Sabtu, 07 November 2009

Bagaimana Kaum Muslimin Yang Jatuh Sebagai Korban ? (11)

Bom Bali, JW Mariot dan Kuningan menimbulkan korban sipil di kalangan kaum muslimin. Demikianlah faktanya. Berangkat dari fakta ini, mayoritas kaum muslimin di Indonesia mengutuk dan menolak tragedi tersebut. Tokoh-tokoh masyarakat, pemerintahan dan organisasi Islam ramai menyatakan, operasi yang mengakibatkan jatuhnya beberapa kaum muslimin sebagai korban Islam tersebut haram, bertentangan dengan syariat Islam dan bukanlah sebuah operasi jihad.
Bagaimana nasib sebagian kaum muslimin yang jatuh sebagai korban menurut syariah Islam ? Apa pertanggung jawaban para pelaku operasi ?
Jawaban atas berbagai pertanyaan ini, akan diuraikan dalam beberapa poin berikut :

Human Error

[1]. Sebagaimana diakui oleh para pelaku ---atau orang-orang yang dikambing hitamkan ???---, jatuhnya sebagian kaum muslimin sebagai korban adalah sesuatu yang sama sekali tidak mereka kehendaki, di luar rencana dan kesengajaan mereka, murni human error. Kaum muslimin sama sekali bukanlah target operasi mereka. Pemilihan pusat-pusat perkumpulan orang-orang kafir asing (AS dan sekutunya) dan kantor-kantor strategis mereka sebagai target, menjadi bukti kuat bahwa target operasi adalah AS dan sekutu-sekutunya.
Sejak setahun sebelum bom Bali, tepatnya pasca tragedi WTC 11 September 2001 M, AS dan sekutu-sekutunya telah memberikan warning kepada seluruh warga negaranya, juga kepada pemerintah taghut RI, untuk mewaspadai kemungkinan serangan mujahidin. Dalam bom Bali, target yang dibidik adalah jelas, daerah maksiat yang dikhususkan untuk warga kafir asing (bahasa pariwisata : wisatawan manca negara). Operasi tentunya diadakan setelah diadakan survey lapangan yang cukup lama dan matang. Berdasar hasil survey lapangan, hampir tidak ada warga pribumi Indonesia di daerah tersebut pada jam yang direncanakan akan diadakan operasi. Menilik mayoritas warga Bali adalah umat Hindu, kemungkinan adanya orang Islam di daerah target operasi semakin kecil. Saat operasi dilaksanakan, fakta berbicara lain. Di sinilah letak human error, manusia membuat rencana, Allah Ta'ala yang menentukan hasilnya.
Belajar dari pengalaman di Bali, AS dan sekutu-sekutunya semakin sering memberikan travel warning kepada warga negaranya. Pengetatan sistem keamanan di setiap tempat-tempat strategis diadakan oleh pemerintah taghut RI. AS dan sekutu-sekutunya juga terlibat aktif dalam proses pengetatan keamanan, pelatihan anti teroris (baca ;anti mujahidin), pengejaran dan penangkapan mujahidin, dan seterusnya. Beberapa kali, kantor Kedubes dan Konjen mereka di Indonesia ditutup dengan alasan security. Mereka yakin, tempat-tempat strategis mereka sedang diincar oleh mujahidin.
Semua kejadian ini diekspos oleh media massa dan media elektronik secara luas dan besar-besaran, diketahui oleh seluruh bangsa Indonesia, baik kalangan terpelajar maupun awam, kalangan teokrat maupun rakyat, sipil maupun militer. Semua kejadian ini mestinya membuat kaum muslimin maupun warga kafir asing tersebut menjauhi tempat-tempat yang diduga akan menjadi target operasi mujahidin.
Namun ternyata semua kegiatan preventif dan warning tersebut tidak menggugah perhatian sebagian kaum muslimin dan warga kafir asing. Mereka tetap tidak peduli, acuh tak acuh dan kembali bercampur baur atau bekerja di lingkungan sekitar ---bahkan di dalam--- tempat-tempat yang diduga keras akan menjadi target operasi. Ketika akhirnya operasi pengeboman benar-benar terjadi, lagi-lagi mereka menjadi korban.
Tentu saja, pemerintahan taghut RI, AS dan sekutu-sekutunya memblow up secara besar-besaran jatuhnya beberapa gelintir umat Islam sebagai korban meninggal atau luka-luka. Lewat jaringan media massa dan elektronik yang semuanya berada dibawah kontrol mereka, pemerintah taghut RI menutup-nutupi latar belakang operasi, jumlah kerugian fisik, material dan non material yang diderita oleh pemerintah taghut RI, AS, dan sekutu-sekutunya.
Pemutar balikkan fakta dan pemberitaan secara tidak proporsional dalam skala luas ini, berhasil menarik simpati kaum muslimin Indonesia dan dunia internasional terhadap pemerintah taghut RI, AS dan sekutunya. Kaum muslimin Indonesia dan dunia internasional digiring kepada satu opini ; mengutuk operasi dan para pelakunya, serta menggalang dukungan dan kesepakatan bersama untuk memerangi teroris (baca : mujahidin).
Inilah pola yang selalu diulang-ulang (return pattern) oleh pemerintahan taghut RI, AS dan sekutu-sekutunya atas setiap operasi mujahidin. Pola yang sama, dilakukan oleh seluruh kekuatan kafir di seluruh dunia atas setiap operasi mujahidin. Di Arab Saudi, Iraq, Palestina, Afghanistan, Chechnya, Filipina, Thailand, dan negara-negara lain tempat operasi mujahidin.
Betul, dalam operasi-operasi ini beberapa gelintir umat Islam menjadi korban. Dan ini diakui oleh para pelaku, adalah sebuah human error, mereka beristighfar dan meminta maaf kepada para keluarga korban. Namun juga harus disadari, bahwa kerugian material dan non material yang dialami oleh pemerintahan taghut RI, AS dan sekutu-sekutunya jauh lebih besar, sekalipun fakta ini disembunyikan. Dan, sekalipun hal ini baru akan nampak, disadari dan dirasakan oleh kaum muslimin beberapa waktu mendatang.
Satu hal yang pasti, setiap orang yang sedikit mengerti peranan media massa dan elektronik dalam membentuk opini public, pasti akan mengerti bahwa sejatinya media massa dan elekktronik telah melakukan sebuah kejahatan yang besar ; pemutar balikkan fakta, pemberitaan yang tidak proporsional dan obyektif, pengabaian pemberitaan dari kedua belah pihak (both side) dan seterusnya. Bisa saja kalangan media beralasan dengan adanya tekanan pemerintah, akses informasi satu jalur yang diberikan oleh pemerintah, atau alasan-alasan lain. Namun satu hal yang pasti, orientasi industri dan bisnis media massa maupun elektronik telah mengalahkan unsur obyektifitas.
Kita tidak bisa menyalahkan media massa dan elektronik begitu saja, karena nyata-nyata mereka milik orang-orang kafir dan bekerja untuk kepentingan orang-orang kafir. Yang salah adalah kita, umat Islam, yang tidak mempunyai media massa dan elektronik indipenden dan obyektif, yang bekerja untuk kepentingan kaum muslimin. Yang salah adalah kita, umat Islam karena menerima segala informasi media kafir tersebut begitu saja tanpa reserve.
Jika Allah melarang umat Islam menerima berita dari seorang muslim yang fasik tanpa reserve, bukankah menerima berita media kafir tanpa reserve lebih dilarang lagi ? Allah Ta'ala berfirman :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِن جَآءَكُمْ فَاسِقُُ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَافَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
" Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu." (QS. Al-Hujurat : 6).

