Jumat, 17 April 2009

Hak dan Tanggung-jawab Suami dalam Rumah tangga...


HAK-HAK SUAMI
   
 Hak suami atas istrinya adalah taat kepadanya selama tidak maksiat, menjaga kehormatan dirinya, memelihara harta suaminya, menghindari tindakan apapun yang menyebabkan suami tak senang, makanya istri tidak cemberut wajahnya dan tidak menampakkan sikap yang dibenci suaminya. Itulah hak-hak suami yang terpenting.
 Riwayat dari ´Âisyah s yang mengatakan : “Aku bertanya kepada Rosûlulloh n : “Hak siapakah yang paling prioritas atas wanita?”. Lalu beliau menjawab : “Suaminya”. Lalu ia bertanya lagi : “Hak siapakah yang paling prioritas atas wanita?”. Lantas Rosûlulloh n menjawab : “Ibunya”. 
 Rosûlulloh n juga mempertegas hak suami atas istrinya seraya bersabda :  

« لَوْ أَمَرْتُ أَحَداً أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ ، لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا ، مِنْ عِظَمِ حَقِّهِ عَلَيْهَا »
“Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada seseorang, niscaya aku perintahkan wanita bersujud kepada suaminya, karena hak suami atas istrinya adalah prioritas.” 

 Sementara Alloh l telah menentukan kriteria para istri sholihah dengan firman-Nya :
« فََالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّهُ »
“ …Wanita-wanita sholihah adalah yang senantiasa taat kepada ( suami); mejaga (kehormatan dirinya, harta dan anak) ketika suami tidak ada di rumah, sebab itulah menurut Alloh yang mesti dijaga …” (An-Nisâ´ [4] : 34)

 Alqônitât dalam ayat tersebut adalah para istri yang taat dan menjaga kehormatan diri dan harta ketika suami tak ada di rumah, sehingga mereka tak mungkin berkhianat kepada suami.
 Inilah harkat tertinggi yang harus dimiliki seorang wanita, sebab hanya dengan keluhuran inilah kelestarian hidup-kehidupan antara suami dan istri bisa langgeng dan harmonis .
 Sebagaimana sabda Rosûlulloh n :
« خَيْرُ النِّسَاءِ الَّتِيْ إِذَا نَظَرْتَ إِلَيْهَا سَرَّتْكَ وَإِذَا أَمَرْتَهَا أَطَاعَتْكَ وَإِذَا غِبْتَ عَنْهَا 
حَفِظَتْكَ فِيْ نَفْسِهَا وَمَالِكَ »
“Sebaik-baik wanita adalah yang apabila kamu lihat menyenangkan kamu, jika kamu perintah mentaatimu dan manakala kamu tidak ada di rumah, niscaya menjaga kehormatan dirinya dan hartamu.”  

 Betapa hak tersebut menempati posisi sedemikian tinggi di mana Islam telah menisbahkan ketaatan istri kepada suami sebagai kewajiban syariat Islam yang harus ditunaikan dan sebagai bentuk ketaatan kepada Alloh l , seperti disinyalir oleh Rosûlulloh n :  
« إذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَصَنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا، قِيْلَ لَهَا: اُدْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ »
“Apabila seorang wanita menegakkan sholat wajib lima waktu, berpuasa Romadhôn, menjaga kemaluannya dan mentaati suaminya, niscaya dikatakan kepadanya : “Masuklah kamu kedalam surga dari pintu manapun kamu sukai.”  
 « أَيُّمَا امْرَأَةٍ مَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَنْهَا رَاضٍ دَخَلَتِ الْجَنَّةَ»
“Wanita manapun mati, tanpa mengecewakan hati suaminya, pasti masuk surga.” 

 Umumnya faktor penyebab masuknya perempuan ke neraka adalah sikap pembangkangannya terhadap suami dan tak tahu balas budi atas kebaikan suami, seperti disinyalir Rosûlulloh n : 
« اِطَّلَعْتُ فِيْ النَّارِ فَإذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ ، يَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ، لْوْ أَحْسَنْتَ إلَى إحدَاهُنّ الدّهْرَ ثُمّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئاً قالَتْ : مَا رَأَيْتُ خَيْراً مِنْكَ قَطّ»
“Ketika aku menyaksikan neraka, ternyata mayoritas penghuninya perempuan, mereka menutup mata jasa suaminya, andaikan kamu berjasa baik kepada salah satu di antara mereka sepanjang usianya kemudian ada sedikit saja yang tidak ia inginkan dari dirimu, niscaya ia mengatakan : “Aku tak pernah merasakan sedikitpun kebaikan darimu”.”  
 Hak suami berupa ketaatan istri itu tentu saja bernilai ma´rûf, makanya tidak ada bentuk ketaatan kepada makhluk ketika maksiat kepada Alloh Sang Pencipta l , jika suami memerintah istri untuk bermaksiat kepada-Nya wajib atas istri menolak perintah itu.  
 Di antara bentuk ketaatan istri kepada suaminya, adalah tidak berpuasa sunah, tidak menjalankan haji tathowwu´ dan tidak keluar rumah tanpa seijin suaminya.
 Rosûlulloh n bersabda :  

« حَقُّ الزَّوْجِ عَلَى زَوْجَتِهِ أَنْ لَا تَمْنَعَهُ نَفْسَهَا، وَ لَوْ كَانَتْ عَلَى ظَهْرِ قَتَبٍ ، وَأَنْ لَا تَصُوْمَ يَوْمًا وَاحِدًا إِلَّا بِإِذْنِهِ ، إِلَّا الْفَرِيْضَةَ فَإِنْ فَعَلَتْ أَثِمَتْ وَلَمْ يُتَقَبَلْ مِنْهَا ، وَأَنْ لَا تُعْطِيْ مِنْ بَيْتِهَا شَيْئًا إِلَّا بِإِذْنِهِ ، فَإِنْ فَعَلَتْ كَانَ لَهُ الْأجْرُ وَكَانَ عَلَيْهَا الْوِزْرُ ، وَأَنْ لَا تَخْرُجَ مِنْ بَيْتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ ، فَإِنْ فَعَلَتْ لَعَنَهَا اللهُ وَمَلَائِكَةُ الْغَضَبِ حَتَّى تَتُوْبَ أَوْ تُرَاجِعَ ، وَإِنْ كَانَ ظَالِمًا »
“Hak suami atas istrinya menyerahkan tubuhnya buat suami meski berada di atas punggung onta, tidak berpuasa sunah tanpa seijin suami kecuali farîdhoh, jika istri melakukan itu berarti berdosa dan tidak diterima puasanya, tidak memberikan sedikitpun hak milik suami di rumah tanpa minta ijin kepadanya, jika istri melakukan itu maka bagi suami pahala sedekahnya, sementara istri berdosa, di samping itu hendaklah tidak keluar rumah tanpa seijin suami, jika melakukan itu niscaya Alloh dan malaikat azab melaknatnya hingga ia bertaubat serta pulang ke rumah, meski sikap tidak memberi ijin tersebut sebagai bentuk kezholiman.”  

