Rabu, 08 Juli 2009

Kenapa mencari alasan untuk tidak berjihad...??


Alasan yang tidak berlaku untuk meninggalkan jihad
1. Menyatakan bahwa kita mempunyai, orang tua, saudara, anak-anak, perniagaan, harta dan sebagainya dengan alasan untuk menjaganya.
Seperti yang di indikasikan dalam ayat (QS At Taubah 9 :24) bapa-bapa, istri-istri, anak-anak, perniagaan, harta dan sebaginya adalah bukan alasan yang sah untuk mencegah seseorang untuk pergi melaksanakan jihad. Allah (swt) berfirman, tentang orang-orang yang membuat alasan untuk meninggalkan jihad:
… Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik. (QS Ash Shaff 61 : 5)
Ini adalah talaazum (kesatuan) antara perbuatan dan hati. Allah (swt) telah membuatnya sesuatu yang tidak bisa diacuhkan bahwa jika perbuatan kita sesat, maka hati kita akan sesat juga. Abdullah bin Umar melaporkan bahwa Rasulullah (saw) bersabda:
“Jika kamu mulai untuk menjadi sibuk dengan urusanmu dan perdaganganmu dengan cara ‘iinah (sebuah bentuk dari riba) dan mulai untuk mengikuti ekor sapi, dan meninggalkan jihad, Allah akan memberikan kepadamu sebuah penghinaan dan itu tidak akan pernah berganti sampai kamu kembali pada dienmu." (Sunan Abu Daawud and Musnad al-Imaam Ahmad)
2. Kondisi cuaca yang buruk Cuaca dingin atau panas adalah bukan alasan untuk meninggalkan jihad
Allah (swt) berfirman,
Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut perang) itu, merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah dan mereka berkata: "Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini." Katakanlah: "Api neraka jahannam itu lebih sangat panas(nya)" jika mereka mengetahui. (QS At Taubah 9 :81)
3. “ Para Mujahidin tidak mempunyai akhlak dan mempunyai karakter yang jelek”.
Banyak orang yang menyimpang menggunakan alasan ini. Alasan lainnya yang sering dilontarkan adalah “orang-orang yang bertanggung jawab untuk jihad tidak memiliki kapasitas sebagai ulama”, atau “mereka tidak mempunyai aqidah yang benar” dan lain-lain.
Alasan ini tidak bisa diterima sebagaiman Rasulullah (saw) katakan bahwa seseorang bisa berperang melawan musuh walaupun dia seorang fajir (pembuat kerusakan). Sebaliknya, walaupun, amir (pemimpin) jihad adalah seorang fajir, dan semua lawannya adalah fujjar juga: jika mereka berperang untuk memerangi musuh kita, maka masih menjadi kewajiban untuk kita berperang dengannya. Rasulullah (saw) bersabda:
“Allah akan mendukung dien ini melalui orang-orang fajir.”
Sebagai catatat, saat ini kita membutuhkan pemimpin untuk berjihad; dan mereka (mujahidin) juga membutuhkan para ulama. Tidaklah cukup hanya mempunyai orang-orang seperti Khalid bin Walid (ra); kita juga butuh orang-orang seperti Abu Bakar As Shiddiq, Ibnu Abbas, Abdullah Bin Umar dan sebagianya. Karena seorang mujahid itu bukan berarti dia tidak membutuhkan ulama. Walaupun mujahid yang paling tangguh seperti Khalid bin Walid, dia pun pernah melakukan kesalahan, tetapi Rasulullah (saw) selalu mengingatkannya. Seseorang yang bertanggungjawab atas jihad mungkin adalah seorang pemimpin, tetapi itu bukan berarti dia adalah seorang ‘alim. (Kita harus mencintai para Rasul kemudian ulama, lalu mujahidin).
Ibnu Taimiyah (rh) berkata, di dalam kitabnya:
Salah satu pondasi dari Ahlu Sunnah waj Jamaah adalah berperang dengan atau di bawah seorang amir, apakah dia seorang yang baik atau fajir, dan dengan setiap Muslim – apakah dia seorang yang baik atau fajir. Ini karena Allah berjanji untuk mendukung Dien ini dengan orang-orang fajir atau salah seorang yang tidak mempunyai karakter (akhlaq).