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ, يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ, وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ, وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ. قِيلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ ؟ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ.
Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam bersabda," Akan datang kepada manusia tahun-tahun penuh tipuan. Pada masa itu, orang yang berdusta justru dianggap orang jujur, dan orang yang jujur justru dianggap orang pendusta. Orang yang berkhianat diberi kepercayaan, dan orang yang bisa dipercaya justru dianggap berkhianat. Ruwaibidhah akan ramai berbicara."
Ditanyakan kepada beliau," Apa Ruwaibidhah itu ?" Beliau menjawab," Orang bodoh yang berbicara tentang persoalan umum (umat)."
Dalam riwayat imam Ahmad dari Anas bin Malik dengan lafal :

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ أَمَامَ الدَّجَّالِ سِنِينَ خَدَّاعَةً, يُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ, وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ, وَيَتَكَلَّمُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ. قِيلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ؟ قَالَ الْفُوَيْسِقُ يَتَكَلَّمُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ *
" Sebelum keluar Dajjal akan tahun-tahun penuh tipuan…Si fasik junior (sebuah ungkapan celaan dan penghinaan) berbicara tentang persoalan umum."


Hukum Tatarus Berlaku

[2]. Beberapa pelancong muslim yang sedang berdarma wisata di Bali, beberapa sopir taksi, beberapa karyawan yang bekerja dan beberapa orang Islam yang sedang melintas di depan hotel JW. Mariot atau gedung Kedubes Australia di Kuningan, telah menjadi korban operasi mujahidin, sebagian luka-luka dan sebagian lainnya meninggal.
Dengan mengesampingkan peranan media massa yang memblow up perkara sedemikian rupa, juga berbagai warning yang diabaikan ---sengaja atau tidak sengaja, sadar atau tidak sadar --- oleh sebagian kaum muslimin yang menjadi korban tersebut, sekali lagi ditegaskan di sini bahwa mujahidin sama sekali tidak bermaksud menjadikan mereka sebagai target. Kesalahan ini murni sebuah human error.
Dengan mengesampingkan kedua hal ini, diyakini bahwa hukum tatarus bisa diterapkan dalam operasi yang telah dilakukan mujahidin. Kondisi TATARUS, yaitu pasukan musuh mempergunakan warga sipil yang tidak ikut berperang sebagai pagar betis dan perisai hidup agar kaum muslimin tidak menembak mereka.
Dalam kondisi ini, kaum muslimin boleh menyerang pasukan musuh sekalipun akan jatuh korban dari kalangan wanita dan anak-anak yang dijadikan perisai, dengan dua syarat :
(a) Adanya kebutuhan untuk menyerang mereka ---bila perisai hidup adalah anak-anak dan wanita kafir---, atau kebutuhan yang bersifat darurat ---bila perisai hidup adalah anak-anak dan wanita kaum muslimin---, dan
(b) Niatan hati adalah menembak pasukan musuh, bukan menembak anak-anak dan wanita yang dijadikan perisai.
Musuh-musuh Islam memahami betul, bahwa mujahidin tidak akan membidik kaum muslimin. Untuk itu, musuh-musuh Islam membuat strategi perang kota baru dengan cara membangun kantor-kantor dan pusat-pusat kekuatan strategisnya di tengah kota, di tengah keramaian kaum muslimin. Mereka juga menempatkan dan mempekerjakan banyak kaum muslimin sebagai staf dan karyawan di kantor-kantor dan pusat-pusat kekuatan strategis mereka. Tujuannya jelas, mujahidin akan berfikir seribu kali bila akan menghantam kantor-kantor dan pusat-pusat kekuatan strategis mereka. Mujahidin tidak akan bisa menghantam mereka, kecuali dengan terlebih dahulu jatuh sekian banyak korban kaum muslimin. Bisa jadi, yang menjadi korban adalah kaum muslimin, sementara mereka berhasil lolos.
Tindakan mereka ini tentunya dilakukan setelah mengkaji dan mengaluasi banyak serangan mujahidin sebelumnya. Secara tidak langsung, mereka telah menjadikan keramaian kaum muslimin sebagai perisai hidup-hidup ---sekalipun mereka tidak menawan kaum muslimin secara fisik---.
Para ulama sepakat menyatakan, jika yang dijadikan perisai oleh kaum kafir adalah kaum muslimin : musuh tidak boleh ditembak kecuali karena kondisi darurat menuntut demikian. Maksud kebutuhan darurat di sini adalah, bila kerusakan (kerugian) yang ditimbulkan dari tidak menembak musuh lebih besar dari kerusakan (kerugian) yang ditimbulkan oleh terbunuhnya kaum muslimin yang dijadikan perisai.
Misalnya ; musuh menduduki wilayah kaum muslimin, musuh membunuh sejumlah kaum muslimin yang lebih banyak dari jumlah kaum muslimin yang dijadikan perisai, kekhawatiran pasukan Islam akan terbunuh dan dikalahkan, dan kerusakan (kerugian) besar lainnya. Kondisi darurat tentunya diperhitungkan secara wajar, oleh para pakar militer, ekonomi, politik dan kebudayaan umat Islam (ulama dan komandan mujahidin, saat tidak ada Amirul Mukminin).
AS saat ini memimpin sekutu-sekutunya dan 95 % negara anggota PBB dalam melancarkan perang salib modern terhadap Islam dan kaum muslimin. Target perang salib ini bukanlah seorang manusia bernama Usamah bin Ladin, atau sebuah organisasi misterius bernama Al-Qaedah atau Jama'ah Islamiyyah. Target perang salib ini adalah Islam dan kaum muslimin.
Perang salib modern ini tidak terbatas di Iraq, Palestina atau Afghanistan semata, namun telah merata dan mengglobal ke seluruh penjuru dunia. Konsentrasi dan kekuatan AS dan seluruh sekutunya terpencar di seluruh front di seluruh penjuru dunia. AS dan seluruh sekutunya sedang berhadapan dengan kekuatan Islam (mujahidin dengan dukungan kaum muslimin) di seluruh penjuru dunia. Pukulan mujahidin terhadap AS dan sekutunya di sebuah negara tertentu, akan ikut melemahkan dan menekan kekuatan AS dan sekutu-sekutunya. Bagi mujahidin yang berada di negeri-negeri yang diinvasi secara langsung oleh AS dan sekutunya ---Iraq, Afghanistan, Palestina, negara-negara Jazirah Arab---, pukulan mujahidin di ujung dunia yang lain ini akan memompa semangat dan meringankan beban mereka.
Tidak mengadakan operasi jihad memukul kekuatan strategis mereka tersebut akan semakin memberi kesempatan kepada mereka untuk menjajah, merampas dan membunuh kaum muslimin di berbagai belahan dunia dengan penuh arogansi. Iraq, Afghanistan dan Palestina menjadi contoh kecil sebagian wilayah kaum muslimin yang telah mereka jajah secara fisik.
Dari sini, diyakini bahwa maslahat yang akan diraih oleh pelaksanaan operasi jihad tersebut lebih besar dari kerusakan yang timbul. Maslahat meringankan dan membantu jutaan kaum muslimin di dalam negeri dan negara-negara lain yang merasakan kekejaman tentara salibis AS dan sekutunya, lebih besar dari kerugian jatuhnya beberapa gelintir kaum muslimin sebagai korban.
Secara tinjauan maslahat, operasi pengeboman ini telah memenuhi seluruh persyaratan maslahat, yaitu :
• Dharuriyah : Keuntungan dan maslahat yang akan diraih betul-betul merupakan sebuah kebutuhan yang bersifat darurat, dan tidak bisa diraih dengan cara lain.
• Kulliyah : Keuntungan dan maslahat yang akan diraih bersifat umum, meliputi seluruh atau mayoritas umat Islam. Operasi diadakan untuk membela jutaan kaum muslimin di seluruh penjuru dunia.
• Haqiqiyah (Qath'iyyah) : Keuntungan dan maslahat yang akan diraih, betul-betul sebuah ralita, bukan sekedar khayalan.
Dengan demikian, jatuhnya sebagian kecil kaum muslimin sebagai korban, tidak menghalangi pelaksanaan operasi demi menolong dan membantu sejumlah ratusan juta kaum muslimin yang lain.
Para ulama telah menerangkan hal ini dengan menetapkan beberapa kaedah ushuliyah :

