yang mengekor dan “menuhankan” Amerika serta negeri kekafiran dan keangkaramurkaan lainnya, merasa ridho dengannya.
8. Islam melarang memberi tempat, melindungi, menyela-matkan atau memberi keamanan kepada ahli bid‘ah yang seharusnya dijatuhi hukuman atau had. Islam menganggap perbuatan seperti itu termasuk dosa besar. Terdapat riwayat shohih dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bahwasanya beliau bersabda,
“Barangsiapa yang berbuat bid‘ah di Madinah, atau melindungi pelakunya, maka ia menanggung laknat Alloh, para malaikat dan semua manusia, tidak ada alasan lagi bagi dia.”
Walaupun hadits ini khusus bagi orang yang memberi tempat berlindung pelaku bid‘ah di Madinah, namun ia mengandung celaan mutlak bagi orang yang menjadi tempat lari orang yang menjadi ahli bid‘ah kemudian ia melindungi dan menyelamatkannya serta menghalangi antara dirinya dan pelaksaan qishosh hak dan keadilan.
Jika hukum orang yang memberi tempat, melindungi dan mengamankan orang Muslim yang melakukan bid‘ah saja seperti ini, lantas bagaimana dengan orang yang menyelamatkan dan memberikan keamanan kepada orang kafir harbi yang terus melancarkan makar dan memeranginya sebelum, ketika dan setelah ia beri jaminan keamanan dan perlindungan? Tidak diragukan lagi orang seperti ini lebih berhak mendapatkan ancaman, laknat dan kejauhan dari rahmat Alloh. Dia juga merupakan serikat dari orang kafir ini dalam kejahatan dan permusuhannya yang terus menerus tiada henti. Sebagaimana firman Alloh ta‘ala:
مَّن يَشْفَعْ شَفَاعَةً حَسَنَةً يَكُن لَّهُ نَصِيبُُ مِّنْهَا وَمَن يَشْفَعْ شَفَاعَةً سَيِّئَةً يَكُن لَهُ كِفْلُُ مِّنْهَا وَكَانَ اللهُ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ مُّقِيتًا
“Barangsiapa memberi syafaat yang baik, niscaya akan memperoleh bagian pahala daripadanya. Dan siapa yang memberi syafaat yang buruk, niscaya ia akan memikul bagian dosa dari padanya. Dan Alloh Mahakuasa atas segala sesuatu.”
Terdapat riwayat shohih dari Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam –seperti dalam Shohih Muslim—bahwa beliau bersabda, “Siapa yang menyimpan barang hilang, maka ia sesat selama ia tidak mengumumkannya.”
Hadits ini berbicara mengenai orang yang menyimpan serta menyembunyikan hewan hilang. Lantas bagaimana dengan orang yang memberi tempat orang kafir harbi dan tidak menghentikan perang dan penjajahannya, kemudian malah menyembunyikan, membantu dan menghalangi antara dirinya dengan pedang-pedang kebenaran untuk bisa mencapainya? tidak diragukan lagi, ini lebih berhak mendapat predikat jahat dan sesat.!
Bukti keterangan dari penjelasan tadi adalah: Siapa saja yang seperti ini keadaannya –yaitu melakukan penjajahan dan perang yang terus menerus—maka dalam kondisi apapun tidak boleh mendapatkan jaminan keamanan atau diselamatkan. Dan siapa yang memberi tempat, menyela-matkan atau melindunginya, maka ia dosa dan penjahat. Jaminan keamanannya tidak berlaku, tidak boleh dan tidak mengharuskan seorangpun dari umat ini memenuhinya.
Syubhat Kesembilan: Jihad Kita Terhadap Orang Kafir Yang Menyerang Adalah Jihad Tholab
Jawaban:
Mengenai syubhat ini, kami tidak bisa mengatakan apa-apa selain: ‘Selamat hai kafir Yahudi dan Nashrani. Selamat hai anak cucu kera dan babi, para penyembah thoghut; telah lahir dari umat La ilaha illalloh, telah lahir dari umat jihad, yang mengatakan bahwa negeri-negeri dan kehormatan kami adalah negeri dan kehormatan kalian.’