  Sungguh suami menurut perspektip Islam sebagai pengatur rumahtangga yang punya tanggungjawab memberikan jaminan materi dan memimpin rumahtangga, maka sudah semestinya dia memperoleh konpensasi untuk dihormati, didengar dan ditaati. Meski dalam hal-hal yang mubâh dia wajib ditaati. Misalnya istri mengenakan pakaian berwarna hitam diperbolehkan menurut syariat Islam, namun jika suami tidak berkenan lantaran tak menyukai warna itu, maka ketaatan istri dalam hal ini wajib dan haram baginya mengenakan pakaian berwarna hitam, bukan lantaran syariat Islam mengharamkannya, tapi karena berseberangan dengan kehendak suami.
 Meski suami menyia-nyiakan hak yang wajib ia tunaikan terhadap istri dan putra-putrinya, namun hal itu tidak kemudian melegitimasi buat wanita untuk tidak menunaikan hak-hak suami .  
 Bagaimanapun wanita tetap dalam alternatif apakah ia tetap menunaikan hak-hak suami ataukah menuntut cerai. Jika ia tidak menuntut cerai maka hal itu dipandang sebagai pernyataan tak langsung bahwa istri merelakan kedzholiman sang suami terhadap dirinya, dengan harapan ingin mendapatkan pahala dari Alloh l , atau boleh jadi ia yakin bahwa kesabaran lebih maslahat baginya daripada tuntutan cerai, pasalnya manusia menikah punya maksud agar kehidupannya menjadi bahagia, jika memang pernikahan justru menjadi mala-petaka, tak pelak masing-masing dari kedua belak pihak akan memilih cerai, namun jika ternyata pernikahan tetap saja berlangsung maka mentaati suami menjadi kewajiban atas sang istri.

Tidak memasukkan orang yang tak disukai suami  

 Termasuk hak suami, istri tidak memasukkan seseorang yang tak diinginkan suami di rumah tanpa seijinnya. Rosûlulloh n bersabda pada haji wada´ sesudah memuji, menyanjung, memberi peringatan dan memberi nasehat : 
«أَلَا وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْراً ، ... أَلَا إِنَّ لَكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ حَقّاً ، فَحَقُّكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لَا يُوْطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُوْنَ ، وَلَا يَأْذَنَّ فِيْ بُيُوْتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُوْنَ» 
“Camkanlah, arahkanlah istri-istrimu kepada kebaikan …Camkanlah sungguh kamu punya hak atas istri-istrimu, bahwa hendaklah mereka tidak memperkenankan seseorang yang tidak kamu sukai menempati tempat tidurmu dan berada di rumahmu.”  

Istri membantu suami  

 Yang menjadi landasan hubungan antara suami-istri adalah persamaan hak dan kewajiban antara lelaki dan perempuan, dalilnya adalah firman Alloh l :  

« ... وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ... »
“Dan bagi mereka (perempuan) ada( hak yang harus ditunaikan oleh lelaki) sebagaimana hak (bagi lelaki) yang harus ditunaikan oleh mereka ( perempuan) dengan cara ma’rûf (dalam hubungan timbal-balik sebagaimana Alloh perintahkan). Dan bagi lelaki ada karunia kelebihan .” (Al-Baqoroh [2] : 228) 

 Ayat tersebut memberikan hak kepada perempuan yang harus ditunaikan suaminya, demikian pula sebaliknya memberikan hak lelaki yang harus ditunaikan istrinya, makanya ketika hak itu menjadi tanggungjawab perempuan, ketika itu pula hak yang sama pula menjadi tanggungjawab lelaki.
Fitrahlah yang dijadikan oleh Islam sebagai landasan hubungan timbal-balik dan sistem hidup-kehidupan antara suami-istri. Maka sebagai lelaki lebih sanggup mengemban tanggungjawab beraktifitas, bekerja keras dan berusaha di luar rumah, sedangkan perempuan punya kesanggupan membereskan urusan dalam rumah, mendidik putra-putrinya, menjadi faktor penunjang untuk menciptakan nuansa harmonis dan ketentraman suasana rumah. Makanya lelaki dibebani tanggungjawab sesuai proporsinya, sementara perempuan dibebani tanggungjawab sesuai essensi serta fisiknya. Dengan demikian, rumahtangga bisa diatur secara internal dan eksternal sehingga masing-masing tidak direpotkan dengan tugas ganda internal sekaligus eksternal rumah (dengan kata lain masing-masing mengayahi satu tugas).  
 Dengan begitu kles, perselisihan dan problematika rumahtangga tidak terjadi, kecuali setelah lelaki melepaskan tanggungjawabnya dan mulai bersikap menyalahkan istrinya, lantas istrinya mulai ikut-ikutan beraktifitas di luar rumah serta mengabaikan tanggungjawab intern rumahtangga, padahal essensi fitrahnya bertanggungjawab mengurus intern rumah, dengan demikian keseimbangan rumahtangga goyah, terjadi keretakan rumahtangga, percekcokan antara suami-istri dan ujung-ujungnya putra-putri tak berdosa menjadi korban sebagai dampak larinya bapak dari tanggungjawab dan kesibukan ibu diluar rumah yang tak selaras fitrah serta tekstur fisiknya, padahal fitrah keibuan mestinya bertugas mendidik, lemah lembut, simpati dan bukan bekerja serta mengais rezeki kesana-kemari.

