Jumat, 17 April 2009

Rumah Tangga yang harmonis mau nggak...???


INDIKASI WANITA CINTA SUAMI
 
 Ciri khas wanita adalah peranan emosi. Apabila wanita mencintai suaminya, apapun yang diperbuat serta sikapnya mencerminkan cintanya, hal itu nampak sekali dalam prilakunya dan bicaranya. Indikasi kecintaan wanita terhadap suaminya yang terpenting adalah :  
1) Ia begitu gemar memperelok, mempercantik dan berhias diri.
2) Sering menyebut-nyebut suami, namanya dan bangga di hadapan orang lain.
3) Taat, tunduk, berupaya menyelaraskan apapun, di manapun dan kapanpun kepada suami.  
4) Selalu mencemburukan suami terhadap wanita lain.
5) Selalu konsentrasidan mengkhawatirkan suaminya dalam derita.
6) Ia sangat menyukai kecemburuan suami akan dirinya, sebab itu merupakan pertanda kecintaan, kekhawatiran dan antosiasnya suami kepadanya.
7) Orang yang jatuh cinta berusaha menggembirakan kekasihnya, sedangkan istri yang jatuh cinta amat menghormati, melayani dan menyajikan apapun yang digemari dan disenangi suami.
8) Istri yang jatuh cinta kepada suami sangat mudah mempercayai suami daripada yang lain.
9) Kecintaannya amat tulus dan tak pernah terpikir di benaknya untuk mengkhiyanati.
10) Dia lebih mengutamakan mengalah kepada kekasihnya saat ia menganiaya dirinya.
11) Jika istri lebih rendah status daripada suaminya, biasanya suami berusaha mengangkat istrinya hingga sejajar dengannya. Adapun jika suami yang lebih rendah status daripada istrinya, maka istri yang jatuh cinta cenderung menurunkan statusnya hingga sejajar suaminya, ia tak pernah merasa dirinya lebih utama daripada suaminya. Sudah semestinya istri yang mendambakan kebahagiaan bersama suami, merendahkan diri di hadapan suami dalam segala hal.  

INDIKASI PRIA CINTA ISTRI

  Lelaki jauh berbeda dengan perempuan. Lelaki lebih sedikit peran emosinya daripada perempuan, dengan kata lain, lelaki lebih mampu mengontrol emosinya daripada perempuan, dia lebih sedikit menampakkan peran emosinya, pola pikirnya dan konsepnya dibanding perempuan. Maka melalui prilakunya, sang istri rasanya sulit mendeteksi indikasi kecintaan suaminya, terkadang suami menampilkan kebencian dihadapan istrinya padahal sebenarnya dia intim, memberikan hak dan tidak menzholimi istrinya. Terkadang suami bohong, sesekali dia menyatakan cintanya dan sesekali ia menyatakan tidak butuh kepadanya. Oleh karenanya sering kita dengar wanita dikejutkan dengan pernyataan cerai suaminya atau mau dinikahi si Fulan, seraya mengatakan : “Dia mencintai aku; sehari atau dua hari sebelumnya dia masih membelikan aku ini dan itu; dia masih mengantarku kerumah keluargaku dengan sikap baik lagi lembut terhadapku dan keluargaku, mengapa tiba-tiba dia mengatakan kata-kata cerai padaku”.  
 Padahal sama sekali dia tidak bergeser dari cinta menuju perceraian, namun itulah sikap kontrol serta menguasai diri. Tampilan suami sholih manakala ia mendapatkan peluang tepat guna mewujudkan program serta konsep yang telah lama dicanangkan, otomatis hasil serta dampak apa yang telah dicanangkan sepenuhnya itu lahirkan secara spontan, lantaran faktor tidak adanya sikap saling terbuka dan sharing dari hati ke hati antara suami-istri hingga diketahui suka duka antara satu sama lain. Itulah yang memicu timbulnya tekanan batin, sementara tekanan batin sebagai bom waktu yang siap meledak kapan saja. 
 Makanya istri jangan begitu sensitif terhadap pujian atau sikap suami hingga tidak tertipu atau berharap dan terlalu berlebihan atau menyia-nyiakan hak-hak serta menghormati suami, tapi hendaklah ia amat berharap memberikan haknya secara proporsional apapun situasinya. Jangan sampai istri memarahinya padahal ia menampilkan cintanya, apresiasinya dan bersikap hormat kepada istri. Pasalnya manakala istri tidak merespon secara proporsional, pasti dia juga bersikap demikian, bahkan boleh jadi cintanya memudar atau memang sengaja memusnahkan sisa-sisa cintanya jika istri sering menyia-nyiakannya.
  Pernah ada seorang istri menyesalkan sikapnya terhadap suaminya lantaran faktor tersebut. Ia telah menikah dengan seorang pria yang sudah beristri, lalu ia menyadari bahwa suaminya sangat mencintainya dan mempergaulinya dengan sangat baik, kemudian menceraikan istri pertamanya, maka ia (istri kedua) menyangka perceraian itu faktor penyebabnya adalah dirinya hingga ia merasa tentram karena suaminya sangat mencintainya dan tidak bisa hidup tanpa dirinya, itu sering diungkapkannya berkali-kali. Dalam pada itu ia mulai mengurangi hak-haknya, hari demi hari ia menyia-nyiakannya hingga diketahui keluarga suaminya padahal kesalahannya menumpuk dan sering menyia-nyiakan suami. Tak ada jalan lain buat suaminya kecuali harus menceraikannya.