اَلضَّرَرُ اْلأَشَدُّ يُزَالُ بِالضَّرَرِ اْلأَخَفِّ
" Bahaya (kerusakan) yang lebih besar dihilangkan dengan bahaya yang lebih kecil."

إِذَا تَعَارَضَتْ مَفْسَدَتَانِ رُوعِيَ أَعْظَمُهَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفَّهِمَا
" Jika dua kerusakan saling berlawanan, kerusakan yang lebih besar bahayanya dihindari dengan mengambil kerusakan yang lebih kecil bahayanya."

يُخْتَارُ أَهْوَنُ الشَّرَّيْنِ
" Bila ada dua keburukan, dipilih yang lebih ringan keburukannya."

يُتَحَمَّلُ الضَّرَرُ اْلخَاصُ لِدَفْعِ الضَّرَرِ اْلعَامِ
" Bahaya yang menimpa sebagian orang ditanggung demi menolak bahaya yang akan menimpa keseluruhan orang."


Korban Muslim, Mati Syahid

[3]. Indonesia, seperti juga Iraq, Afghanistan, Palestina dan Arab Saudi, adalah negara dengan mayoritas penduduknya umat Islam. Operasi jihad di negara-negara ini memang harus dilakukan dengan ekstra hati-hati, demi menjaga keselamatan kaum muslimin. Namun, bila karena kehati-hatian ini operasi jihad harus dihentikan, sama artinya dengan ta'thil jihad (menihilkan jihad), yang justru mengakibatkan kerusakan yang lebih besar.
Dihadapkan kepada kedua pilihan sulit ini, ---sebagaimana disebutkan dalam beberapa kaedah ushuliyah di atas---, tindakan yang paling tepat adalah tetap melaksanakan operasi jihad dengan meminimalisasi jatuhnya korban dari kalangan umat Islam. Ini demi meraih maslahat yang lebih besar dan menolak bahaya yang lebih besar. Dan sebagaimana telah disebutkan di atas, hal ini dilakukan setelah ketiga syarat maslahat (dharuriyah, kulliyah, qath'iyyah/haqiqiyah) terpenuhi.
Bercampur baurnya kaum muslimin dengan musuh-musuh Islam yang menjadi target operasi, tidak mengharuskan kaum muslimin untuk memilah-milah mereka ; yang ini muslim harus dilindungi, yang itu kafir harus dibunuh. Memilah-milah manusia satu persatu seperti ini bukan kewajiban mujahidin, dan juga diluar kemampuan mereka. Maka, mujahidin menghukumi secara dhahir, siapa yang berada di tempat yang menjadi target operasi akan ikut terkena dampak operasi ; baik ia muslim maupun kafir. Urusan batin dan niat, dikembalikan kepada Allah Ta'ala Yang Maha Mengetahui.
Adalah tidak masuk akal, mengharuskan mujahidin untuk memilah dan menanyai mereka satu persatu ; apakah anda muslim atau kafir ? Allah Ta'ala Yang Maha Mengetahui-pun, menghukumi manusia di dunia secara dhahir. Adapun urusan batin, diselesaikan diakhirat. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan :

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ : عَبَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَنَامِهِ. فَقُلْنَا : يَا رَسُولَ اللَّهِ ! صَنَعْتَ شَيْئًا فِي مَنَامِكَ لَمْ تَكُنْ تَفْعَلُهُ. فَقَالَ : الْعَجَبُ إِنَّ نَاسًا مِنْ أُمَّتِي يَؤُمُّونَ بِالْبَيْتِ بِرَجُلٍ مِنْ قُرَيْشٍ قَدْ لَجَأَ بِالْبَيْتِ, حَتَّى إِذَا كَانُوا بِالْبَيْدَاءِ خُسِفَ بِهِمْ.
فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ الطَّرِيقَ قَدْ يَجْمَعُ النَّاسَ. قَالَ : نَعَمْ فِيهِمُ الْمُسْتَبْصِرُ وَالْمَجْبُورُ وَابْنُ السَّبِيلِ يَهْلِكُونَ مَهْلَكًا وَاحِدًا, وَيَصْدُرُونَ مَصَادِرَ شَتَّى, يَبْعَثُهُمُ اللَّهُ عَلَى نِيَّاتِهِمْ *
Dari Abdullah bin Zubair bahwa 'Aisyah ummul mu'minin radiyallahu 'anha berkata," Rasulullah menggerak-gerakan badannya saat tidur. (setelah bangun), Saya bertanya : Wahai Rasulullah, saat tidur, anda tadi melakukan sesuatu yang sebelumnya belum pernah anda kerjakan ? Beliau menjawab," Sungguh mengherankan, Ada sekelompok (pasukan) dari umatku yang menggejar seorang laki-laki dari suku Quraisy yang berlindung di Ka'bah. Saat mereka sampai di sebuah tanah lapang, mereka semua ditenggelamkan."
Saya bertanya," Ya Rasulullah ! Bukankah di jalan (menuju Makkah atau Ka'bah) ada banyak manusia yang bermacam-macam ?"
Beliau menjawab," Ya. Di antara mereka ada orang yang mengetahui, orang yang dipaksa dan orang-orang yang sedang bepergian. Mereka semua dihancurkan secara bersamaan, namun dibangkitkan (di akhirat) dalam keadaan berbeda-beda. Mereka akan dibangkitkan berdasar niat masing-masing."
Dalam riwayat imam Bukhari :

عَنْ نَافِعِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ قَالَ حَدَّثَتْنِي عَائِشَةُ رَضِي اللَّه عَنْهَا قَالَتْ, قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَغْزُو جَيْشٌ الْكَعْبَةَ فَإِذَا كَانُوا بِبَيْدَاءَ مِنَ الْأَرْضِ يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ. قَالَتْ : قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ! كَيْفَ يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ وَفِيهِمْ أَسْوَاقُهُمْ وَمَنْ لَيْسَ مِنْهُمْ ؟ قَالَ يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ ثُمَّ يُبْعَثُونَ عَلَى نِيَّاتِهِمْ *
Rasulullah bersabda," Akan ada sebuah pasukan yang menyerbu Ka'bah. Jika sudah berada di sebuah tanah lapang, mereka semua --- sejak yang paling depan sampai yang paling belakang--- ditenggelamkan ke dalam perut bumi."
Aisyah bertanya," ya Rasulullah ! Bagaimana orang yang paling depan sampai orang yang paling belakang ditenggelamkan, sedangkan di tengah-tengah mereka ada orang-orang di pasar dan orang-orang yang tidak termasuk pasukan tersebut ?"
Beliau menjawab," Orang yang paling depan sampai orang yang paling belakang di antara mereka ditenggelamkan ke perut bumi, lalu dibangkitkan menurut niat masing-masing."
Dalam riwayat imam Tirmidzi dan Ibnu Majah :