 Apakah demikian persamaan yang dituntut perempuan untuk melucuti naluri kewanitaannya? Apakah ia menginginkan karir lelaki? Mengapa demikian? Bukankah kecantikannya ada pada fitrah kewanitaannya?!
 Faktor penyebabnya, karena lelaki mengopinikan demikian, sementara dalam rangka mengatasi gep rumahtangga komunitas menuntut agar wanita berkarir. 
 Namun kenyataannya justru sebaliknya, pasalnya generasi muda Barat dan Arab sama-sama dilanda krisis pengangguran dan minimnya kesempatan kerja.
 Sebenarnya Islam tidak melarang karir perempuan jika memang itu sebagai kebutuhan mendesak, sebab karir wanita yang sesungguhnya dan paling asasi di dalam rumah adalah mendidik generasi muda kita agar menjadi sholih sebagaimana dicanangkan oleh Alloh dan Rosul-Nya, demikianlah seharusnya TV mendidik putra-putri kita. Manakala perempuan dengan peranan pentingnya berfungsi signifikan otomatis masyarakat akan selamat dan lestari di bawah panji-panji kebaikan dan ketentraman.
Rosûlulloh n telah mempertegas perintahnya kepada ´Alî bin Abî Thôlib a dan Fâthimah s , agar Fâthimah s bertugas serta bertanggungjawab mengurus rumah sedangkan ´Alî bin Abî Thôlib a bekerja dan mengais rezeki.
 Hadits yang diriwayatkan Bukhôrî dan Muslim mensinyalir bahwa Fâthimah s datang kepada Nabi n menanyakan kepada beliau tentang bekas di tangannya lantaran menggiling tepung dan meminta agar ia diijinkan menjadi pekerja penggiling tepung, lalu Rosûlulloh n menanggapi : 
« أَلاَ أدُلُّكُمْ عَلَى مَا هُوَ خَيْرٌ لَكُمَا مِمَّا سَأَلْتُمَا؟ إِذَا أَخَذْتُمَا مَضَاجِعَكُمَا ، فَسَبِّحَا اللهَ ثَلاَثًا وَ ثَلاَثِيْنَ وَ احْمَدَا ثَلاَثًا وَ ثَلاَثِيْنَ وَ كَبِّرَا أَرْبَعَ وَ ثَلاَثِيْنَ ، فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمَا مِنْ خَادِمٍ »
“Maukah aku tunjukkan kepadamu sesuatu yang lebih baik daripada yang kamu pinta? Apabila kamu hendak tidur bertasbihlah sebanyak 33x1, baca hamdalah 33x1 dan bertakbir 34x1, itu lebih baik bagimu daripada menjadi pelayan.”  

 Dari Asmâ´ binti Abû Bakar h mengatakan : “Aku menjadi pelayan rumahtangga Zubair sepenuhnya padahal dia juga memiliki kuda, lalu aku melatih kuda itu, merumput untuknya, merawatnya, menyiapkan makannya, memberi minumnya, menguli tepung buatnya dan aku menyunggi serta memindahkan biji-bijian dari satu tempat ke tempat kuda itu sejauh 2 mil”.
 Dua hadits tersebut memberikan pengertian bahwa perempuan mesti memberikan layanan rumahtangganya, seperti halnya lelaki mesti memberikan belanja kepada istrinya. 
 Tuan putri Fâthimah s pernah menginformasikan bahwa dirinya pernah menjadi pelayan tapi Rosûlulloh n tidak mengatakan hal itu kepada ´Alî a : “Fâthimah tidak wajib memberikan layanan kepadamu, namun kamulah yang wajib memberikan layanan kepadanya”. Rosûlulloh n tidak mengatakan demikian kepada ´Alî a.
 Demikian pula sikap Rosûlulloh n ketika mengetahui Asmâ´ binti Abû Bakar h membantu meringankan suaminya, beliau tidak mengatakan kepada suaminya : “Tak ada kewajiban atas Asmâ´ untuk membantumu”. Justru beliau menyatakan agar istri membantu suaminya, begitu juga para istri sahabat agar membantu meringankan suaminya, meski beliau menyadari bahwa istri yang membantu suami itu ada yang tidak sukarela dan ada yang secara suka rela. 
 Ibnul -Qoyyim v berkata : “Mengenai istri sahabat membantu suami tak perlu diragukan dan tidak benar untuk diklasifikasikan ada istri sahabat yang terpuji dan ada yang tercela, ada yang papa, ada yang kaya. Maka kriteria istri sahabat adalah paling luhur akhlaknya di antara para istri yang ada di dunia ini, ia membantu suaminya dan datang kepada Rosûlulloh n untuk memberitahukan kepada beliau tentang keberadaan dirinya yang membantu meringankan suaminya, sehingga mustahil Rosûlulloh n tidak mendengar informasi yang dituturkannya”. 
 Telah menjadi opini kaum muslimin di negara manapun sejak dulu hingga kini mengenai apa yang telah kami kemukakan. Jangan pernah terlintas di benak Anda bahwa para istri Nabi n dan istri para sahabat berkewajiban kerja menggiling tepung di samping menata tempat tidur, menyiapkan makan dan lain sebagainya. Hendaklah kita membuang persepsi bahwa perempuan enggan melakukan kesemuanya itu dan tak kuasa menolak tugas itu. Lebih-lebih menilai para sahabat memaksakan istri-istrinya lantaran menyia-nyiakan semua pekerjaan tersebut, dengan kata lain para sahabat memperbantukan istri-istrinya. Sebaiknya kita mengatakan : “Sekiranya istri sanggup menunaikan apa yang diperlukan suaminya. Itulah pendapat yang benar. Wallôhu a´lamu bish -showwâb”.  

Menahan Istri di rumah suami  
   
 Termasuk hak suami, menahan istrinya di rumah yang telah ia sediakan untuk kehidupan rumahtangga dan melarangnya keluar rumah tanpa seijinnya, asalkan rumah tersebut memenuhi syarat layak buat istri dan untuk tempat tinggal suami-istri, hingga layak disebut hunian memenuhi kriteria syariat. Manakala rumah tidak layak dihuni istri dan tidak memungkinkan baginya untuk memenuhi hak-hak suami-istri, maka istri tidak wajib tinggal di situ sebab rumah tidak memenuhi kualifikasi syariat.  

Contoh rumah tak layak huni  

 Jika dalam rumah itu ada penghuni lain yang tidak memungkinkan istri melakukan hubungan suami-istri atau riskan buat istri, atau dikhawatirkan merenggut kehormatan istri, atau tidak adanya fasilitas yang menunjang, atau karena kondisinya yang membuat istri tak kerasan, atau karena tetangganya yang busuk dan jahat.  