KEHARMONISAN SUAMI-ISTRI

 Keharmonisan adalah dambaan antara suami-istri, namun sedikit sekali mereka yang bisa mencapainya, faktor utamanya, mereka belum merumuskan sejak awal apa hakikat keharmonisan suiami-istri. Di samping itu mereka belum merumuskan sarana apa yang diperlukan dalam rangka menggapainya, selain mereka belum maksimal mencurahkan energinya untuk itu. Apakah gerangan keharmonisan suami-istri dan jalan mana yang harus ditempuh untuk sampai ke sana?
 Keharmonisan suami-istri merupakan kepuasan, intim, saling pengertian dan saling menolong antara suami-istri dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan prioritas hidup dan kehidupan meski tidak berati terbebas dari problem-problem kecil.
 Sebetulnya keharmonisan suami-istri timbul dari diri masing-masing suami istri, barang siapa mampu menciptakan suasana harmonis sebelum pernikahan, tentu akan memperoleh banyak keharmonisan setelah menikah, begitu sebaliknya, tidak harmonis sebelum pernikahan, begitu juga sesudah pernikahan lebih tidak harmonis dan menderita saat menghadapi tanggungjawab dan problematika.
 “Mengapa kehidupan suami-istri dimulai dengan keharmonisan, perencanaan matang, mencanangkan masa depan penuh gemilang dan hati yang sarat dengan kasih-sayang, padahal baru berjalan sesaat saja perencanaan yang begitu matang tiba-tiba berubah menjadi penderitaan, dari keharmonisan tiba-tiba menjadi mala petaka, dari pencanangan masa depan penuh gemilang tiba-tiba menjadi kusut lagi carut marut, dari manisnya cinta tiba-tiba menjadi pahit-getir dan dari mendambakan rumah tangga yang tentram penuh keindahan, ternyata punahlah semua harapan dan seluruh gagasan”.  