عَنْ صَفِيَّةَ قَالَتْ, قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَا يَنْتَهِي النَّاسُ عَنْ غَزْوِ هَذَا الْبَيْتِ حَتَّى يَغْزُوَ جَيْشٌ حَتَّى إِذَا كَانُوا بِالْبَيْدَاءِ أَوْ بِبَيْدَاءَ مِنَ الْأَرْضِ خُسِفَ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ, وَلَمْ يَنْجُ أَوْسَطُهُمْ. قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ فَمَنْ كَرِهَ مِنْهُمْ ؟ قَالَ يَبْعَثُهُمُ اللَّهُ عَلَى مَا فِي أَنْفُسِهِمْ
Dari Shafiyah ummul mu'minin, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam bersabda," Manusia tidak akan berhenti menyerang Ka'bah sampai akan ada sebuah pasukan yang menyerang Ka'bah, namun saat tiba di sebuah tanah lapang, mereka semua ditenggelamkan ke dalam perut bumi ; sejak orang yang paling depan sampai orang yang paling belakang, orang yang berada di tengah-pun tidak akan selamat ?
Saya bertanya," Ya Rasulullah, bagaimana dengan orang yang sebenarnya tidak suka (tidak mau ikut menyerang) ?"
Beliau menjawab," Mereka akan dibangkitkan oleh Allah menurut (niat) yang ada dalam hati masing-masing."
Dalam riwayat lain dari Hafshah ummul mu'minin :

عَنْ حَفْصَةُ أَنَّهَا سَمِعَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : لَيَؤُمَّنَّ هَذَا الْبَيْتَ جَيْشٌ يَغْزُونَهُ حَتَّى إِذَا كَانُوا بِبَيْدَاءَ مِنَ الْأَرْضِ يُخْسَفُ بِأَوْسَطِهِمْ وَيُنَادِي أَوَّلُهُمْ آخِرَهُمْ ثُمَّ يُخْسَفُ بِهِمْ فَلَا يَبْقَى إِلَّا الشَّرِيدُ الَّذِي يُخْبِرُ عَنْهُمْ.
"…saat mereka sampai di sebuah tanah lapang, orang yang berada di tengah ditenggelamkan ke dalam perut bumi. Orang yang berada di depan memanggil orang yang berada di belakang, lalu mereka semua juga ditenggelamkan ke dalam perut bumi, sehingga tidak tersisa kecuali seorang yang memberitahukan kejadian tersebut."
Setelah menyebutkan beberapa hadits tentang pasukan yang dibenamkan ke dalam perut bumi saat akan menyerang Ka'bah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Fatawa 28/537 berkata :

وَمَنْ أَخْرَجُوهُ مَعَهُمْ مُكْرَهًا فَإِنَّهُ يُبْعَثُ عَلَى نِيَّتِهِ وَنَحْنُ عَلَيْنَا أَنْ نُقَاتِلَ اْلعَسْكَرَ جَمِيعَهُ، إِذْ لاَ يَتَمَيَّزُ المُكْرَهُ مِنْ غَيْرِهِ. وقد ثبت في الصحيح عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: «يَغْزُو هذا البيتَ جيشٌ من الناس فبينما هم ببيداء من الأرض إذا خُسِفَ بهم. فقيل يا رسول الله: إن فيهم المُكْرَه، فقال: يُبعثون على نياتهم» ...
فَاللهُ تَعَالَى أَهْلَكَ الْجَيْشَ الَّذِي أَرَادَ أَنْ يَنْتَهِكَ حُرُمَاتِهِ وَفِيهِمُ اْلمُكْرَهُ وَغَيرُ الْمُكْرَهِ ، مَعَ قُدْرَتِهِ تعالى عَلَى التَّمْيِيزِ بَيْنَهُمْ مَعَ أَنَّهُ يَبْعَثُهُمْ عَلَى نِيَاتِهِمْ فَكَيفَ يَجِبُ عَلَى اْلمُؤْمِنِينَ الْمُجَاهِدِينَ أَنْ يُمَيِّزُوا بَيْنَ الْمُكْرَهِ وَغَيرِهِ وَهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ ذَلِكَ، بَلْ لَوِ ادَّعَى مُدَّعٍ أَنَّهُ خَرَجَ مُكْرَهًا لَمْ يَنْفَعْهُ ذَلِكَ بِمُجَرَّدِ دَعْوَاهُ كَمَا رُوِىَ أَنَّ اْلعَبَّاسَ بْنَ عَبْدِ اْلمُطَلِّبِ قَالَ لِلنَّبِيِّ لَمَّا أَسَرَهُ اْلمُسْلِمُونَ يَوْمَ بَدْرٍ يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي كُنْتُ مُكْرَهًا فَقَالَ : (أَمَّا ظَاهِرُكَ فَكَانَ عَلَيْنَا وَأَمَّا سَرِيرَتُكَ فَإِلَى اللهِ) بَلْ لَوْ كَانَ فِيهِمْ قَومٌ صَالِحُونَ مِنْ خِيَارِ النَّاسِ وَلمَ ْْ يُمْكِنْ قِتَالُهُمْ إِلاَّ بِقَتْلِ هَؤُلاَءِ لَقُتِلُوا أَيْضًا، فَإِنَّ اْلأَئِمَّةَ مُتَّفِقُونَ عَلَى أَنَّ اْلكُفَّارَ لَوْ تَتَرَّسُوا بِمُسْلِمِينَ وَخِيفَ عَلَى اْلمُسْلِمِينَ إِذَا لَمْ يُقَاتَلُوا فَإِنَّهُ يَجُوزُ أَنْ نَرْمِيَهُمْ وَنَقْصُدَ الْكُفَّارَ ، وَلَوْ لمَ ْنَخَفْ عَلَى الْمُسْلِمِينَ جَازَ رَمْىُ أُولَئِكَ اْلمُسْلِمِينَ أَيضًا فِي أَحَدِ قَولَي اْلعُلَمَاءِ .....
" Allah Ta'ala menghancurkan pasukan yang akan menodai hurumat (hal-hal yang disucikan dan dimuliakan Allah, yaitu Ka'bah), sementara didalam pasukan itu ada orang yang dipaksa untuk berperang dan orang yang tidak dipaksa. Padahal Allah Maha Mampu untuk memilah-milah mereka. Allah akan membangkitkan mereka sesuai niat masing-maasing.
Maka bagaimana kaum mukmin yang berjihad harus memilah-milah antara orang yang dipaksa dengan orang yang tidak dipaksa, padahal mereka tidak mengetahui hal itu ? Bahkan, seandainya ada orang yang mengklaim dirinya keluar karena dipaksa, klaimnya sama sekali tidak akan menolongnya. Sebagaimana diriwayatkan bahwa Abbas bin Abdul-Muthalib berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam saat ditawan oleh kaum muslimin dalam perang Badar," Ya Rasulullah ! Saya keluar berperang karena dipaksa !" Beliau menjawab," Urusan dhahirmu menjadi urusan kami. Namun urusan batinmu, kami serahkan kepada Allah."
Bahkan, seandainya di antara mereka ada kaum yang shalih dari manusia-manusia pilihan (terbaik), dan tidak bisa memerangi mereka (musuh) kecuali dengan membunuh kaum shalih tersebut, maka kaum shalih tersebut juga dibunuh. Karena para ulama bersepakat, jika kaum kafir menjadikan kaum muslimin sebagai perisai hidup dan ditakutkan kaum muslimin akan terkena bahaya jika kaum kafir tersebut tidak diperangi, maka kita boleh menembak kaum muslimin dengan niatan (target) orang-orang kafir tersebut. Adapun jika kita tidak khawatir kaum muslimin akan terkena bahaya, maka tetap boleh menembak kaum muslimin tersebut menurut salah satu dari dua pendapat ulama…"
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Fatawa 28/547 menegaskan kembali masalah ini :

