Jumat, 10 Juli 2009

Kepemimpinan dalam islam



PERTAMA:
IMAROH ADALAH WAJIB
a. Berdasarkan firman Alloh ta‘ala:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Alloh, rosul dan pemimpin dari kalian.”
b. Firman Alloh ta‘ala:
وَإِذَا جَآءَهُمْ أَمْرُُ مِّنَ اْلأَمْنِ أَوْ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُوْلِى اْلأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ
“Dan apabila datang berita kepadamu tentang keamanan atau ketakutan, mereka menyebarluaskannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada rosul dan ulil Amri di antara mereka tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenaran akan dapat mengetahuinya dari mereka (rosul dan ulil Amri).”
Kedua ayat di atas menunjukkan bahwa manusia harus memiliki seorang pemimpin yang mengatur berbagai masalah dan mengurusi kepentingan-kepentingan mereka. Ini ditunjukkan oleh isyarat nash.
c. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
لا يَحِلُّ لِثَلاثَةِ نَفَرٍ يَكُونُونَ بِفَلَاةٍ مِنَ الأَرْضِ إِلاَّ أَمَّرُوا عَلَيْهِمْ أَحَدَهُمْ
“Tidak halal bagi tiga orang yang berada di sejengkal tanah, kecuali mengangkat salah satu dari mereka sebagai pemimpin.”
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda,
إِذَا خَرَجَ ثَلاثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ
“Jika ada tiga orang yang keluar dalam perjalan, hendaknya mereka mengangkat salah satu sebagai pemimpin.”
Asy-Syaukani di dalam Nailul Author (Bab wajibnya mengangkat Qodhi dan kepemimpinan dan lain-lain) –setelah menyebutkan hadits-hadits ini—berkata:
“Yang senada dengan hadits Abdulloh bin ‘Amru dan Hadits Abu Sa‘id juga diriwayatkan oleh Al-Bazzar dengan isnad shohih dari hadits ‘Umar bin Khothob dengan lafadz: “Jika kalian bertiga dalam perjalanan, maka angkatlah salah seorang sebagai amir.”
“Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam telah memerintahkannya.”
Al-Bazzar juga meriwayatkan dengan isnad shohih dari hadits Abdulloh bin ‘Umar secara marfu‘ dengan lafadz: “Jika mereka bertiga dalam perjalanan, hendaknya mereka mengangkat salah satu sebagai pemimpin.”
Ath-Thobroni meriwayatkan dengan lafadz ini dari hadits Ibnu Mas‘ud dengan isnad shohih.
Hadits-hadits ini saling menguatkan satu sama lain. Abu Dawud dan Al-Munziri tidak berkomentar tehadap hadits Abu Sa‘id dan Abu Huroiroh, kedua hadits tersebut rijalnya adalah shohih selain Ali bin Bahr, ia adalah tsiqoh. Sedangkan lafadz hadits Abu Huroiroh: “Jika tiga orang keluar dalam perjalanan, hendaknya mereka mengangkat salah satu sebagai pemimpin.”
Di dalamnya terdapat dalil bahwa setiap tiga orang atau lebih mesti mengangkat salah satu sebagai pemimpin. Sebab langkah ini untuk menjamin keselamatan dari perselisihan yang mengarah kepada kerusakan. Dengan tidak adanya pemimpin, masing-masing akan bersikukuh dengan pendapatnya dan melakukan apa saja yang sesuai dengan keinginan hawa nafsunya, sehingga mereka semua akan hancur. Sedangkan jika ada pemimpin, perselisihan akan terminimalisir dan kalimat akan bersatu. Dan jika hal ini disyari‘atkan bagi tiga orang di salah satu jengkal bumi atau ketika mereka bepergian, maka disyari‘atkannya hal itu pada jumlah yang lebih banyak yang tinggal di desa-desa dan berbagai penjuru daerah serta mereka membutuhkannya untuk menyelesaikan kezaliman dan pertikaian, tentu lebih layak disyariatkan.
Di sini terdapat dalil bagi mereka yang mengatakan wajibnya kaum muslimin mengangkat pemimpin, wali dan penguasa.”
d. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:
“Perlu diketahui bahwa memimpin urusan manusia termasuk kewajiban agama terbesar. Bahkan urusan agama dan dunia tidak akan tegak selain dengan itu. Sebab tidak akan sempurna maslahat Bani Adam kecuali dengan bersatu, karena masing-masing saling membutuhkan; ketika mereka bersatu maka harus ada pimpinannya.
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Jika ada tiga orang dalam perjalanan, maka hendaknya mereka mengangkat salah satu sebagai pemimpin.”