Suami mengajak istri pindah  

 Termasuk hak sang suami adalah mengajak istrinya berpindah sesuai kehendak suami berdasarkan firman Alloh l :
« أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُم مِّنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوْهُنَّ لِتُضَيِّقُوْا عَلَيْهِنَّ »
“Tempatkanlah istri-istri yang sudah kalian ceraikan di rumahmu yang kamu tempati menurut kemampuanmu, janganlah kamu mempersulit mereka (dalam urusan tempat tinggal dan nafkah)…” (Ath-Tholâq [65] : 6)  

 Larangan mencelakai, jangan sampai memindahkan istri bermaksud mencelakai, bahkan seharusnya memindahkan istri punya maksud agar kehidupan suami-istri menjadi lebih harmonis dan mewujudkan tujuan pernikahan. Apabila perpindahan istri bermaksud mencelakai dan mempersulit istri, misalnya agar istri memberikan kembali mahar yang telah dibayarkan, atau agar terbebas dari tanggungjawab memberikan nafkah, atau hendak berkhianat terhadap istri, maka istri berhak menolak dan hakim wajib memutuskan agar istri tidak usah merespon ajakan pindahnya suami.
 Jelas sekali sekiranya suami benar bersikap fair serta jujur terhadap istri, maka memindah secara paksa tidak menjamin terwujudnya kemaslahatan, tapi harus mempertimbangkan hal-hal lain menyangkut suami, istri, negara tempat asal pindah dan negara tujuan pindah, misalnya motifasi pindah mengingat faktor maslahat, sebab kemungkinan kecil kemaslahatan bisa dicapai tanpa melakukan emigrasi.
 Contoh lain, misalnya kesanggupan suami membeayai ongkos perjalanan dan lain-lainnya, di samping suami punya kemampuan prediksi keuntungan guna menutup beaya hidupnya dan keluarganya jika perpindahan itu lantaran faktor bisnis atau perusahaan di bidang desain yang memenuhi hajat hidupnya dan anggota keluarganya.
 Misalnya keamanan perjalanan antara negara asal dan negara yang dituju, dengan kata lain aman bagi jiwa, kehormatan dan harta, sehingga istri dalam kondisi stabil serta mampu mengatasi kesulitan perjalanan dari satu negeri ke negeri tujuan.
 Tempat tujuan diyakini aman, bebas wabah dan bersahabat.
 Kehormatan istri di tempat tujuan dijamin aman seperti halnya keamanan sewaktu masih di tempat asal.
 Perpindahan tempat tinggal tidak membahayakan fisik, moral dan hal-hal lain yang mesti dipertimbangkan seperti kompleksnya situasi serta kondisi, pluralitas individu dan penduduk hingga bisa dikontrol dan dikendalikan oleh peradilan .


Melarang istri berkarir  

 Para ulama´ mengklasifikasikan antara karir yang bisa menyia-nyiakan hak suami, atau menyebabkan madhorotnya, atau memicu istri keluar rumah dan karir yang tidak menyebabkan madhorotnya sang suami. Sehingga para ulama´ melarang karir yang pertama dan memperbolehkan yang kedua. Ibnu ´Abidîn dari madzab Hanafî berpendapat : 
 “Yang perlu dipertegas bahwa larangan sang istri keluar rumah manakala menyebabkan terlantarnya hak suami atau membikin madhorotnya, adapun karir yang tidak menyebabkan madhorotnya sang suami, tentu tak ada alasan untuk melarangnya, di samping tak ada larangan keluar rumah manakala keluar rumahnya sang istri demi karir yang masuk kategori fardhu kifâyah teristimewa karir yang erat hubungannya dengan kewanitaan, misalnya karir kebidanan atau menangani persalinan”.

Tidak logis  

 Terkadang wanita mengatakan : “Mengapa aku harus belajar dan menamatkan kuliah di perguruan tinggi toh akhirnya harus nongkrong juga di rumah untuk melayani suami, anak-anak, memasak, menyapu dan menertibkan rumah??
 Siapa bilang keberhasilanmu meraih ijazah perguruan tinggi mesti terkait kepentingan karirmu. Sementara kamu tak lagi perlu mengais rezeki.
 Sungguh aktifitasmu, kesuksesan belajarmu dan nilai akademis yang kamu sandang akan berpengaruh signifikan terhadap segenap keluargamu dan suamimu apabila niatmu mencari ridho Alloh dan mewujudkan rumahtangga yang sadar akan nilai-nilai islami.
 Alloh l bersabda : 

« قُلْ هَلْ يَسْتَوِيْ الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ »
“ …Katakanlah apakah sama antara orang-orang yang mengetahui dan orang-orang
 yang tidak mengetahui? …” (Az – Zumar [39] : 9)  
« إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ »
“ …Sungguh di antara hamba-hamba yang paling takut kepada Alloh adalah ´ulamâ´ …” (Fâthir [35] : 28) 

 Oleh karenanya ilmu adalah benteng yang menyelamatkan wanita agar tidak terperosok dalam jurang kemaksiatan, sedangkan pembelajaran wanita akan kiat-kiat berinteraksi dengan suami dan hal-hal prioritas lagi essensi dalam kehidupan wanita dalam rangka mendidik generasi muslim secara benar. Dalam pada itu aku doakan: “Semoga Alloh l mengkaruniakan kepadamu suami yang sholih memiliki harta cukup melimpah, sedangkan kamu hidup dalam suasana longgar bahkan dalam villa, mempunyai dua mobil dan dua pelayan wanita, sementara semua kebutuhan dalam rumah terpenuhi, mengapa kamu harus mengais rezeki atau berkarir?
 Taatilah perintah Robbmu yang menciptakanmu, Dialah Zat Yang Maha mengetahui faktor keharmonisanmu sekaligus kecelakaanmu yang berfirman : 
« وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ »
“ …Dan tinggallah kamu di rumah-rumahmu (hai para istri) dan janganlah kamu menampak-nampakkan (keindahan tubuhmu) seperti wanita jahiliah dahulu, tegakkanlah sholat, bayarlah zakat dan taatilah Alloh dan Rosûl-Nya …” (Al-Ahzâb [33] : 33)  
   