وَنَحْنُ لاَ نَعْلَمُ المُكْرَهَ، وَلاَ نَقْدِرُ عَلَى التَّمْيِيزِ. فَإِذَا قَتَلْنَاهُمْ بِأَمْرِ اللهِ كُنَّا فِي ذَلِكَ مَأْجُورِينَ وَمَعْذُورِينَ، وَكَانُوا هُمْ عَلَى نِيَّاتِهِمْ، فَمَنْ كَانَ مُكْرَهًا لاَ يَسْتَطِيعُ اْلإِمْتِنَاعَ فَإِنَّهُ يُحْشَرُ عَلَى نِيَّتِهِ يَومَ الْقِيَامَةِ، فَإِذَا قُتِلَ ِلأَجْلِ قِيَامِ الدِّينِ لمَ ْ يَكُنْ ذَلِكَ بِأَعْظَمَ مِنْ قَتْلِ مَنْ يُقْتَلُ مِنْ عَسْكَرِ اْلمُسْلِمِينَ
" Kita tidak mengetahui orang yang dipaksa, kita juga tidak bisa memilah-milah. Jika kita memerangi mereka dengan perintah Allah, maka mendapat pahala dan pemaafan atas hal itu. Sedangkan mereka (kaum muslimin yang terbunuh, pent) dibangkitkan menurut niat masing-masing. Maka barangsiapa dipaksa dan ia tidak bisa melepaskan diri dari paksaan itu, ia dibnagkitkan sesuai niatnya pada hari kiamat nanti. Jika ia terbunuh karena usaha menegakkan dien, terbunuhnya dirinya ini tidak lebih besar dri terbunuhnya pasukan Islam yang terbunuh."
Dalam Majmu' Fatawa 28/538, beliau juga menegaskan bahwa kaum muslimin yang menjadi korban tersebut adalah para syuhada', orang-orang yang mati syahid :

بَلْ لَوْ كَانَ فِيهِمْ قَومٌ صَالِحُونَ مِنْ خِيَارِ النَّاسِ وَلمَ ْْ يُمْكِنْ قِتَالُهُمْ إِلاَّ بِقَتْلِ هَؤُلاَءِ لَقُتِلُوا أَيْضًا، فَإِنَّ اْلأَئِمَّةَ مُتَّفِقُونَ عَلَى أَنَّ اْلكُفَّارَ لَوْ تَتَرَّسُوا بِمُسْلِمِينَ وَخِيفَ عَلَى اْلمُسْلِمِينَ إِذَا لَمْ يُقَاتَلُوا فَإِنَّهُ يَجُوزُ أَنْ نَرْمِيَهُمْ وَنَقْصُدَ الْكُفَّارَ ، وَلَوْ لمَ ْنَخَفْ عَلَى الْمُسْلِمِينَ جَازَ رَمْىُ أُولَئِكَ اْلمُسْلِمِينَ أَيضًا فِي أَحَدِ قَولَي اْلعُلَمَاءِ
وَمَنْ قُتِلَ ِلأَجْلِ اْلجِهَادِ الَّذِي أَمَرَ اللهُ بِهِ وَرَسُولُهُ وَهُوَ فِي الْبَاطِنِ مَظْلُومٌ كَانَ شَهِيدًا، وَبُعِثَ عَلَى نِيَّتِهِ، وَلمَ ْيَكُنْ قَتْلُهُ أَعْظَمَ فَسَادًا مِنْ قَتْلِ مَنْ يُقْتَلُ مِنَ اْلمُؤْمِنِينَ اْلمُجَاهِدِينَ. وَإِذَا كَانَ اْلجِهَادُ وَاجِبًا وَإِنْ قُتِلَ مِنَ اْلمُسْلِمِينَ مَا شَاءَ اللهُ، فَقَتْلُ مَنْ يُقْتَلُ فِي صَفِّهِمْ مِنَ اْلمُسْلِمِينَ لِحَاجَةِ اْلجِهَادِ لَيْسَ أَعْظَمَ مِنْ هَذَا، بَلْ قَدْ أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ المُكْرَهَ فِي قِتَالِ اْلفِتْنَةِ بِكَسْرِ سَيْفِهِ، وَلَيسَ لَهُ أَنْ يُقَاتِلَ وَإِنْ قُتِلَ

" Barang siapa yang terbunuh karena operasi jihad yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, sementara sebenarnya (secara batin) ia terzalimi, maka ia adalah seorang yang mati syahid, dan ia akan dibangkitkan sesuai niatnya. Terbunuhnya dirinya tidak lebih besar kerusakannya dari terbunuhnya orang mukmin yang berjihad.
Jika jihad itu wajib sekalipun ada sebagian orang Islam yang terbunuh sesuai kehendak Allah, maka terbunuhnya orang Islam yang berada di barisan mereka (musuh) karena kebutuhan jihad, adalah tidak lebih besar dari terbunuhnya orang ini (mukmin yang berjihad). Bahkan, Rasululah Shallallahu 'alaihi wa salam telah memerintahkan orang yang dipaksa dalam perang zaman fitnah untuk mematahkan pedangnya, ia tidak boleh memerangi sekalipun akibatnya ia dibunuh."
Beliau mengulangi penjelasan ini dalam Majmu' Fatawa 28/546-547.
Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bari Syarhu Shahih Bukhari mengomentari hadits pembenaman pasukan yang menyerang Ka'bah, sebagai berikut :

يُخْسَفُ بِالْجَمِيعِ لِشُؤْمِ ْالأَشْرَارِ ثُمَّ يُعَامَلُ كُلُّ أَحَدٍ عِنْدَ اْلحِسَابِ بِحَسْبِ قَصْدِهِ, قَالَ اْلمُهَلَّبُ : فِي هَذَا اْلحَدِيثِ أَنَّ مَنْ كَثَّرَ سَوَادَ قَوْمٍ فِي اْلمَعْصِيَّةِ مُخْتَارًا أَنَّ اْلعُقُوبَةَ تَلْزِمُهُ مَعَهُمْ . قَالَ وَاسْتَنْبَطَ مِنْهُ مَالِكٌ عُقُوبَةَ مَنْ يُجَالِسُ شَرَبَةَ الْخَمْرِ وَإِنْ لمََ ْ يَشْرَبْ
" Semua orang dibenamkan ke dalam perut bumi karena buruknya kejahatan, lalu masing-masing diperlakukan dalam hisab (di akhirat) sesuai tujuannya (niatnya). Imam Al-Muhalab berkata : Dalam hadits ini ada dalil bahwa siapa secara sukarela memperbanyak jumlah sebuah kaum dalam berbuat maksiat, hukuman akan menimpanya bersama mereka. Dari hadits ini, imam Malik menyimpulkan orang yang duduk-duduk dengan peminum khamr juga harus dihukum, sekalipun ia tidak ikut minum."
Dari penjelasan ini, bisa disimpulkan bahwa :
• Operasi jihad tidak mesti dihentikan oleh alasan jatuhnya sebagian kecil kaum muslimin sebagai korban. Secara tinjauan syariat, masalah tatarus dan bercampur baurnya umat Islam dengan pasukan musuh tanpa bisa dipilahkan bisa diberlakukan dalam operasi ini. Karena itu, operasi jihad ini telah memenuhi persyaraatan syariat dan maslahat.
• Kaum muslimin yang jatuh sebagai korban ini dipandang sebagai syuhada' (orang-orang yang mati syahid), dan akan dibangkitkan di hari kiamat menurut niat masing-masing.
• Syariat Islam tidak akan menihilkan sebuah hukum umum (dalam kasus ini operasi jihad) hanya karena beberapa situasi tertentu yang jarang terjadi.