Jika ghazu (penaklukan) tidak terjadi karena seorang Amir yang fajir atau tentara yang rusak, ini akan mengakibatkan orang-orang kafir akan mengambil alih dan menyebabkan lebih banyak lagi kerusakan pada dien (Islam). Namun, jika mereka (orang-orang beriman) memilih untuk berperang dengan tentara-tentara yang ‘rusak’ (yang mereka adalah Muslim) mereka akan mempunyai kekuatan untuk melumpuhkan orang-orang kafir dan menerepakan syari’ah Islam. Lebih lanjut, ghazu yang paling baik dan penaklukan kaum Muslimin setelah Khulafaur rasyidin tidak pernah terjadi kecuali melalui contoh yang kedua (berperang dengan orang-orang yang melakukan kerusakan). (Majmu’ al Fataawaa, v28 p506-507)
Alasan yang benar untuk meninggalkan jihad
1. Al-Junuun (sakit mental atau gila)
Orang gila adalah yang dikecualikan dari jihad. Faktanya dia adalah seseorang yang dalam keadaan sangat berbahaya daripada kondisi selain itu (karena mungkin dia adalah yang pertama ditembak oleh musuh-musuh)! Rasulullah (saw) berkata,
“tidak ada jihad bagi anak-anak atau majnun (orang gila)."
Orang gila (majnun) mempunyai sebuah alasan untuk meninggalkan semua kewajiban dalam Islam. Dia bahkan dikecualikan dari beriman, dan bersaksi: “laa ilaaha illallah”. Ini karena Allah (swt) menciptakan majnun dengan tujuan tertentu : untuk mengingat dan memberikan pelajaran bagi kita akan ni’mah (berkah) atas segala nikmat yang ada pada kita. Lebih lanjut, orang gila (majnun) tidak akan pernah masuk ke dalam nereka.
2. Lumpuh atau sakit
Segaimana pengertian sebelumnya, lumpuh dan sakit seperti buta, sakit jantung, asma yang parah, diabetes dan lain-lain adalah alasan yang benar untuk tidak pergi ke medan jihad. Namun, sakit gigi, sakit kepala, pegal, keseleo kecil adalah bukan alasan yang benar.
3. Tidak mempunyai harta
Seseorang yang tidak mempunyai cukup uang untuk pergi berjihad itu juga di benarkan untuk meninggalkan jihad (seperti yang telah dibahas tadi).
4. Anak-anak
Sabie dan sabiyyah (anak laki-laki dan perempuan) juga dibebaskan dari jihad, sampai mereka mencapai dewasa – baligh (11 tahun untuk anak perempuan , 15 tahun untuk anak laki-laki)
Anak-anak (sabie) juga tidak diwajibkan untuk masalah ibadah walaupun demikian kita bisa mengajarkan kepada mereka bagaimana cara shalat dan sebagainya. Ini berdasarkan hadits yang sampaikan oleh ‘Aisyah (ra), yang berkata bahwa Rasulullah (saw) bersabda, “
“Pena telah diangkat dari tiga hal : salah seorang yang tertidur sampai terjaga, seseorang yang gila sampai dia sadar dan anak-anak sampai dia dewasa.”
5. Kaum Wanita
Bukanlah sebuah kewajiban atas wanita untuk pergi berjihad. Imam Nawawi berkata, “tidak ada jihad atas orang gila dan wanita.” Lebih lanjut ketika ‘Aisyah (ra) bertanya kepada suaminya (saw) , “kami telah mengetahui bahwa jihad adalah ibadah yang paling utama, apakah ada jihad atas kaum wanita?” Rasulullah (saw) menjawab, “jihad untukmu adalah Haji mabrur”
Telah diriwayatkan bahwa Rasulullah (saw) telah mengikutkan beberapa wanita untuk berjihad; tetapi wanita tersebut difungsikan hanya untuk mengerjakan perkerjaan-pekerjaan wanita saja. Jika seseorang mempelajari semua nash-nash wahyu, maka tidak ada satu mash pun yang mengatakan bahwa kaum wanita diwajibakan untuk berjihad. Satu-satunya yang Allah (swt) salahkan untuk meninggalkan jihad adalah kaum laki-laki; ini mengindikasikan bahwa wanita tidak wajib untuk pergi ke medan pertempuran. Faktanya Rasulullah (saw) meninggalkan beberapa laki-laki di belakanng beliau (ketika melakukan ekspedisi) dengan tujuan bahwa mereka menjaga para wanita.