Wanita keluar rumah untuk belajar  
   
 Apabila ilmu itu hukumnya fardhu untuk dipelajari wanita, maka wajib atas suami untuk mengajari ilmu tersebut kepada istrinya, jika ia mampu mengajari. Apabila suami tidak sanggup mengajarinya, wajib atas wanita keluar rumah serta mendatangi ulama´ dan majelis ilmu guna mempelajari hukum-hukum Islam meski tanpa seijin suaminya. Adapun jika sang istri mengerti tentang hukum-hukum Islam yang fardhu untuk dipelajarinya, atau suaminya sebagai seorang yang memahami benar tentang agama Islam sedangkan ia juga mampu mengajarkannya kepada sang istri, maka tak ada hak bagi istri untuk keluar rumah guna menuntut ilmu tanpa seijin suami.
 Namu kini, alhamdulillah segala puji dan karunia hanya milik Alloh l , betapa sarana serta fasilitas untuk belajar dan mengajar ilmu sangat banyak, di antaranya : kaset dengan aneka ragamnya , TV (tentu saja jika didesain untuk sarana pendidikan Islam), internet, buku-buku dan cerama-ceramah para mubaligh.
 Namun sangat disayangkan, umat Muhammad n yang telah Alloh turunkan iqro´ kepadanya ternyata tidak mau membaca .
 Apa yang telah diungkapkan di depan sudah tegas bahwa ketaatan dan layanan istri kepada suami wajib hukumnya menurut syariat Islam, sedangkan yang wajib, pahalanya lebih besar daripada yang sunnah, nawâfil dan tathowwu´. Dengan demikian ketaatan dan layanan istri kepada suaminya di rumah lebih besar pahalanya daripada sholat nawâfil, puasa tathowwu´, membaca Al-Quran dan amalan-amalan tathowwu´ lainnya, tentu saja ketaatan kepada suami pada hal-hal yang mubah, adapun perintah suami kepada istri agar bermaksiat kepada Allo l , maka tidak wajib ditaati sesuai hadits : 
« لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِيْ مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ »
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk untuk bermaksiat kepada
 Alloh Sang Pencipta.”  

Hak-hak suami atas istri yang terpenting  
 
1) Menghormati, mendengar dan mentaati secara suka-rela maupun terpaksa, menyenangkan atau tak menyenangkan, selama bukan perintah untuk maksiat kepada Alloh l dan Rosûl-Nya n .
2) Istri tidak mengelak persetubuhan dengan suami tanpa ada alasan yang dibenarkan menurut syariat, atau karena sakit parah.
3) Tidak memperkenankan seseorang yang tidak disukai suami memasuki rumahnya, sekalipun ayahnya atau ibunya. 
4) Tidak keluar rumah tanpa seijin suami.
5) Tidak berpuasa tathowwu´ tanpa seijin suami.
6) Tidak membelanjakan harta suami atau hartanya sendiri tanpa seijin suami .
7) Merawaat rumahnya dan mendidik putra-putrinya dengan pendidikan islam yang benar .
8) Tidak meminta cerai tanpa sebab yang dibenarkan syariat Islam .
9) Tidak membeberkan rahasianya, lebih-lebih menyangkut emosi dan seksualnya .


TANGGUNGJAWAB SUAMI

 Abdullôh bin ´Umar a berkata : “Aku mendengar Rosûlulloh n bersabda : 
« كُلُّكُمْ رَاعٍ وَ كُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، اَلْإمَامُ رَاعٍ وَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِيْ أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِيْ بَيْتِ زَوْجِهَا وَ مَسْؤُوْلَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا ، وَالْخَادِمُ فِيْ مَالِ سَيِّدِهِ وَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ »
“Masing-masing di antara kamu adalah bak penggembala dan pasti dimintai pertanggungjawaban akan hal-ihwal menggembalanya, imam adalah bak penggembala dan pasti dimintai pertanggungjawaban akan hal-ihwal menggembalanya, lelaki terhadap keluarganya bak penggembala, sedangkan dia pasti dimintai pertanggungjawaban akan hal-ihwal menggembalanya, perempuan di rumah suaminya bak penggembala dan pasti dimintai pertanggungjawaban akan hal-ihwal menggembalanya, pelayan yang membelanjakan harta tuannya bak penggembala dan pasti dimintai pertanggungjawaban akan hal-ihwal menggembalanya dan masing-masing di antara kamu adalah bak penggembala dan pasti dimintai pertanggungjawaban akan hal-ihwal menggembalanya.” 

 Sedangkan suami adalah koordinator keluarganya, mengemban bermacam-macam tanggungjawab, yang terpenting antara lain : 
• Tidak membuat tipudaya dengan maksud bisa memakan maharnya yang telah dibayarkan kepada istrinya. Harus membayar mahar sepenuhnya kepada istrinya tak mengurangi sedikitpun, sebab Rosûlulloh n pernah bersabda :
« أَحَقّ الشّرُوطِ أَنْ تُوَفُوْا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوجَ»
“Sungguh syarat yang paling layak untuk kalian sempurnakan adalah mahar, sebab dengan itu kalian menghalalkan kemaluan istri-istrimu.”  
• Memperbaiki hubungan dengan istri : intim bertutur kata, mempergauli secara harmonis, sebagaimana sabda Rosûlulloh n :
« أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَاناً أَحْسَنُهُمْ خُلُقاً، وَ أَلْطَفُهُمْ بِأَهْلِهِ »
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik 
akhlaknya dan paling lemah-lembut kepada istrinya.”  
• Memberi nafkah istrinya sesuai kesanggupan, memberikan belanja yang halal, menghindari harta yang haram. Sedangkan nafkah kepada istri dan putra-putrinya wajib hukumnya menurut syariat Islam, sementara itu sebagai faktor penting bagi kepemimpinan yang bijak seorang suami terhadap istrinya. Mengesampingkan kewajiban ini sebagai pelanggaran dan dosa. Rosûlulloh n bersabda :  
« كَفَى بِالْمَرْءِ إثْماً أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَعُوْلُ »
“Cukuplah seseorang berbuat dosa lantaran menyia-nyiakan nafkah orang yang seharusnya ia nafkahi.”  
• Menjaga keluarga dari api neraka, sebagaimana firman Alloh l :

« يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا قُُوْا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ »
“Wahai orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka, bahan bakarnya berupa manusia dan batu-batu …” (At-Tahrîm [66] : 6)
Mujahid mengomentari ayat ini bahwa " قُوْا أنْفُسَكُمْ وَ أَهْلِيْكُمْ" = “Nasehatilah dirimu sendiri dan keluargamu agar bertakwa kepada Alloh dan didiklah mereka”.  