Jihad tholab, sebagaimana telah dijelaskan, adalah menyerang dan memerangi musuh di negeri mereka.
Jadi, semua negeri kaum muslimin yang dinodai tentara-tentara najis itu adalah negeri mereka. Dan..La haula wa la quwwata illa billah, tiada daya dan kekuatan kecuali dengan Alloh saja.
Kami tidak mengerti, berapa kiblat lagi yang mereka inginkan untuk ternajisi supaya perang ini berubah menjadi difa‘î?
Berapa kali lagi tempat Isro Nabi Kita yang mereka inginkan untuk dirampas musuh, berapa darah kaum muslimin yang ingin tertumpah dengan murah yang tidak ada tangisan di sana sehingga jihad ini menjadi difa‘i? Berapa ribu lagi yang mereka inginkan agar anak-anak ‘haram’ lahir dari rahim wanita-wanita muslimat yang suci setelah mereka diperkosa supaya jihad ini menjadi difa‘î?
Wahai para penghalang dan pelemah semangat semangat jihad, Bangsa musyrik penyembah batu yang sesembahannya adalah Budha diperintah perang kemudian merekapun perang dan rela anak keturunannya terbantai hingga beberapa generasi sebelum akhirnya musuh terusir, sementara umat yang Alloh wajibkan syariat untuk berperang sampai-sampai Nabinya Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengendarai hewan tunggangannya untuk berperang padahal usianya sudah 60 tahun lebih , orang-orangnya yang mengaku dirinya sebagai ulama malah mengatakan kepada para pemeluknya di sana: ‘Perang kalian melawan orang-orang kafir di negeri kalian adalah jihad tholab!! Dan tidak sempurna kecuali dengan syarat ini…itu…!!
Alloh ta‘ala berfirman:
وَلَوْ أَرَادُوا الْخُرُوجَ لأَعَدُّوا لَهُ عُدَّةً وَلَكِن كَرِهَ اللهُ انبِعَاثَهُمْ فَثَبَّطَهُمْ وَقِيلَ اقْعُدُوا مَعَ الْقَاعِدِينَ
“Seandainya mereka ingin keluar (berperang) pasti mereka akan mengadakan persiapan untuk itu, akan tetapi Alloh tidak suka keberangkatan mereka dan dikatakan: Duduklah kalian bersama orang-orang yang duduk.”
Semoga sholawat dan salam tercurah selalu kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarga dan para shahabatnya.
Akhir doa kami adalah, Al Hamdu lillaahi Robbil ‘Alamin, segala puji hanya milik Alloh robb semesta alam.
Risalah ini ditulis bersandarkan kepada beberapa rujukan, antara lain –setelah Kitab Alloh yang mulia dan buku-buku hadits dan catatan kakinya— adalah:
1. Kitab Al-‘Umdah Fi I‘dadil ‘Uddah tulisan Syaikh Abdul Qodir bin ‘Abdul ‘Aziz.
2. Ath-Thoriq ila Isti’nafi Hayaatin Islaamiyyatin wa Qiyami Khilafatin Rosyidah ‘Ala Dhou’il Kitabi Was Sunnah, Syaikh Abdul Mun‘im Mushthofa Halimah, Abu Bashir.
3. At-Ta’shil Li Masyru‘iyyati Ma Hashola Li Amrika min Tadmir milik Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Al-Jarbû‘.
4. Al-Harbus Sholibiyyah Al-Jadidah tulisan Sang penakluk Salibis, Sholahuddin Al-Ayyubi.
5. Marohilu Tasyri‘il Jihad edisi revisi dari cetakan sebelumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan berikan nasehat anda :