Imam Ahmad meriwayatkan dalam Al-Musnad dari ‘Abdulloh bin ‘Amru bahwasanya Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Tidak halal bagi tiga orang yang berada dalam satu jengkal tanah kecuali mengangkat salah satu sebagai pemimpin.”
Di sini, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mewajibkan mengangkat salah satu sebagai pemimpin di dalam perkumpulan beranggota sedikit dalam bepergian, sebagai peringatan akan pentingnya hal itu pada semua bentuk perkumpulan. Juga karena Alloh ta‘ala mewajibkan amar makruf nahi munkar dan hal itu tidak akan terlaksana dengan baik kecuali dengan kekuatan serta kepemimpinan.
Demikian juga dengan semua yang Alloh wajibkan, mulai dari jihad, penegakkan keadilan dan pelaksanaan hajji, sholat jum‘at, sholat ‘Id dan menolong orang yang terzalimi.
Demikian juga pelaksanaan hudud, tidak akan terlaksana kecuali dengan kekuatan dan kepemimpinan… dst”
–sampai dengan perkataan beliau:
“…maka wajib membentuk kepemimpinan sebagai bentuk ketaatan terhadap agama dan pendekatan diri kepada Alloh, sebab mendekatkan diri kepada Alloh di dalam urusan tersebut dengan mentaati-Nya dan mentaati rosul-Nya termasuk taqorrub paling utama.
Hanya, kebanyakan urusan manusia justeru menjadi rusak dalam urusan yang satu ini lantaran mereka mencari jabatan dan harta dengan kepemimpinan. Diriwayatkan dari Ka‘b bin Malik dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bahwasanya beliau bersabda,
“Tidaklah dua serigala lapar yang dilepaskan pada tempat gembalaan domba itu lebih merusak agama seseorang daripada (merusaknya) ambisi seseorang memperoleh harta dan kedudukan.”
Nabi SAW mengkhabarkan bahwa ketamakan seseorang terhadap harta dan kepemimpinan itu akan merusak agamanya seperti –atau bahkan lebih— daripada kerusakan yang ditimbulkan dua ekor serigala lapar terhadap gembalaan domba.”
e. Ibnu ‘Abdil Barr meriwayatkan dalam Jaami‘ Bayaanil Ilmi, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abul Qosim Kholaf bin Al-Qosim, telah menceritakan kepada kami Abu Sholih Ahmad bin ‘Abdur Rohman di Mesir, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Muhammad bin Al-Hasan Al-Bukhori, telah menceritakan kepada kami Al-Husain bin Al-Hasan bin Widhoh Al-Bukhori As-Simsar, telah bercerita kepada kami Hafsh bin Dawud Ar-Rib‘I, ia berkata telah menceritakan kepada kami Kholid, ia berkata telah menceritakan kepada kami Baqiyyah, ia berkata telah menceritakan kepada kami Sofwan bin Rustum Abu Kamil, telah menceritakan kepada kami Abdur Rohman bin Maisaroh dari Abdur Rohman dari Tamim Ad-Dari ia berkata:
“Manusia berlomba-lomba meninggikan bangunan pada zaman ‘Umar bin Al-Khothob, maka beliau berkata: “Wahai orang-orang arab, bumi..bumi.., sesungguhnya tidak ada Islam kecuali dengan jama‘ah, tidak ada jama‘ah kecuali dengan kepemimpinan, tidak ada kepemimpinan kecuali dengan ketaatan. Ketahuilah, barangsiapa yang diangkat sebagai pemimpin oleh kaumnya atas dasar kefakihan, maka itu lebih baik baginya. Dan barangsiapa yang diangkat sebagai pemimpin oleh kaumnya tidak di atas kefakihan, maka hal itu adalah kerusakan bagi orang yang mengikutinya.”
Dalam perkataan ‘Umar RA ini terdapat isyarat akan kewajiban berjama‘ah, kepemimpinan dan ketaatan untuk tegakknya syari‘at Islam.




KEDUA:
PENGANGKATAN PEMIMPIN DIPERCAYAKAN KEPADA IMAM YANG MAS’UL, JIKA ADA
Berdasarkan hadits Buroidah RA:
“Bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam apabila mengangkat seorang komandan pada satu pasukan atau sariyah, beliau mewasiatkan khusus kepadanya untuk bertakwa kepada Alloh, dan mewasiatkan kebaikan kepada kaum muslimin yang menyertainya.”