Harmonis dan petaka ada pada suami-istri 

 Keharmonisan bukanlah hal jauh dan sulit digapai, sebagaimana halnya petaka bukanlah hal yang mesti terjadi, namun timbulnya keharmonisan dan petaka serba mungkin, itu artinya masing-masing suami-istrilah yang paling bertanggungjawab atas semua faktor penyebab keharmonisan sekaligus mala petaka. Namun sikap bijaknya timbul ketika memunculkan faktor-faktor keharmonisan, mengembangkannya dan memurnikannya, sehingga semua faktor petaka dalam diri mereka masing-masing bisa ditekan dan diminimalisir.
 Pada hakikatnya surga bukan di dunia ini, tapi keharmonisan suami-istri yang bertumpu pada norma-norma Islam, akhlak, puas, menirima karunia Alloh yang ada dan kesabaran, merupakan titik awal bagi hakikat keharmonisan di surga.
 Bahwa sikap jujur kepada Alloh k dan niat menghindari petaka sebenarnya bisa mengubah kondisi rumahtangga dari penderitaan bukan kepalang menuju surga dunia kecil yang nikmat buat seluruh anggota keluarga.
 Kisah nyata membuktikan betapa persoalan sederhana, tidak seperti yang diduga orang, di mana seorang pergi menemui salaah seorang alim muslim lagi sholih seraya mengadukan kondisinya : “Sungguh saya benci suamiku, aku bertekad untuk minta cerai dan aku berharap agar bala dan derita menimpanya siang-malam”. Lalu seorang alim itu berkata kepadanya : “Aku sarankan kepada agar Anda dalam situasi seperti ini mau memulai menampakkan kecintaan dan sensasi kepadanya sehingga dirinya merasa tidak mampu hidup tanpa dirimu, ketika itulah Anda bersegera minta cerai. Ini kiat paling tepat untuk membikin dia mendferita”.
 Setelah beberapa bulan ia kembali lagi kepada orang alim itu seraya memberitahukan bahwa sarannya telah ia lakukan lalu dia menceraikannya sambil tersenyum dan mengatakan : “Baiklah, sudah tiba saat Anda minta cerai”. Lalu seorang itu menjerit sebagai isyarat menolak seraya berkata dalam hati : “Cerai? Tidak … padahal aku telah benar-benar mencintainya”. 
 Apa yang dialami oleh seluruh pasangan suami-istri seandainya mereka mau menampakkan keharmonisan kasih-sayangnya, sensasinya, kelembutannya dan lainsebagainya. Sebenarnya persoalannya ada pada dirinya sendiri?  
 Alangkah indahnya jika pasangan suami-istri mau berbicara dari hati ke hati secara baik, bertutur kata tulus dan melalui ungkapan yang pantas? Seorang bijak Mesir mengatakan : “Apabila kamu hendak berbicara, perindahlah tutur katamu, perbaikilah retorikamu laksana penguntai butir-butir mutiara dan perangkai kuntum-kuntum bunga”.
 Sungguh keharmonisan antara suami-istri hanya eksis melalui pernikahan menurut syariat Islam dan dalam naungan ajaran Islam yang mengatur hubungan antara suami-istri dengan memenuhi hak serta kewajiban; dengan menghasung agar masing-masing suam-istri menunaikan kewajiban antara satu sama lain.
 Sungguh hal-hal prioritas yang paling mendesak bagi kesuksesaan kehidupan suami-istri adalah : keluhuran, keikhlasan, menjaga kehormatan dan kesucian. Sementara kesemuanya itu tidak akan terwujud kecuali dengan komitmen kepada ajaran-ajaran Islam yang mampu menjamin keharmonisan di dunia dan akhirat. Keharmonisan seperti ini telah diaplikasikan oleh salafush -shôlih (orang-orang sholih terdahulu), mereka itu orang-orang komit kepada Islam baik ucapan maupun perbuatan. Yang pernah dicontohkan mereka lain : 
 Marwadzî berkata : “Saya pernah mendengar Abu ´Abdillah yakni Ahmad bin Hambal yang menyebut keluarganya. Makanya dia berusaha maksimal untuk mengasihi keluarganya seraya berkata : “Kami hidup bersama istri selama 20 tahun tak pernah cekcok meski hanya sepatah katapun”. 
 Contoh lain : Ketika Sya´bî bertemu Syarîh seorang hakim terkenal, maka Sya´bî bertanya tentang keadaannya dalam rumahtangga, maka dia menjawab : “Selama 20 tahun saya tak pernah memarahi istriku”. Lalu Sya´bî menanggapi dengan bertanya : “Bagaimana bisa seperti itu?”.
 Syarîh menjawab : “Mulai awal malam saya masuk kamar istri saya, saya melihatnya tampak menarik, mempesona dan cantik sekali. Saya bertanya pada diri saya sendiri : “Saya hendak bersuci lalu sholat dua rakaat sebagai rasa syukur kepada Alloh, ketika saya mengucapkan salam untuk mengakhiri sholat, saya mendapati istri sholat sebagaimana saya sholat dan bersalam sebagaimana saya bersalam. Ketika situasi rumah sepi tak ada siapapun, saya berdiri di sisinya sambil mengulurkan tangan kepadanya, lalu ia berkata : “Sabar dulu (sebentar ya) wahai Abû Umayyah”. Kemudian ia berkata : “Segala puji bagi Alloh, aku memuji-Nya, minta tolong kepada-Nya dan bersholawat kepada Nabi serta keluarganya. Sungguh aku wanita sama sekali belum mengerti bagaimana bersikap terhadap Anda, oleh karena itu jelaskanlah apa yang paling Anda sukai niscaya akan aku penuhi dan apa yang paling Anda benci niscaya akan aku hindari”. Ia (istriku) juga berkata : “Sungguh ada di antara kaummu yang menginginkan agar Anda menikahkannya dengan putrimu, sedangkan pada kaumku ada beberapa lelaki menurutku sekufu denganku, tapi semuanya terserah Alloh, sementara Anda punya kebijakan, makanya lakukanlah alternatif sesuai perintah Alloh kepadamu yaitu : ambillah olehmu secara ma´rûf atau lepaskanlah dengan cara ihsân (proporsional), demikian yang aku katakan, semoga Alloh mengampuniku dan Anda”.  