Namun, jika musuh datang untuk memerangi kaum wanita dia diwajibkan untuk melindungi dirinya (dan dia tidak perlu minta izin kepada siapapun – walaupaun kepada suaminya). Lebih lanjut, bukan karena dia tidak diwajibkan untuk pergi ke medan perang itu tidak berarti bahwa dia tidak wajib untuk membantunya sama sekali. Ada banyak hal lain yang bisa dilakukan oleh wanita, seperti memberikan motovasi kepada maharimnya, mengumpulkan dana dan lain-lain. Telah diriwayatkan bahwa Imam Ahmad pernah sesekali ditanya tentang wanita yang pergi berjihad. Beliau menjawab, “mereka mengambil bagian, mengobati yang terluka dan membawa air, aku tidak pernah mendengar ada seorang wanita dari mereka yang terbunuh. Wanita tidak pernah berperang sampai perang Yarmuk. Mereka pergi untuk untuk memerangi wanita Quraisy…”
6. Budak
Budak tidak diwajibkan untuk mengambil bagian dalam jihad ofensif (menyerang), tetapi mereka wajib untuk melakukan jihad defensive (bertahan).
7. Sedang berhutang
Seseorang yang mempunyai hutang tidak diwajibkan untuk melakukan jihad ofensif.
Balasan bagi orang-orang yang mempunyai alasan yang benar (syar’i)
Rasulullah (saw) bersabda:
Sebagian orang-orang yang tinggal dibelakangmu di Madinah; dan kamu tidak akan membelanjakan apapun, menyeberangi sebuah lembah, sedih dan menderita atas musuh-musuh, tetapi mereka membagi balasannya denganmu. (Musnad al-Imaam Ahmad)
Seseorang yang tetap tinggal di Madinah dan kamu tidak akan menyebrangi suatu lembah atau berbaris untuk maju, tetapi mereka ada bersama dengan kamu. Mereka (para sahabat) berkata: ketika mereka tetap tinggal di Madinah!? Rasulullah (saw) menjawab:
‘ya ketika mereka meninggalkan dengan alasan yang benar (syar’i).’ (Fatul Baari)
Berdasarakan hadits di atas orang-orang yang mempunyai sebuah penyakit atau tidak mempunyai harta; seperti halnya wanita, orang tua, orang yang cacat dan sebagainya menerima pahala yang sama seperti mujahidin tetapi jika mereka mempunayi alasan yang dibenarkan oleh syara’ untuk tidak pergi berjihad dan Allah (swt) akan memberikan balasan kepada para mujahidin dan mereka yang telah dibebaskan dari tanggung jawab tersebut. Ini adalah kemulian besar dari Allah (swt), segala puji bagi Allah.
Ini juga menunjukkan bahwa mereka yang terbebaskan untuk pergi berjihad seharusnya tidak tertekan, sebagaimana Allah (swt) telah menyatakan bahwa mereka yang pergi berjihad dan mereka yang “tercegah” (dengan alasan yang benar) keduanya akan masuk ke dalam jannah.
Namun, orang-orang yang tercegah (dengan alasan yang syar’i) tidaklah cukup. Kita juga harus mempunyai niat (kemauan) untuk pergi berjihad dan selalu terikat tentang permasalahan ini. Ibnu Hajar (rh) berkata, “dia (yang tercegah) akan mendapatkan pahala dari seseorang yang melakukan perbuatan (berperang) jika dia mempunyai niat untuk melakukannya.”
Telah diriwayatkan oleh Sahl bin Hinaif bahwa rasulullah (saw) bersabda :
Siapa saja yang menginginkan mati dalam keadaan syahid dengan sungguh-sungguh, Allah akan menerimanya sebagai seorang syaid, meskipun dia mati di atas pembaringan. (Shahih Muslim, hadits no.1908)
Contoh yang paling baik adalah Khalid Bin Walid (ra). Dia selalu di barisan depan dalam setaip peperangan dan sungguh-sungguh mencari syahadah (mati syahid), tetapi dia mati di atas tempat tidurnya. Bahkan ketika dia berbeda pendapat dengan amir pada saat dia berada dalam titik puncaknya (marah), dia tetap berperang di barisan depan; perhatiannya tidak pernah untuk mencari kepemimpinan, kedudukan ataupun otoritas.