• Memerintah keluarga agar melaksanakan sholat, sebab sholat salah satu rukun Islam yang terpenting setelah dua syahadat, sedangkan Alloh l telah melimpahkan tanggungjawab kepada suami memerintah keluarga agar melaksanakan sholat : 
« وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَّحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى »
“Perintahlah keluargamu agar menegakkan sholat dan berusahalah sabar untuk selalu menegakkan sholat tepat waktu, Aku tidak memintamu rezeki, Aku-lah yang mengaruniai rezeki kepadamu, sedangkan kesudahan terpuji bagi yang bertakwa.” 
(Thôhâ [20] : 132)  

 Ini adalah janji rezeki dari Alloh l bagi yang memerintah istri-istrinya dan putra-putrinya untuk menegakkan sholat.
 Kewajiban suami juga mengajarkan keluarganya bahwa sholat adalah salah satu rukun Islam terpenting sesudah dua syahadat, sedangkan sholat tepat waktu merupakan amalan paling dicintai Alloh l. Barangsiapa meninggalkannya berarti telah kafir, sementara Alloh tidak menjamin keselamatannya. Di samping itu suami wajib mengajarkan keluarganya tata cara bersuci, bagaimana berwudhu yang benar, rukun-rukun sholat, hal-hal yang wajib dalam sholat, hal-hal yang sunnah dalam sholat dan yang membatalkan sholat. Kiat yang paling baik yaitu menetapkan buku yang tepat dan memotifasi mereka agar mau membacanya.
 Selain itu suami harus memperbanyak sholat nawâfil di hadapan mereka sebagai kiat mengajari mereka agar mau mengikutinya, sebagaimana sabda Rosûlulloh n :

« خَيْرُ صَلَاةِ الْمَرْءِ فِيْ بَيْتِهِ إِلَّا الْمَكْتُوْبَةَ »
“Sebaik-baik sholat seseorang dilakukan di rumahnya kecuali sholat wajib.”  
 
 Kepada orang-orang yang dalam kebingungan dan yang mengabaikan perintah Allloh berupa sholat ini; wahai orang yang mengatakan : “Sesungguhnya iman ada dalam hati, sedangkan kita telah bersaksi bahwa tidak ada Ilâh selain Alloh dan bahwa Muhammad adalah utusan Alloh, kita tidak menyakiti seorangpun di antara kaum muslimin, padahal kedua perkara ini merupakan syarat utama masuk surga, di samping itu kalian berpedoman kepada hadits : “Dua kriteria orang yang tidak diampuni oleh Alloh yaitu syirik dan mencelakai manusia”. Sementara kita menyaksikan betapa banyak orang melaksanakan sholat ternyata juga memakan harta orang lain yang bukan haknya, mereka berbohong, mereka melakukan dosa-dosa besar, mereka tidak komit kepada Islam kecuali sholat, sementara pergaulan mereka terhadap sesama dan akhlak mereka sama sekali tidak mencerminkan Islam”.
 Ketahuilah bahwa ucapan itu benar-benar kemasan serta retorika iblis, sebab di balik itu ada kebenaran yang disembunyikan yakni : “Bahwa kesaksian tidak ada Ilâh selain Alloh sebagai komitmen yang tidak bisa dipisahkan dari yang lain, tidak setiap orang yang mengatakan : “Lâ Ilâha illâ -llôh” bisa selamat di hari kiamat, kecuali mengkorelasikan dengan perintah-perintah Alloh yang lain, sebab orang yang mengimani “Lâ Ilâha illâ -llôh” sementara dia sudah masuk Islam, maka wajib baginya merealisir apa yang menjadi tuntutan persepsi “Lâ Ilâha illâ -llôh”.
 Dalam pada itu essensi memeluk Islam yang kamu lakukan berarti menyerahkan diri dan tunduk serta patuh terhadap yang diperintahkan Alloh l kepadamu, sedangkan Alloh l telah mengonsep iman dan amal sholih menjadi faktor masuk surga. Alloh l berfirman :
« وَنُودُواْ أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوْهَا بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ ‏»
“ … mereka dipanggil seraya dikatakan : “Inilah surga yang diwariskan kepadamu sebagai imbalan amal-amalmu.” (Al-A´râf [7] : 43)
 Maka sejauh mana komitmenmu kepada perintah-perintah Alloh l serta menghindari maksiat kepada Alloh l setingkat itu pula keselamatanmu dari azab Alloh pada hari kiamat. 
 Imam Bukhôrî v berkata : “Wahb bin Munabbih pernah ditanya : “Bukankah kunci surga kalimah “Lâ Ilâha illâ -llôh”? Lantas dia menjawab : “Benar, namun kunci yang memenuhi syarat hanya yang bergigi, jika kamu punya kunci bergigi dibuka, jika tidak, tidak dibuka”.  
 Harus Anda ketahui bahwa sikap membangkang dengan kata lain meninggalkan perintah, dosanya lebih besar daripada melakukan perbuatan yang dilarang.
 Sahl bin bin Abdillâh v berkata : “Meninggalkan perintah Alloh lebih berat dosanya daripada melakukan perbuatan yang dilarang, pasalnya Âdam q dilarang makan buah pohon, lalu ia memakannya lantas Alloh mengampuninya serta menerima taubatnya, sementara iblis diperintah untuk sujud lalu tidak mau sujud maka Alloh l tidak mengampuninya”.  