 Syarîh berkata : “ Demi Alloh, wahai Sya´bî, ia (istriku) membuatku angkat bicara ketika itu : “Segala puji bagi Alloh, aku memuji-Nya, minta tolong kepada-Nya dan bersholawat kepada Nabi serta keluarganya. Sungguh kamu telah mengatakan sesuatu. Apa yang kamu maukan, itulah yang kamu dapatkan, tapi jika kamu mengada-ada, maka itu sebagai argumen yang antagonis terhadapa dirimu sendiri. Aku menyukai ini dan itu serta membenci ini dan itu; apa yang aku pandang baik sebarkanlah dan apa yang aku pandang buruk rahasiakanlah”. Lalu dia bertanya : “Apakah Anda suka jika aku bertandang ke rumah keluargaku?”, lalu aku menjawab : “Aku ingin dibikin senang oleh ipar-iparku”. Lalu ia bertanya lagi : “Siapa tetangga yang Anda izinkan memasuki rumahmu, maka aku akan mengizinkannya dan siapaka yang tidak Anda izinkan maka aku tidak mengizinkannya?”. Lalu aku menjawab : “Yang aku izinkan putra-putra Fulan yang sholih dan yang tidak aku izinkan, putra-putra Fulan yang tidak sholih”.  
 Syarîh berkata : “Aku bermalam bersama istriku dengan suasana happy dan hidup bersamanya setahun lamanya tak ada kesan selain saling kasih sayang. Ketika di penghujung tahun saat aku datang usai rapat, tiba-tiba di rumah ada seorang wanita lain, lalu aku bertanya kepadanya : “Siapa dia?”, dia menjawab : “Ibu mertuamu”. Lalu ia mendekatiku sambil berbisik : “Bagaimana pendapatmu tentang istrimu?”, aku menjawab : “Istri yang baik”. Lalu dia berkata : “Hai Abû Umayyah, sungguh wanita itu tidak jelek amat kecuali sesudah 2 tahun, bila ia sudah melahirkan anak dan menimang anak suami, ketika itu lelaki merasakan betapa buruknya wanita, oleh karena itu terserah bagaimana Anda mengajari dan mendidik diri ini”. 
 Syarîh berkata : “Istriku tinggal bersamaku selama 20 tahun tak pernah aku mencelanya sedikitpun, kecuali sekali, itupun merasa betapa aku telah menzholiminya”.  
 Contoh lain : “Konon seorang lelaki Quraisy yang kaya lagi dermawan, namun bengis dan jahat ketika marah, hampir-hampir tak ada perempuan yang ia nikahi kecuali minta cerai lantaran bengisnya. Suatu ketika dia melamar wanita Quraisy yang paling disegani, sedangkan wanita itu telah memaklumi karakter bengisanya dan kasarnya. Di saat pria ini memberikan maharnya secara sembunyi, dia mengatakan kepada wanita itu : “Hai tentu kamu memaklumi karakter yang ada padaku, sekiranya kamu bisa menerima dengan hormat dan hati lapang, syukur jika kamu bisa bersabar, jika tidak toh saya sudah mengatakan hal ini kepadamu secara jujur”. Lantaran yakin dirinya sanggup mengupayakan keharmonisan, maka ia merespon lelaki itu : “Aku lebih buruk dari kamu”, lalu lelaki itu menyetubuhinya. Selama hidup berumahtangga tak sepatah kata menyakitkan terlontar dari ucapan pasangan tersebut hingga dipisahkan oleh kematian. Camkanlah bagaimana di antara pasangan suami-istri tersebut bisa mendambakan terciptanya keharmonisan. Inilah kehidupan yang membuahkan keteladanan gemilang.  
 Dari hasil wawancara dengan doktor Mushthofâ Abû Sa´d imam masjid Torino Italia, majalah “An-Nûr” mempublikasikan tanggapan doktor Mushthofâ terhadap pertanyaan yang diajukan : “Apakah benar bahwa pria Italia memeluk Islam lantaran menikahi wanita muslimah?”. Maka beliau menjawab : “Benar khususnya wanita-wanita muslimah asal Mghribî, umumnya mereka merasakan bahagia bersama wanita muslimah Mghribî, bukan dengan wanita Italia (non Islam), hingga populer istilah dikalangan pria Italia yang menikahi wanita muslimah : “Kita belum pernah merasakan surga dunia kecuali setelah menikahi wanita-wanita muslimah”. Pria-pria Italia sering mengungkapkan bahwa masuk rumah yang dihuni wanita muslimah menentramkan rohani dan menenangkan hati. Mereka tidak kerasan bersama wanita Italia lantaran sering keluar rumah.  
 Ada lagi faktor yang menarik perhatian para pria Italia kepada Islam yakni diperhatikannya kedudukan perempuan dalam Islam, keikhlasan hidup antara suami-istri dan haramnya khiyanat dalam kehidupan suami-istri, hal ini tentu membuat wanita bahagia dan enjoy, pasalnya yang sering dikeluhkan para wanita adalah prilaku khiyanat yang dilakukan suami mereka.  