Ibnu Qudamah berkata, “Dan urusan jihad diserahkan kepada Imam serta ijtihadnya…dst,” –hingga perkataannya—“…ia berhak mengangkat amir pada setiap sektor yang akan mengatur urusan perang dan jihad, yang ia angkat adalah orang yang berpandangan jeli, memiliki ketajaman akal, keberanian dan analisa yang baik dalam urusan perang dan membuat tipudaya terhadap musuh. Pada dirinya juga harus ada sifat amanah, berkelakuan baik dan memberikan nasehat kepada kaum muslimin.”



KETIGA:
PEMIMPIN BOLEH MENGANGKAT BEBERAPA PIMPINAN SEKALIGUS SECARA BERURUTAN
Berdasarkan yang dilakukan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam pada perang Mu’tah (ketika beliau mengutus para komandan) di mana beliau mengurutkan tiga orang untuk memimpin. (HR. Bukhori-Muslim dari Anas). Jika yang pertama terbunuh, diganti yang kedua dan begitu seterusnya.
Bukhori meriwayatkan dengan sanadnya dari Ibnu ‘Umar RA ia berkata:
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai komandan pada perang Mu’tah. Maka Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Jika Zaid terbunuh, maka Ja‘far sebagai gantinya. Jika Ja‘far terbunuh, maka gantinya Abdulloh bin Rowahah.”
Ibnu Umar berkata, “Aku ikut dalam perang itu. Kami mencari Ja‘far bin Abi Tholib, lalu kami menemukannya pada mereka yang terbunuh, pada jasadnya kami temukan sembilan puluh sekian luka akibat tikaman dan panahan.”
Kepemimpinan tidak diberikan kepada yang berikutnya kecuali yang pertama meninggal atau terkena musibah sehingga tidak mampu melaksanakan tugasnya. Yang kedua juga tidak berhak menentang pemimpin pertama dalam urusan tugas dengan alasan karena dia memiliki kemungkinan menjadi pemimpin atau alasan semisal, selama tampuk kepemimpinan masih dipegang oleh pemimpin yang pertama. Semuanya harus mendengar dan taat kepadanya.
Pada saat meletusnya peristiwa Al-Jisr melawan kaum Persi yang cukup populer, pemegang kepemimpinan saat itu: Abu ‘Ubaid bin Mas‘ud Ats-Tsaqofî, menyampaikan wasiat kepemimpinan pasukan kepada delapan orang secara berurutan jika ia terbunuh. Akhirnya ia terbunuh berikut tujuh orang pemimpin dari Bani Tsaqif sepeninggalnya, sampai kepemimpinan itu berujung kepada yang kedelapan, yaitu Al-Mutsanna bin Haritsah. Saat itu, Daumah, isteri dari Abu ‘Ubaid melihat dalam mimpinya kejadian yang sama persis dengan apa yang telah terjadi.
Kejadian ini pecah pada tahun 13 H di era kekhalifahan Umar bin Khothob RA. Ini adalah jumlah pengangkatan pemimpin ketika ia telah meninggal paling banyak dalam sejarah yang pernah diketahui. Hal itu terjadi pada masa kekhalifahan ‘Umar dan kala itu banyak sekali terdapat para shahabat tanpa ada seorangpun dari mereka yang mengingkarinya.




KEEMPAT:
KAPANKAH HAK MENGANGKAT PEMIMPIN DIBERIKAN KEPADA RAKYAT?
Sudah kami jelaskan di muka mengenai wajibnya sebuah kepemimpinan dan mengangkat pemimpin adalah hak imam kaum muslimin atau orang yang seposisi dengannya misalnya seorang pemimpin yang menjadi penanggung jawab dari satu tugas pekerjaan tertentu.
Hanya saja, dalam beberapa kondisi masyarakat kaum muslimin dituntut memilih pemimpin sendiri, misalnya:
- Jika amir yang ditunjuk oleh Imam pusat tidak ada (karena terbunuh, tertawan atau kondisi lemah) semen-tara kaum muslimin tidak memungkinkan untuk merujuk kepada Imam pusat, dan mereka tidak memiliki Amir lain yang ditunjuk secara berurut, atau kalaulah ada mereka semua sudah meninggal.
- Apabila kaum muslimin, atau salah satu kelompok dari mereka, mengadakan sebuah operasi yang bersifat jama‘i (kolektif) –khususnya tadrib (latihan) dan jihad—sementara kaum muslimin tidak memiliki Imam, sebagaimana kondisi kaum muslimin di zaman kita sekarang.