Jangan Menyerang Bila Musuh Bercampur Baur ?

(4). Secara tinjauan syariat dan maslahat, telah jelas bahwa operasi peledakan yang dilakukan mujahidin sah dan telah memenuhi persyaratan. Memang benar beberapa kaum muslimin tidak sependapat dengan hal ini. Mereka menyatakan operasi terebut tetap tidak boleh dilakukan, dengan dalil firman Allah Ta'ala :

هُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا وَصَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَالْهَدْيَ مَعْكُوفًا أَن يَبْلُعَ مَحِلَّهُ وَلَوْلاَ رِجَالٌ مُّؤْمِنُونَ وَنِسَآءٌ مُّؤْمِنَاتٌ لَّمْ تَعْلَمُوهُمْ أَن تَطَئُوهُمْ فَتُصِيبَكُم مِّنْهُم مَّعَرَّةٌ بِغَيْرِ عِلْمٍ لِّيُدْخِلَ اللهُ فِي رَحْمَتِهِ مَن يَشَآءُ لَوْ تَزَيَّلُوا لَعَذَّبْنَا الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
Merekalah orang-orang yang kafir yang menghalangi kamu dari (masuk) Masjidil Haram dan menghalangi hewan korban sampai ke tempat (penyembelihan)nya. Dan kalau tidaklah karena laki-laki yang mu'min dan perempuan-perempuan yang mu'min yang tiada kamu ketahui, bahwa kamu akan membunuh mereka yang menyebabkan kamu ditimpa kesusahan tanpa pengetahuanmu (tentulah Allah tidak akan menahan tanganmu dari membinasakan mereka). Supaya Allah memasukkan siapa yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya.Sekiranya mereka tidak bercampur baur, tentulah Kami akan mengazab orang-orang kafir di antara mereka dengan azab yang pedih. (QS. Al-Fath, 48:25).
Alasan ini tentu saja akan menyebabkan penihilan jihad, karena kaum muslimin ada dan bercampur dengan orang-orang kafir di hampir seluruh negara di dunia, terlebih lagi di negara-negara dengan penduduk mayoritas muslim, seperti Indonesia, Iraq, Afghanistan, Pakistan, Chechnya, Palestina, Arab Saudi dan lain-lain. Oleh karenanya, para ulama telah bersepakat boleh menyerang pasukan musuh sekalipun dalam barisan mereka ada kaum muslimin, baik karena pilihan sendiri maupun karena dijadikan perisai hidup.
Alasan ini bisa dibantah dengan beberapa alasan :
(a). Larangan berperang dalam peristiwa Hudaibiyah ---surat Al-Fath :25 di atas--- adalah larangan yang bersifat takdir, sementara manusia tidak boleh beralasan dengan takdir.
Beliau bersama para sahabat berangkat menuju Makkah untuk tujuan umrah, bukan untuk berperang. Namun kaum Quraisy menghalangi beliau dan bahkan menyiapkan pasukan perang. Setelah bermusyawarah dengan para shahabat, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam memutuskan untuk memerangi mereka jika tetap menghalangi niatan umrah.

عَنِ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ وَمَرْوَانَ بْنِ الْحَكَمِ يَزِيدُ أَحَدُهُمَا عَلَى صَاحِبِهِ قَالَا خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ فِي بِضْعَ عَشْرَةَ مِائَةً مِنْ أَصْحَابِهِ. فَلَمَّا أَتَى ذَا الْحُلَيْفَةِ, قَلَّدَ الْهَدْيَ وَأَشْعَرَهُ وَأَحْرَمَ مِنْهَا بِعُمْرَةٍ, وَبَعَثَ عَيْنًا لَهُ مِنْ خُزَاعَةَ وَسَارَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
حَتَّى كَانَ بِغَدِيرِ الْأَشْطَاطِ أَتَاهُ عَيْنُهُ, قَالَ : إِنَّ قُرَيْشًا جَمَعُوا لَكَ جُمُوعًا وَقَدْ جَمَعُوا لَكَ الْأَحَابِيشَ وَهُمْ مُقَاتِلُوكَ وَصَادُّوكَ عَنِ الْبَيْتِ وَمَانِعُوكَ. فَقَالَ: أَشِيرُوا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيَّ ! أَتَرَوْنَ أَنْ أَمِيلَ إِلَى عِيَالِهِمْ وَذَرَارِيِّ هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يُرِيدُونَ أَنْ يَصُدُّونَا عَنِ الْبَيْتِ, فَإِنْ يَأْتُونَا كَانَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ قَطَعَ عَيْنًا مِنَ الْمُشْرِكِينَ, وَإِلَّا تَرَكْنَاهُمْ مَحْرُوبِينَ.
قَالَ أَبُو بَكْرٍ: يَا رَسُولَ اللَّهِ, خَرَجْتَ عَامِدًا لِهَذَا الْبَيْتِ لَا تُرِيدُ قَتْلَ أَحَدٍ وَلَا حَرْبَ أَحَدٍ, فَتَوَجَّهْ لَهُ. فَمَنْ صَدَّنَا عَنْهُ قَاتَلْنَاهُ. قَالَ امْضُوا عَلَى اسْمِ اللَّهِ.
Miswar bin Makramah dan Marwan bin Hakam berkata : Rasulullah bersama seribu sekian ratus sahabat keluar pada tahun Hudaibiyah. Ketika sampai di Dzul-Hulaifah, beliau mengeluarkan binatang untuk sembelihan haji dan berihram untuk umrah. Beliau lalu mengutus seorang mata-mata dari Bani Khuza'ah, lalu melanjutkan perjalanan.
Ketika sampai di Ghadir Asytath, mata-mata tersebut melapor," Sesungguhnya Quraisy telah mengumpulkan pasukan dan golongan Hasbyah untuk memerangi, mencegah dan menghalang-halangi anda (dari melaksanakan umrah)." Beliau bersabda," Wahai manusia, berilah saya pendapat !."
Sahabat Abu Bakar berkata," Wahai Rasulullah ! Anda sengaja keluar menuju Baitullah, sama sekali tidak ingin membunuh dan memerangi seorangpun. Maka teruskanlah perjalan menuju Baitullah. Siapapun yang menghalangi kita, mari kita perangi."
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam bersabda," Kalau begitu, lanjutkan perjalanan dengan nama Allah."
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam lantas meneruskan perjalanan, sampai saat unta beliau menderum dan berhenti.

وَسَارَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى إِذَا كَانَ بِالثَّنِيَّةِ الَّتِي يُهْبَطُ عَلَيْهِمْ مِنْهَا بَرَكَتْ بِهِ رَاحِلَتُهُ. فَقَالَ النَّاسُ حَلْ حَلْ فَأَلَحَّتْ, فَقَالُوا خَلَأَتِ الْقَصْوَاءُ خَلَأَتِ الْقَصْوَاءُ.
فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَا خَلَأَتِ الْقَصْوَاءُ, وَمَا ذَاكَ لَهَا بِخُلُقٍ وَلَكِنْ حَبَسَهَا حَابِسُ الْفِيلِ. ثُمَّ قَالَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَسْأَلُونِي خُطَّةً يُعَظِّمُونَ فِيهَا حُرُمَاتِ اللَّهِ إِلَّا أَعْطَيْتُهُمْ إِيَّاهَا...
Para sahabat berkata," Al-Qaswa' mogok ! Al-Qaswa' mogok !"
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda," Al-Qaswa' tidak mogok, dan mogok bukan sifat Al-Qaswa'. Tapi ia ditahan oleh Dzat yang telah menahan pasukan gajah (Allah Ta'ala). Demi Dzat yang nyawaku berada di tangan-Nya, tidaklah mereka mereka meminta dariku sebuah rencana yang di dalamnya hurumat Allah diagungkan, kecuali pasti aku berikan kepada mereka."
Mogoknya Al-Qaswa' adalah karena ditahan oleh Allah Ta'ala. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam menyadari, ini adalah kehendak dan takdir Allah Ta'ala. Maka beliaupun mengikat perjanjian damai (Shulhu Hudaibiyah). Namun kemudian tersiar berita bahwa Utsman bin Affan yang beliau utus sebagai duta diplomasi kepada kaum Quraisy telah dibunuh.
Maka, beliau mengambil sikap tegas dan membaiat seluruh sahabat untuk berperang sampai titik darah penghabisan atau tidak mundur dari peperangan.
عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي عُبَيْدٍ قَالَ قُلْتُ لِسَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ عَلَى أَيِّ شَيْءٍ بَايَعْتُمْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْحُدَيْبِيَةِ ؟ قَالَ عَلَى الْمَوْتِ
Yazid bin Abi Ubaid berkata,' Saya bertanya kepada sahabat Salamah bin Akwa' : Untuk apa kalian membaiat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam pada hari Hudaibiyah ?" Ia menjawab," Untuk berperang sampai mati."
Ayat 25 surat Al-Fath dan bahkan seluruh surat Al-Fath sendiri, baru diturunkan setelah kaum muslimin bergerak meninggalkan Hudaibiyah menuju Madinah. Dalam peristiwa ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam telah dua kali bertekad bulat untuk memerangi kaum Quraisy ; pertama saat beliau bergerak dan untanya berhenti, dan kedua ketika mengambil Baiat Ridhwan dari para sahabat. Di saat beliau tetap dua kali bertekad menyerang kaum Quraisy tersebut, beliau juga mengetahui bahwa di Makkah ada sebagian kaum muslimin yang tertindas, mata-mata dan utusan beliau. Bahkan, beliau mendoakan sebagian mereka :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّه عَنْه قَالَ, قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اللَّهُمَّ أَنْجِ عَيَّاشَ بْنَ أَبِي رَبِيعَةَ, اللَّهُمَّ أَنْجِ سَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ, اللَّهُمَّ أَنْجِ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ, اللَّهُمَّ أَنْجِ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ. اللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ. اللَّهُمَّ اجْعَلْهَا سِنِينَ كَسِنِي يُوسُفَ *

Dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam berdoa," Ya Allah, selamatkan 'Ayyash bin Rabi'ah. Ya Allah, selamatkan Salamah bin Hisyam. Ya Allah, selamatkan Walid bin Walid. Ya Allah, selamatkan kaum muslimin yang tertindas. Ya Allah, keraskan siksamu atas kaum Mudhar. Ya Allah, jadikanlah bagi mereka paceklik seperti paceklik zaman Nabi Yusuf."
Beliau mengetahui, di tengah kaum Quraisy Makkah terdapat kaum lemah umat Islam. Meski demikian hal ini tidak menghalangi beliau untuk dua kali bertekad memerangi Quraisy. Justru, tekad bulat memerangi Quraisy tersebut untuk menyelamatkan kaum muslim yang tertindas di Makah, sebagaimana firman Allah Ta'ala :

وَمَالَكُمْ لاَتُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَآءِ وَالْوِلْدَانِ
" Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak." (QS. An-Nisa' :75).
Namun, dalam kesempatan tersebut Allah belum mengizinkan berperang secara takdir, bukan secara syariat. Jika tidak adanya izin berperang ini karena syariat, tentu beliau tidak akan bertekad bertempur dan mengambil baiat untuk bertempur. Takdir yang melarang berperang ini mengandung beberapa hikmah yang agung. Di antaranya ; adanya beberapa kaum muslimin yang tertindas di Makkah, perjanjian damai memberi kesempatan untuk melakukan dakwah secara lebih luas, masuk Islamnya banyak bangsa arab (لِّيُدْخِلَ اللهُ فِي رَحْمَتِهِ مَن يَشَآءُ Supaya Allah memasukkan siapa yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya). Dan hikmah-hikmah lainnya. Allah Ta'ala menyebut perjanjian damai ini sebagai sebuah kemenangan.
Dari keterangan ini, jelaslah bahwa larangan memerangi kaum Quraisy karena di tengah mereka ada sejumlah kaum muslimin adalah larangan karena taqdir, bukan karena syariat. Dan jelas, takdir tidak bisa dijadikan alasan untuk menggugurkan sebuah perintah syariat.


Khusus Untuk Peristiwa Hudaibiyah

(b). Sebagian ulama berpendapat , bahwa larangan memerangi orang kafir karena di tengah mereka terdapat kaum muslimin, berlaku khusus untuk peristiwa Hudaibiyah, dan tidak berlaku untuk kasus-kasus serupa. Penapat ini berdasar beberapa dalil :
* Allah Ta'ala melarang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam memerangi Makkah pada hari Hudaibiyah (tahun 6 H) dengan larangan takdir, lalu mengizinkan beliau memerangi Makkah dua tahun kemudian (tahun 8 H) dengan izin syar'i. Padahal negerinya satu, Makkah, dan kaum muslimin yang tertindas juga masih berada di Makkah pada saat penaklukan Makkah (tahun 8 H).

قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّه عَنْه : لَمَّا فَتَحَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَكَّةَ, قَامَ فِي النَّاسِ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ: إِنَّ اللَّهَ حَبَسَ عَنْ مَكَّةَ الْفِيلَ وَسَلَّطَ عَلَيْهَا رَسُولَهُ وَالْمُؤْمِنِينَ, فَإِنَّهَا لَا تَحِلُّ لِأَحَدٍ كَانَ قَبْلِي, وَإِنَّهَا أُحِلَّتْ لِي سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ, وَإِنَّهَا لَا تَحِلُّ لِأَحَدٍ بَعْدِي.

