Jumat, 17 April 2009

Haruskah mandi setelah malam pengantin?


HUKUM MANDI 

  Mandi artinya mengguyur seluruh badan dengan air, yang disyariatkan sesuai firman Alloh l : 

« وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُواْ »
“… jika kamu dalam kondisi junub maka bersucilah (mandilah) seluruh
 badan …” (Al-Mâidah [5] : 6)  

 Mandi hukumnya wajib atas laki-laki dan perempuan lantaran keluarnya sperma dengan syahwat, atau tanpa syahwat, atau tidur, atau masuknya kepala penis pada vagina sang istri meski tidak keluar sperma, atau setelah haidh, atau nifas.
 Dari Ummi salamah s berkata : “Telah datang Ummu Salîm kepada Rosûlulloh n lalu berkata : “Wahai Rosûlulloh sesungguhnya Alloh tidak malu dalam hal kebenaran, apakah wajib mandi atas perempuan lantaran mimpi?”. Lalu Rosûlulloh menjawab : “Ya jika Anda melihat indikasi basah”.  
 Mandi junub atau haidh atau nifas sama saja, sedangkan rukun-rukunnya yang terpenting adalah niat, membaca basmalah, berkumur, istinsyâq , dan membasahi seluruh badan dengan air, namun di antara imam madzab berbeda pendapat. 
 Yang perlu diperhatikan bahwa niat inilah yang membedakan antara ibadah dan aktifitas biasa, sedangkan niat semata-mata amalan hati, adapun yang sering dilakukan kebanyakan orang dengan melafalkan, maka hal itu termasuk mengada-ada serta bid´ah, harus dihindari.
 



 Misal niat yang biasa dilafalkan orang : 

« نَوَيْتُ رَفْعَ الْحَدَثِ الْأكْبَرِ وَ الْأصْغَرِ فِيْ كُلِّ شَعْرَةٍ مِنْ دَمِي تُحَلُّ وَ تُطَهَّرُ مِنَ الدَّمِ الْأحْمَرِ، اللهُ أكْبَرُ ، اللهُ أكْبَرُ »“Saya berniat menghilangkan hadats besar dan kecil dari setiap helai rambut dari darahku hingga terlepas dan suci dari darah merah, Alloh Maha Besar, Alloh Maha Besar”.  
 
  Itu adalah termasuk perbuatan bid´ah sama sekali tidak ada tuntunannya dalam Islam, sebab niat hanya dalam hati, sedangkan Nabi n : 
  « إنَّمَا الْأعْمَالُ بِالنِّيَاتِ ، وَ إنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى»
“Semua amalan mesti dengan niat dan setiap orang dinilai mkenurut niatnya …”  



Dua kriteria mandi  

1. Mujzi´ah : adalah mandi di mana seseorang berniat dalam hati, lalu mengguyurkan air seluruh badan, tak sedikitpun bagian badan tak terkena air, kriteria mandi demikian wajib hukumnya, tak ada pahala selain mandi tersebut. Yaitu membasuh kemaluan dengan air dan sabun, kemudian membasuh kedua tangan, lalu berwudhu seperti wudhu hendak sholat, kemudian mengguyurkan air ke seluruh badan, baik dengan cara berdiri di bawah shower atau pancuran maupun mengguyur dengan cara lain, yang penting mengguyurkan air seluruh badan. Seusai mandi junub diperbolehkan mencuci kepala dengan sampo dan badan dengan sabun.  
2. Kâmilah mustahabbah : yaitu mandi sebagaimana dilakukan Rosûlulloh n dengan kriteria yang akan disebut pada pasal berikut ini :

Cara mandi kâmilah mustahabbah : 

 Jika seorang muslim hendak mandi hendaklah mengucapkan basmalah, kemudian membasuh kedua tangan 2 kali atau 3 kali sebelum merendamnya dalam bejana, kemudian menuangkan air dengan tangan kanan atas tangan kiri, lalu membasuh kemaluan untuk menghilangkan najis, kemudian mengusapkan tangan kirinya ke tanah atau dinding dua kali atau tiga kali (atau membasuhnya dengan sabun guna menghilangkan bau tak sedap) hingga menjadi suci, kemudian membasuh kedua tangan tiga kali, berkumur, menghirup air melalui hidung serta menyemprotkannya kembali tiga kali, membasuh wajah serta kedua hasta tiga kali tanpa mengusap kepala, tapi memasukkan jari tangan ke dalam air, lalu menyela-nyelai pangkal rambut hingga membasahi kulit ari, kemudian menyiram kepala tiga ceduk dengan kedua telapak tangan, satu ceduk untuk bagian kanan kepala, satu ceduk lagi untuk bagian kiri kepala dan satu ceduk yang ketiga untuk seluruh kepala, kemudian menyiramkan air ke tubuh dengan sekali siraman mulai dari kanan, kemudian berpindah ke dua kaki.  