• Sesungguhnya dosa lantaran menerjang larangan pemicu utamanya adalah syawat dan terdesak oleh kebutuhan, sedangkan dosa meninggalkan perintah umumnya pemicu utamanya adalah kesombongan dan sok besar, padahal tidak akan masuk surga siapapun di hatinya ada kesombongan meski seberat atom. Barangsiapa mati dalam kondisi bertauhid, masih ada harapan masuk surga meski dia pernah berzina dan mencuri.  
• Sungguh meninggalkan perintah, katakanlah sholat, berarti telah keluar dari wilayah penghambakan diri kepada Alloh l menuju wilayah bukan menghambakan diri kepada Alloh l . Barangsiapa mengatakan : “Saya bebas”, atau merasa bahwa dirinya punya porsi dan tempat di samping perintah Alloh, berarti dia telah menghambakan diri kepada hawa nafsunya. Sesuai firman-Nya :
« أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ‏ »
“Tahukah kamu orang yang menjadikan hawa nafsunya (keinginannya)
 sebagai Ilâhnya …” (Al-Furqôn [25] : 43) 
 Sementara dalam hadits disinyalir : 
« تَعَسَ عَبْدُ الدِّرْهَمِ الدِّيْنَارِ» 
“Celakalah hamba dirham dan hamba dinar.”  

• Sesungguhnya melaksanakan perintah lebih dicintai Alloh l daripa meninggalkan larangan sebagaimana disinyalir beberapa nash di antaranya sabda Rosûlulloh n : 
« أَحَبُّ الْأعْمَالِ إِلَى اللهِ الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا»
“Amal yang paling dicintai Alloh adalah sholat pada awal waktunya.”  
   
« وَاعْلَمُوْا أَنَّ خَيْرَ أَعْمَالِكُمُ الصَّلَاةُ »
“Dan ketahuilah bahwa sebaik-baik amalmu adalah sholat.”  

• Sesungguhnya melaksanakan perintah (katakanlah sholat, puasa dan haji) sebagai indikasi hidup, menu, hiasan, kemulyaan, kelezatan dan kenikmatan bagi hati nurani, sedangkan meninggalkan hal-hal yang dilarang tanpa disertai melaksanakan perintah tidak akan terealisir sedikitpun. Sekiranya seluruh larangan ditinggalkan, sementara iman dan amal yang diperintahkan belum dimiliki, maka meninggalkan larangan yang telah dilakukan sama sekali tak bermanfaat dan tetap saja ia kekal di neraka .  

• Sesungguhnya luputnya amalan-amalan yang diperintahkan pasti menimbulkan bencana dan celaka yang tiada habis-habisnya, pasalnya orang yang meninggalkan sholat dengan sengaja, maka luputnya sholat lantaran waktunya telah berlalu, sementara waktu yang ada sudah menjadi milik sholat berikutnya. Sedangkan orang yang meninggalkan sholat sekali saja, Alloh l tidak menjamin keselamatannya.  

  Rosûlulloh n bersabda : 
 « مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ بِغَيْرِ عُذْرٍ ، لَمْ يَقْضِهِ صِيَامَ الدَّهْرِ كُلِّهِ وَإِنْ صَامَهُ»
“Barangsiapa membatalkan puasa Romadhôn sehari saja tanpa alasan, berarti tidak menyempurnakan puasa Romadhôn itu meskipun ia telah mengqodho´nya.”  

 Mengapa puasanya tidak dianggap sempurna padahal ia telah mengqodho´nya? Sebab mustahil ia bisa bertemu kembali dengan waktu yang telah berlalu, meski telah mengqodho´ hari saat ia membatalkannya tahun itu juga. Dalam pada itu ia telah kehilangan kebaikan yang tiada taranya.
 Sungguh keharmonisan haram atas orang yang mengabaikan satu saja dari sholat fardhu. Lantas bagaimana dengan orang yang meninggalkan sholat fardhu keseluruhan. Dia akan hidup dalam suasana gelap, melancholis, sempit, susah dan sedih, meski dia menyatakan dirinya bahagia. Alloh l berfirman :  
« وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا »
“Barangsiapa berpaling dari hukum (syariát)-Ku, maka baginya kehidupan yang sangat sempit.” (Thôhâ [20] : 124) 
 Dzikir yang tiada tara nilainya adalah sholat, sebab ia sebagai faktor timbulnya kebahagiaan rohani, media pendekatan kepada Alloh l paling enjoy, merengek-rengek di hadapan-Nya, melepas kesedihan serta kesusahan dan memohon kebaikan dunia serta akhirat berdasarkan firman-Nya : 

« وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِيْ »
“ …tegakkanlah sholat dalam rangka dzikir kepada-Ku.” (Thôhâ [20] : 14) 

« أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ »
“ …Ingatlah bahwa hanya melalui dzikir kepada Alloh hati menjadi tentram.” (Ar-Ro´d [13] : 28) 

 Sungguh meninggalkan sholat dan mengabaikannya sebagai indikasi kelemahan iman dan faktor penyebab masuk neraka pada hari Kiamat kelak, sebab Alloh l telah berfirman : 

« كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ * إِلَّا أَصْحَابَ الْيَمِينِ * فِي جَنَّاتٍ يَتَسَاءلُونَ
* عَنِ الْمُجْرِمِينَ * مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ * قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ
الْمُصَلِّينَ » 
“Masing-masing pribadi tergadai dengan amal usahanya. Kecuali orang-orang beruntung lagi beriman. Mereka berada di taman-taman seraya saling bertanya tentang orang-orang berdosa (di neraka). Mereka bertanya : “Apa yang membuatmu masuk jahanam yang membakarmu?”. Lantas mereka menjawab : “Di dunia dulu kami tidak melaksanakan sholat untuk cari muka Alloh.” (Al-Muddatstsir [74] : 38-43)

 Rasanya pelajaran ini cukup membuatmu lari terbirit-birit untuk tidak pernah coba-coba meninggalkan sholat atau mengabaikannya, pasalnya orang-orang yang gemar meninggalkan sholat diklaim sebagai orang-orang berdosa, cukuplah pelajaran ini memicu dirimu untuk senantiasa gemar menegakkan sholat, sebab melalui sholat Alloh akan menghapuskan kejelekan kita, mengangkat derajat kita dan memberikan pahala kepada kita senilai pahala orang-orang berjuang di jalan Alloh l .  
 Rosûlulloh n bersabda :

«أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِمَا يَمْحُو اللّهُ بِهِ الْخَطَايَا وَيَرْفَعُ بِهِ الدّرَجَاتِ إسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ وَكَثْرَةُ الْخُطَا إلَى الْمَسَاجِدِ وَانْتِظَارُ الصّلاَةِ بَعْدَ الصّلاَةِ فَذَلِكُمُ الرّبَاطُ فَذَلِكُمُ الرّبَاطُ فَذَلِكُمُ الرّبَاطُ»
“Maukah aku beritahukan kepadamu beberapa hal di mana Alloh menghapuskan kesalahan dan mengangkat derajat dengannya : menyempurnakan wudhu meski dalam kondisi sulit, memperbanyak langkah menuju masjid dan menunggu datangnya waktu sholat dengan sholat (nawâfil), itulah perjuangan mempertahankan Islam dari musuh-musuh Alloh l 3x .”  
« اَلصَّلَوَاتُ الخَمْسُ وَ الْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَ رَمَضَانُ إِلَى رَمََضَانَ مُكَفِّرَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبْتَ الْكَبَائِرَ »
“Lima sholat fardhu, dari ibadah jum´at satu ke ibadah jum´at berikutnya dan dari puasa Romadhôn ke puasa Romadhôn berikutnya bisa menghapuskan dosa-dosa (kecil) di sela-sela itu, jika kamu tidak melakukan dosa besar .”  
 Kaum muslimin tidak berselisih bahwa meninggalkan sholat fardhu dengan sengaja merupakan kesalahan fatal dan dosa besar, sedangkan dosa tersebut lebih besar daripada dosa pembunuhan, mengambil harta bukan haknya, zina, mencuri, minum arak dan secara sengaja menerjang sanksi (azab), murka dan kehinaan di dunia-akhirat.
 Sholat adalah amalan seorang hamba yang pertama kali dihisab pada hari kiamat dengan syarat menyempurnakan wudhunya, ruku´nya, sujudnya, khusyu´nya, semua aspeknya dan diperhatikan seluruh gerakannya secara tepat. Jika tidak demikian berarti secara sengaja menerjang sanksi (azab) dan murka Alloh l . Pasalnya Rosûlulloh n bersabda :
«أَوّلُ مَا يُحَاسِبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الصَّلاَةُ المَكْتُوْبَةُ فَإنْ أَتَمَّهَا وَإلاّ قِيْلَ : انْظُرُوا هَلْ لَهُ مِنْ تَطَوّعٍ ؟ فَإنْ كَانَ لَهُ تَطَوّعٌ أُكْمِلَتِ الْفَرِيْضَةُ مِنْ تَطَوُّعِهِ ، ثُمَّ يُفْعَلُ بِسَائِرِ الْأَعْمَالِ الْمَفْرُوْضَةِ مِثْلَ ذَلِكَ »‏
“Amal seorang hamba yang pertama kali dihisab pada hari Kiamat adalah sholat fardhu jika menyempurnakannya (memenuhi syarat – rukunnya). Jika tidak, maka Alloh berkata kepada Malaikat : “Coba periksa apakah dia memiliki amalan tathowwu´? Jika dia memiliki amalan tathowwu´yang bisa diandalkan, maka kekurangan amalan fardhunya disempurnakan dengan tathowwu´nya, kemudian seluruh amalan fardhunya diberlakukan seperti itu.”  
 Jika kamu termasuk orang yang menegakkan sholat, mohonlah kepada Alloh Yang Maha Tinggi lagi Maha Kuasa agar berkenan menambah gemar kepadamu untuk melaksanakan sholat, namun jika kamu termasuik orang yang meninggalkannya dan mengabaikannya, semoga Alloh melapangkan hatimu menerima kebenaran dan memberi taufik kepadamu agar sanggup melaksanakan sholat secara sempurna … amien.

• Menjaga istri dan mengorbankan jiwa untuk memilihara harga diri dan kehormatan istrinya. Oleh karena itu Islam mewajibkan suami agar menjaga kehormatan istrinya sekalipun nyawa menjadi taruhannya. Jika terbunuh dalam rangka menjaga serta memelihara harga diri sang istri niscaya memperoleh syahidnya berdasarkan hadits : 
« مَنْ قُتِلَ دُونَ أَهْلِهِ فَهُوَ شَهِيدٌٌ »
“Barangsiapa terbunuh demi menjaga kehormatan istrinya, niscaya ia wafat dalam keadaan syahid.”  

• Suami tidak membeberkan rahasia istrinya terutama mengenai emosi dan seksualnya, sebab Rosûlulloh n telah melarang hal itu :  

« إِنَّ شَرَّ النَّاسِ عِنْدَ اللَّهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ الرَّجُلُ يُفْضِيْ إِلَى الْمَرْأَةِ وَتُفْضِيْ إِلَيْهِ ثُمَّ يَنْشُرُ سِرُّهَا‏»

“Sesungguhnya seburuk-buruk martabat manusia di sisi Alloh pada hari Kiamat adalah laki-laki yang membeberkan rahasia istrinya dan perempuan yang membeberkan rahasia suaminya, akhirnya tersebarlah apa yang terjadi antara suami-istri rahasianya.”  

• Suami tidak memaki istrinya atau keluarganya dan tidak memukul tanpa sebab lebih-lebih wajahnya, padahal mereka (para suami) telah dikaruniai hihadayah oleh Alloh l . Manakala masuk rumahnya membuat istrinya resah, ketakutan, gemetar seakan-akan kehadiran malaikat pencabut nyawa, wajahnya cemberut, muram-durja, memerintah serta melarang dan membentak dengan suara lantang hingga pembaca terkejut serta terhenti dari bacaannya. Dalam pada itu Nabi n bersabda : 

« مَنْ لا يَرْحَمُ لَا يَرْحَمُهُ اللهُ »
“Barangsiapa yang tidak mengasihi niscaya Alloh tidak mengasihinya.”  


« إِنَّ شَرَّ النَّاسِ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ فَرِقَهُ النَّاسُ اتِّقَاءَ فَحْشِهِ »
“Sesungguhnya sejahat-jahat manusia di sisi Alloh pada hari Kiamat adalah orang yang ditakuti manusia karena mengkhawatirkan kekejiannya.”  

• Menjaga kehormatannya dengan memenuhi kebutuhan seksualnya minimal setiap saat sucinya sekali, sebagaimana disinyalir Ibnu Hazm v : “Suami wajib menyetubuhi istrinya minimal sekali saat sucinya jika sanggup, jika tidak, berarti maksiat kepada Alloh l”. Dalilnya firman Alloh l :

« فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ»
“…jika mereka (istri-istri) dalam kondisi suci, maka datangilah mereka sebagaimana Alloh telah perintahkan kepadamu…” (Al-Baqoroh [2] : 222)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan berikan nasehat anda :