Ketika Abdur Rahman bin Auf menerima surat dari Amir ul Mu’minin untuk mengambil alih kepemimpinan sebagai pengganti Khalid, dia menyembunyikan suratnya dan tidak semerta-merta mengatakan kepada Khalid langsung. Ketika Khalid telah mendengar hal itu dengan cepat, dia memeluknya dan memberikan kepemimpinan itu dengan segera. Ini adalah karakter seorang mujahid dalam Islam, yang tidak hanya memikirkan apapun yang telah diputuskan. Dalam Islam, kita memilih seseorang yang terbaik untuk menjadi pemimpin, tidak hanya karena kemampuan fisiknya, tetapi juga karena kemapuan intelektualnya atau bahkan kemampuan finansialnya. Sebagai contoh Utsman Bin Affan (ra) telah diberi tanggung jawab atas para tentara karena kekayaannya; dia mempunyai kekayaan untuk memenuhi kebutuhan semua orang.
Imam Al Qurtubi berkata tentang pernyataan Rasulullah (saw),
‘…mereka yang telah ‘tertahan’ (untuk berjihad) dengan alasan yang benar’.
Ini berati bahwa seseorang yang mempunyai sebuah alasan (untuk tidak pergi berjihad) akan mendapat pahala seperti pahalanya para pejuang. Orang-orang berilmu pernah berkata, ‘pahalanya sama (bagi orang yang berjuang dan seseorang yang dimaafkan)’ karena kebaikan Allah maha luas (Allah bisa memberikan pahala yang lebih banyak jika Dia menghendaki). Allah bisa saja memberikan kepada orang yang dimaafkan (berjihad) lebih banyak pahalanya dari pada pejuang jika dia lebih ikhlas.
Dengan kata lain, orang-orang yang diberi keringanan adalah orang-orang yang ikhlas dia akan menerima pahala lebih banyak daripada mujahid yang tidak tulus (ketika berjihad).
Ada salah seorang sahabat yang mempunyai kecacatan pada salah satu kakinya, yakni lebih pendek daripada kakinya yang lain, namun dia memohon kepada Rasulullah (saw) untuk berperang, mengabaikan keringanannya. Rasulullah (saw) menerima permohonannya itu dan berkata,
“Sungguh kepincangannya berada dalam surga.”
Namun, ada sebagian ulama yang berbeda pendapat dalam masalah pahala bagi orang yang berjuang dan mereka yang dimaafkan. Sebagian berkata para pejuang mendapatkan pahala lebih, sebagian yang lain pejuang dan yang dimaafkan mendapatkan pahala yang sama.
Para pejuang yang beriman mendapatkan pahala yang lebih berdasarkan hadits dari Rasulullah (saw):
“jika seseorang berniat melakukan suatu kebajikan Allah akan menuliskan satu pahala baginya dan jika ia bermaksud untuk melakukannya dan dia melakukannya, Allah akan menuliskan antara 10 sampai 700 kali pahala.
Mereka yang mengatakan bahwa pahala yang termaktub dalam hadits :”…mereka berbagi pahalanya denganmu”. Lebih lanjut, ini adalah sebuah prinsip dalam Islam bahwa wilayah partner adalah sama kecuali telah dinyatakan dengan hal yang lain.