Mandi junub adalah amanat  
   
 Rosûlulloh n bersabda : 
›› ... أَدِّيْ الْأمَانَةَ َ‹‹
  “…Tunaikanlah amanat.” 

 Kemudian sahabat bertanya : “Wahai Rosûlulloh, apa yang dimaksud menunaikan amanat?”. Lalu beliau menjawab : 
« اَلْغُسْلُ مِنَ الْجَنَابَةِ ، إِنَّ اللهَ لَمْ يَأْمَنْ ابْنَ آدَمَ عَلَى شَيْءٍ مِنْ دِيْنِهِ غَيْرَهَا»
“Mandi junub, karena Alloh tidak mengamanatkan sesuatupun dari agama-Nya kepada anak Adam selain mandi junub.”  

 Menunda mandi junub  
   
 Menunda mandi junub diperbolehkan seperti halnya dibolehkannya tidur dan keluar untuk memenuhi kebutuhan, selama tidak menyia-nyiakan sholat fardhu, tapi menyegerakan lebih utama.
 Rosûlulloh n bersabda :
 
« اِسْتَقِيْمُوْا ، وَلَنْ تُحْصُوْا ، وَاعْلَمُوْا أنَّ خَيْرَ أعْمَالِكُمُ الصَّلَاةَ ، وَلَا يُحَافِظُ 
عَلَى الْوُضُوْءِ إلَا مُؤْمِنٌ »
“Konsistenlah kamu dalam kebenaran, janganlah menghitung-hitung (pahala konisten itu), ketahuilah bahwa semua kebaikan amalmu ada pada sholat dan tiada melestarikan wudhu´(lahir dan batin) kecuali orang yang sempurna imannya.”  

 Sekiraanya seorang yang junub hendak tidur, sebaiknya berwudhu terlebih dahulu dan mengurungkan mandinya sampai bangun tidur, adapun jika hendak makan atau minum, cukup membasuh (mencuci) kedua tangannya.
 ´Aisyah s meriwayatkan, bahwa Rosûlulloh n apabila hendak tidur sedangkan ia sedang junub, maka ia berwudhu dan manakala hendak makan, beliau membasuh kedua tangannya.  
 
Apakah sentuhan lelaki kepada perempuan membatalkan wudhu? 
  
 Tentang sentuhan pria kepada wanita lain ulama’ berbeda pendapat, apakah membatalkan wudhu atau tidak? Di antara mereka ada yang berpendapat membatalkan wudhu jika sentuhan disertai syahwat, sebagaimana pendapat madzhab Hambali. Di antara mereka ada yang berpendapat mutlak membatalkan wudhu seperti pendapat madzhab Syâfi´î. Di antara mereka ada yang berpendapat tidak membatalkan wudhu sebagaimana pendapat madzhab Hanafi.
 Ada hadits shohih yang menyatakan bahwa Rosûlulloh n : “Berwudhu kemudian berciuman dan melaksanakan sholat tanpa berwudhu lagi”. Syaikh Ibnu ´Utsaimîn v berkata : “Tidak ada dalam Kitab Alloh dan juga sunnah Rosûlulloh n dalil yang menunjukkan batalnya wudhu lantaran bersentuhan dengan kulit wanita, dengan demikian bersentuhan kulit dengan wanita secara langsung meski dengan syahwat, ciuman dan pelukan tidak membatalkan wudhu”, dengan syarat tidak sampai menyebabkan keluarnya madzi, jika keluar madzi, batallah wudhu tanpa reserve.  

Mani, madzi dan wadi 
   
 Mani adalah cairan putih kental keluar dari penis saat ejakulasi, maka keluarnya menyebabkan wajibnya mandi, sementara ulama´ berbeda pendapat mengenai kesuciannya, sebenarnya mani itu suici, diseyogyakan membasuhnya ketika masih basah dan menyikatnya atau menggosoknya atau mengeriknya jika telah mengering.
 Adapun madzi adalah cairan yang keluar dari penis atau vagina saat berahi, menurut ulama´ cairan ini najis, jika mengenai badan wajib dibasuh, adapun jika mengenai pakaian cukup dipercikkan air pada tempat yang terkena cairan tersebut, setelah madzi ini keluar dari kemaluan kemaluan wajib dibasuh, wudhu dan tidak wajib mandi.

 Adapun wadzi adalah air putih kental keluar dari penis sesudah air seni, wadzi merupakan kotoran dari prostat. Adapun tentang najisnya tidak diperselisihkan. Dalam pada itu penis wajib dibasuh, wudhu dan tidak wajib mandi.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan berikan nasehat anda :