PERSEPSI MEREKA TENTANG  
KEHARMONISAN SUAMI-ISTRI

Keharmonisan hidup antara suami-istri :
 Laksana tanaman bermanfaat yang tumbuh setelah pengolahan tanah, irigasi dan perawatan.
 Tidak berarti bebas perselisihan, yang penting kiat sukses menanggulanginya.
 Kepuasan sang istri dan kesabaran sang suami.
 Seperti layaknya kesehatan, tidak disadari betapa nilainya kecuali oleh orang-orang yang sudah menderita sakit.
 Ekivalen dengan istri sholihah dengan missi kehidupan mempersiapkan dirinya dengan kualifikasi dan ketrampilan menjamin keharmonisan suaminya.
 Ekivalen dengan istri yang sanggup menciptakan nuansa rumahtangga sebagai surga yang akrab dengan hati suaminya dan putra-putrinya.
 Pengorbanan suami-istri guna mewujudkan keselarasan dalam kecenderungan, kebijakan, cita-rasa dan keinginan. Sebagai keharmonisan paling realistis lantaran keduanya mempunyai basis yang sama; terutama kecenderungan dan keinginan.
 Saling menerima segala kekurangan antara suami-istri.
 Interaksi antara suami-istri secara proporsional dan saling menguntungkan. Sementara istri laksana nyala api, manakala suami mengerti cara memegang secara benar, ia menerangi jalan, jika tidak niscaya kedua tangannya terbakar.  
 Yang paling indah pada istri sholihah dan yang membuat Anda merasakan keharmonisan rumah tangga adalah kemampuan istri menciptakan rasa cinta dalam sanubari suami terhadap yang halal dan rasa benci dalam sanubari suami terhadap yang haram.
 Tempuhlah akhir duniamu bersama dirimu dan tempuhlah puncak kesabaranmu bersama istrimu.
 Bukan ekivalen dengan kebijakan paling istimewa dalam mewujudkan keharmonisan antara suami-istri.  
 Musuh keharmonisan suami-istri adalah kritik tajam (pedas) berulang-ulang dan ngawur.
 Kebanggaan bukanlah seringnya komunikasi wanita sebelum pernikahan, namun suksesnya seorang istri mewujudkan keharmonisan suami-istri setelah pernikahan.
 Sungguh kehalusan dan kelemah lembutan adalah keindahan wanita, dengan itu pula wanita mampu menjinakkan betapapun bengisnya seorang pria, sebaliknya marah, bringas, provokasi menyulap lelaki yang jinak menjadi setan licik.  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan berikan nasehat anda :