Kondisi-kondisi yang bisa menghilangkan dosa (meninggalkan jihad)
Harapan dia untuk menerima pahala yang sama sebagai mujahidin mungkin akan terdengar menyenangkan bagi mereka yang tidak pergi ke medan perang; namun ada kondisi-kondisi tertentu dan kewajiban yang harus dipenuhi jika seseorang berkeinginan untuk menghapuskan haraj tentang alasan untuk tidak pergi ke medan pertempuran dan mendapatkan pahala ini. Allah (swt) berfirman,
Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas (yaitu berdakwah) kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik (muhsinin). Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, (QS At Taubah 9 : 91)
Ayat ini mengindikasikan bahwa ada dua kewajiban utama bagi mereka yang tidak pergi berjihad:
1. Berdakwah untuk Dien Allah (swt)
2. Berbuat kebaikan
Siapapun yang tidak melakukan dua kewajiban ini tidak akan mendapat bagian pahala, dan mungkin menjadi orang munafiq yang hidup diantara orang-orang kafir tanpa mencirikan dirinya sebagai seorang muslim dan mengajak orang-orang pada Islam. Mereka yang mendekati “007” dan beranggapan untuk menjadi mujahid itu adalah kebodohan untuk dirinya mereka sendiri. Tentang perbuatan baik, ada sedikitnya tujuh kebaikan (disamping kewajiban yang umum):
1. An Niyyah (niat)
Bukan hanya karena mempunyai sebuah alasan untuk tidak pergi berjihad maka dia tidak harus mempunyai niyyah (kemauan) untuk pergi ke medan pertempuran. Ini berarti bahwa walaupun seseorang terhalangi pergi berjihad (dengan alasan yang benar), tetap merupakan kewajiban atasnya untuk mempunyai niat untuk pergi berjihad. Raslullah (saw) bersabda, Jika seseorang mati tanpa berperang dijalan Allah, atau tanpa mempunya niat untuk berperang di jalan Allah, dia akan mati dalam sebuah kemunafikan. (Shahih Muslim, Kitaab ul-Imaarah, hadits no.1910)
Lebih lanjut, seseorang yang tidak pergi ke medan pertempuran seharusnya bersedih, menangis kepada Allah (swt) dan memohon kepadaNya membukakan jalan untuknya. Ini adalah keadaan yang dimaklumi Rasulullah (saw) selama :…lalu kamu berkata:
"Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu." lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan (untuk berjihad). (QS At Taubah 9 : 92).
Ini adalah sebuah catatan penting bahwa seseorang juga harus mempunyai niat yang benar. Niat seseorang seharusnya tidak hanya mencari syahid. Niat yang seharusnya adalah kita ingin berperang dengan tujuan membasmi kekufuran, kesyirikan dan untuk menerapkan syari’ah Allah (swt). Hanya orang-orang munafiq yang senang dengan adanya keringanan untuk tidak berjihad atau orang-orang meminta untuk meninggalkannya. Allah (swt) berfirman):
Dan apabila diturunkan suatu surat (yang memerintahkan kepada orang munafik itu): "Berimanlah kamu kepada Allah dan berjihadlah beserta Rasul-Nya", niscaya orang-orang yang sanggup diantara mereka meminta izin kepadamu (untuk tidak berjihad) dan mereka berkata: "Biarkanlah kami berada bersama orang-orang yang duduk”. Mereka rela berada bersama orang-orang yang tidak berperang, dan hati mereka telah dikunci mati maka mereka tidak mengetahui (kebahagiaan beriman dan berjihad). (QS At Taubah 9 : 86-87).
Dengan demikian, mereka yang tidak mempunyai niat untuk mengibarkan panji-panji la ilaha ilallah di seluruh penjuru dunia tak lain adalah orang-orang munafik. Allah (swt) mengirimkan Dien ini dengan tujuan agar mendominasi dunia; oleh karena itu mereka yang tidak berharap untuk melihat Islam mengatur seluruh jagad raya adalah orang-yang yang tidak beriman.
2. Doa
Kewajiban lain atas setiap orang yang terhalangi untuk pergi berjihad adalah bahwa mereka harus dengan sungguh-sungguh berdoa untuk para mujahidin dan memohon pada Allah (swt) untuk menghancurkan musuh-musuhnya dan memberikan kemenangan kepada mereka atas orang-orang kafir. Ini seharusnya di lakukan sesering mungkin pada saat seseorang shalat (qunut), seperti di atas mimbar masjid dan setiap tempat yang memungkinkan.
Rasulullah (saw) menggunakan do’a untuk memohon kepada Allah (swt) untuk menghancurkan Abu Jahal dan kaum musyrikin lainnya, lebih lanjut Nabi Nuh (as) berdoa kepada Allah seperti:
"Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorangpun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. (QS Nuh 71 : 26)
3. An Nafaqah (menafkahkan harta di jalan Allah)
Jika seseorang terhalangi untuk berjihad, itu tidak berarti dia berhenti untuk “berbelanja di jalan Allah. Berbelanja fii sabilillah adalah kewajiban setiap umat Islam. Jika seseorang tidak mempunyai kekayaan, setidaknya dia harus mencoba untuk mengumpulkan dana dari orang lain, seperti dari teman atau sanak keluarga.
Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (QS Al Baqarah 2 : 195)
Sehubungan dengan ayat ini Ibnu Abbas (ra) berkata:
“ini bukan tentang peperangan. Tetapi tentang orang-orang yang menahan dirinya untuk menafkahkan (hartanya) di jalan Allah, dalam masalah yang seseorang akan melemparkan dirinya sendiri ke dalam kehancuran.”
4. Membangun kesadaran dan mempublikasikan jihad
Orang yang terhalangi untuk pergi berjihad juga berkewajiban untuk membangun kesadaran tentang perang antara Islam dan kufur dan juga mempublikasikan jihad. Ini bisa dilakukan dengan penterjemahan materi-materi jihad, berita-berita dari mujahid, mendistribusikan video mereka dan mempublikasikan hal lainnya.
5. Tahrid Al Mu’minin Alal jihad (memotivasi atau menyemangati orang-orang beriman untuk mendukung jihad)
Memuliakan jihad dan memotivasi orang-orang beriman untuk berperang fi Sabilillah juga merupakan kewajiban lainnya. Allah (swt) berfirman:
Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Kobarkanlah semangat para mukmin (untuk berperang). Mudah-mudahan Allah menolak serangan orang-orang yang kafir itu. Allah amat besar kekuatan dan amat keras siksaan(Nya). (QS An Nisa 4 : 48)
Ayat ini membuktikan bahwa kewajiban untuk memberikan motivasi kepada orang-orang beriman dan meningkatkan akhlak mereka. Orang-orang yang memotivasi orang-orang beriman untuk berperang seharusnya tidak pernah disalahkan, walaupun jika mereka tidak pergi untuk berperang. Niat mereka adalah untuk diantara mereka dan Allah, dan mungkin mereka mempunyai alasan yang kita tidak mengetahuinya.
6. Berdakwah kepada kaum Muslimin dan mujahidin.
Mereka yang terhalangi untuk berjihad harus berdakwah dan menasehati kaum Muslimin, seperti memberikan pelajaran tauhid dan hikmah dari kesukaran dan lain-lain. lebih lanjut, mereka juga harus memberikan nasehat-nasehat kepada mujahidin pada saat dibutuhkan.
7. Menjatuhkan (melemahkan semangat dan menjatuhkan moral) kaum Musrikin dan menakut-nakui mereka.
Kewajiban yang lain untuk orang-orang yang terhalangi adalah bahwa mereka berkewajiban untuk mengejek, mengganggu, menjatuhkan dan melemahkan semangat orang-orang kafir, dengan tujuan menakut-nakuti mereka, membuat perasaan mereka ketakutan dan tidak mempunyi kesempatan untuk melawan usuud ul Harb (Singa-singa Perang). Faktanya, ada beberapa contoh ketika orang-orang beriman mengalahkan musuh-musuh mereka hanya dengan propaganda sebelum perang (perang tabuk adalah sebuah contoh). Ini adalah sunnah (tradisi) dari para sahabat, yang digunakan untuk mengejek orang-orang kafir dengan tujuan untuk menjatuhkan moral dan menteror mereka.
Hassan Bin Tsabit (ra) adalah salah seorang sahabat yang mencari orang-orang terbaik untuk bersyair dengan tujuan untuk menjatuhkan moral dan mengejek orang-orang kafir. Dia berkata kepada Ibnu Ra

Kesimpulan
Ini adalah alasan yang syar’i dan yang tidak syar’i untuk meninggalkan jihad. Segala puji bagi Allah yang kemurahan-Nya tiada terbatas, yang telah memberikan kepada qaa’idun (orang-orang yang tidak pergi ke medan pertempuran) kesempatan untuk mendapatkan bagian pahala dengan saudara-saudara mereka dari mujahidin, menyediakan mereka agar mereka mempunyai alasan yang sah (syar’i) untuk meninggalkan jihad dan dengan aktif melibatkan mereka semua dengan tujuh kewajiban di atas.
Wallahu’alam bis showab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan berikan nasehat anda :