Maka kaum muslimin boleh mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin, dan tidak sah bagi mereka bekerja tanpa adanya pemimpin. Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam telah memberikan hak mengangkat pemimpin kepada kaum muslimin dalam sabdanya:
“Hendaknya mereka mengangkat pemimpin…”
dari hadits:
“Jika ada tiga orang yang keluar dalam perjalanan, hendaknya mereka mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin.”
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam melimpahkan kuasa mengangkat amir kepada satu kelompok ini di mana mereka berkumpul di atas perkara yang bersifat kolektif antar mereka yang dalam hal ini adalah bepergian.
Penjelasan hadits ini sudah kita terangkan sebelumnya.
Bisa juga menggunakan dalil tindakan para shahabat –Ridhwanulloh ‘alaihim– pada perang Mu’tah setelah terbunuhnya tiga orang yang diangkat Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sebagai pemimpin. Maka setelah itu mereka sepakat untuk mengangkat Kholid bin Walid sebagai pemimpin, sedangkan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam merestui langkah yang mereka ambil ini.
Bukhori meriwayatkan dengan sanadnya dari Anas RA ia berkata:
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkhutbah, beliau bersabda:
“Panji diambil oleh Zaid, maka ia terkena (terbunuh). Kemudian diambil oleh Ja‘far, kemudian ia terbunuh. Kemudian diambil Abdulloh bin Rowahah, kemudian ia terbunuh. Kemudian diambil oleh Kholid bin Al-Walid tanpa ia sendiri menginginkan untuk menjadi sebagai pemimpin, maka Allohpun menangkan dia. Dan betapa senang mereka jika mereka menyertai kita.”
Anas berkata, “Dan sungguh kedua mata beliau menderaikan air mata.”
Dan di dalam riwayat Bukhori dari Anas disebutkan: “Sampai panji diambil oleh salah satu pedang Alloh, hingga Alloh menangkan ia.”
Ibnu Hajar berkata –tentang peristiwa setelah Ibnu Rowahah terbunuh—:
“Kemudian bendera diambil oleh Tsabit bin Aqrom Al-Anshori, ia berkata, “Tunjuklah seseorang (sebagai pemimpin).” Maka mereka mengatakan, “Kalau begitu anda saja.” Ia berkata, “Tidak.” Akhirnya mereka sepakat mengangkat Kholid bin Walid sebagai komandan.
Thobaroni meriwayatkan dari hadits Abul Yasar Al- Anshori ia berkata, “Aku memberikan panji kepada Tsabit bin Aqrom ketika Abdulloh bin Rowahah terkena. Kemudian Tsabit memberikannya kepada Kholid bin Walid dan berkata kepadanya, “Engkau lebih tahu tentang perang daripada saya.”
Ibnu Hajar berkata lagi, “Di dalam kisah di atas terdapat dalil bolehnya mengangkat pemimpin dalam perang tanpa harus melalui proses pengangkatan –atau tanpa keputusan dari Imam—.
Ath-Thohawi berkata, “Inilah prinsip yang diambil, yaitu kaum muslimin harus mengangkat seseorang sebagai pemimpin jika imam tidak ada, ia menggantikan posisinya sampai ia datang.”
Ibnu Hajar juga berkata, “Ibnul Munayyar berkata: ‘Dari hadits bab ini diambil kesimpulan bahwa siapa ditunjuk sebagai pemimpin sementara tidak memungkinkan untuk merujuk kepada imam, maka kepemimpinan saat itu sah secara syar‘i dan mentaatinya wajib hukumnya.”
Demikian yang ia katakan, dan tidak samar lagi bahwa posisinya adalah ketika orang-orang yang hadir di situ menyepakatinya.”
Ibnu Qudamah Al-Hanbali berkata:
“Jika imam tidak ada, jihad tidak ditunda. Sebab maslahat jihad akan hilang jika ia ditunda. Dan jika diperoleh ghanimah, maka pemiliknya bisa langsung membagikannya sebagaimana ketentuan syar‘i.
Al-Qodhi berkata: “Diakhirkan jatah imam sampai imam datang, sebagai bentuk hati-hati kalau-kalau ada jalan keluar.”
Jika imam mengirim satu pasukan dan mengangkat salah seorang dari mereka sebagai amir kemudian ia terbunuh atau meniggal, maka pasukan boleh mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin sebagaimana yang dilakukan para shahabat Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam pada pasukan perang Mu’tah ketika para pemimpin yang ditunjuk oleh Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam terbunuh. Mereka kemudian mengangkat Kholid bin Walid sebagai pemimpin. Berita itu kemudian sampai kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan beliau merestui langkah dan inisiatif mereka, bahkan menggelari Kholid dengan sebutan: Saifulloh (pedang Alloh).”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan berikan nasehat anda :