Abu Hurairah berkata," Ketika Allah menaklukkan Makkah untuk Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa salam, Rasulullah berdiri di hadapan manusia, memuji nama Allah dan bersabda," Sesungguhnya Allah menahan pasukan gajah dari (menaklukkan Makah), namun Allah menguasakan Rasul-Nya dan kaum beriman atas Makkah. Sesungguhnya Makkah belum pernah halal atas seorangpun sebelumku, kini ia dihalalkan untukku beberapa saat di waktu siang, dan sesudahku ia tidak akan halal untuk seorangpun…"
Dari sini jelas, larangan pada peristiwa Hudaibiyah berlaku khusus, karena setelah itu negeri yang sama (Makkah) dihalalkan, padahal di dalamnya masih terdapat kaum muslimin yang tertindas.
* Ada beberapa kondisi di mana kaum muslimin bercampur baur dengan orang-orang kafir atau orang-orang fasik, namun adzab atau peperangan tetap mengenai mereka semua, dan larangan Allah (yang bersifat takdir) untuk memerangi mereka tidak turun. Ini menunjukkan larangan memerangi kaum kafir dikarenakan di tengah mereka ada kaum muslimin, berlaku khusus dalam peristiwa Hudaibiyah semata.
Di antara kondisi bercampur baurnya umat Islam dengan kaum kafir atau fasiq, namun tetap diperbolehkan memerangi kaum kafir, atau adzab tetap turun menimpa mereka semua, adalah :
- Hadits-hadits tentang pasukan yang akan menyerbu ka'bah, ditenggelamkan ke alam perut bumi.
- Hadits Bukhari, Muslim dan Ahmad dari Ibnu Umar :

عَبْدُاللَّهِ بْنُ عُمَرَ رَضِي اللَّه عَنْهمَا يَقُولُ, قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِقَوْمٍ عَذَابًا أَصَابَ الْعَذَابُ مَنْ كَانَ فِيهِمْ ثُمَّ بُعِثُوا عَلَى أَعْمَالِهِمْ
Abdullah bin Umar berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam bersabda," Jika Allah menurunkan adzab atas sebuah kaum, adzab akan menimpa seluruh orang yang berada dalam kaum tersbut. Mereka akan dibangkitkan sesuai amal masing-masing."
- Hadits Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad dari Zainab bintu Jahsy :

قَالَتْ زَيْنَبُ بِنْتُ جَحْشٍ, فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَهْلِكُ وَفِينَا الصَّالِحُونَ؟ قَالَ نَعَمْ إِذَا كَثُرَ الْخَبَثُ *
Zainab bintu Jahsy ummul mu'minin bertanya," Ya Rasulullah, apakah kita akan hancur padahal di tengah kita banyak orang shalih ?' Beliau menjawab," Ya, jika telah banyak kekejian (kemaksiatan)."
Beberapa dalil ini menguatkan pendapat ulama yang menyatakan bahwa larangan memerangi kaum kafir yang bercampur baur dengan kaum muslimin adalh khusus untuk peristiwa Hudaibiyyah. Wallahu a'lam bish Shawab.
Maksud larangan ini hanya berlaku untuk peristiwa Hudaibiyah, bukan berarti nyawa kaum muslimin boleh dilanggar dan dihilangkan. Nyawa kaum muslimin sendiri harus dilindungi dan tidak boleh dibunuh, di manapun mereka berada, baik bercampur baur dengan orang-orang kafir maupun tidak.
Maksud kekhususan larangan ini untuk peristiwa Hudaibiyah, adalah bercampur baurnya kaum muslimin dengan orang-orang kafir tidak menghalangi untuk memerangi orang-orang kafir, jika maslahat menuntut peperangan, sekalipun secara tidak sengaja akan mengakibatkan sebagian kaum muslimin menjadi korban. Dan hal ini, sekali lagi, telah disepakati oleh mayoritas ulama. (Lihat kembali pembahasan tatarus).

(c). Imam Al-Qurthubi menyebutkan dalam tafsir ayat 25 surat Al-Fath, bahwa imam Malik tidak memperbolehkan memerangi orang-orang kafir jika di tengah mereka ada kaum muslimin, beliau berdalil dengan ayat ini. Sementara imam Abu Hanifah memperbolehkannya. Imam Al-Qurtubi lalu menjelaskan :
" Kadang boleh membunuh perisai hidup, dan dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat ulama, insya Allah. Yaitu jika maslahatnya dharuriyah, kulliyah dan qath'iyah.
Maksud dharuriyah adalah, tidak bisa mencapai (memerangi) orang-orang kafir kecuali dengan terlebih dahulu membunuh perisai hidup.
Maksud kulliyah adalah, maslahat amengenai seluruh umat Islam. Terbunuhnya perisai hidup membawa maslahat bagi seluruh umat Islam yang lain. Sebab, bila perisai hidup tidak dibunuh, musuh akan membunuh mereka dan lalu menaklukkan seluruh umat Islam.
Maksud qath'iyah adalah, maslahat tersebut pasti akan teraih bila perisai hidup dibunuh.
Para ulama kami menyatakan, maslahat dengan beberapa persyaratan seperti ini tidak semestinya diperselisihkan lagi. Karena perisai hidup pasti akan terbunuh; baik lewat tangan musuh sehingga timbul kerusakan besar dengan berkuasanya musuh atas seluruh kaum muslimin, maupun lewat tangan kaum muslimin sehingga musuh dihancurkan dan seluruh kaum muslimin yang lain selamat.
Seorang yang berakal tidak akan berpendapat perisai hidup tidak boleh dibunuh dengan alasan apapun, karena konskuensi pendapatnya ini adalah kehancuran perisai hidup, Islam dan kaum muslimin.
Persoalannya, maslahat ini disertai oleh kerusakan, sehingga jiwa yang tidak mengkaji mendalam masalah ini menolaknya. Padahal, nilai kerusakan tersebut bila dibandingkan dengan maslahat yang akan diraih adalah nihil (tidak ada), atau seperti tidak ada. Wallahu A'lam."
Penjelasan imam Al-Qurthubi ini menjawab secara tuntas keberatan pihak-pihak yang melarang operasi jihad melawan orang-orang kafir dengan alasan sebagian kaum muslimin bercampur baur dengan mereka sehingga akan jatuh sebagai korban.
Syariat Islam hadir untuk menjaga lima kepentingan pokok ; agama, nyawa, kehormatan (keturunan), akal dan harta. Seluruh ulama sepakat, kepentingan agama adalah kepentingan tertinggi yang harus didahulukan atas seluruh kepentingan lainnya. Oleh karenanya, Islam mensyariatkan jihad untuk membela kepentingan agama, sekalipun mengakibatkan hilangnya nyawa, keturunan dan harta.

إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنْ الْمُؤْمِنِينَ أَنفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمْ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعداً عَلَيْهِ حَقاً فِي التَّوْرَاة وَالإِنْجِيل وَالقُرْآن
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu'min, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan al-Qur'an.[QS. At-Taubah :111].

كُتِبَ عَلَيْكُمْ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ
Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; (QS. Al-Baqarah :216).
Bahaya yang menimpa keseluruhan umat Islam jauh lebih besar dari terbunuhnya beberapa kaum muslimin yang bercampur baur dengan orang-orang kafir. Bahaya tersebut adalah kekafiran dan kesyirikan (demokrasi sekuler) dengan segala buahnya ; perekonomian kapitalisme dan sosialisme yang dzalim, kebejatan moral, tingginya angka kejahatan, dan seterusnya dan seterusnya. Semua kerusakan ini jauh lebih besar dari beberapa umat Islam yang jatuh sebagai korban operasi jihad.
وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنْ الْقَتْلِ
"Dan fitnah (kekafiran dan kesyirikan) lebih kejam dari pembunuhan." QS. Al-Baqarah :191
وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنْ الْقَتْلِ
" Dan fitnah (kekafiran dan kesyirikan) lebih besar (dosa dan bahayanya) dari pembunuhan." QS. Al-Baqarah :217
Bahaya yang lebih besar (kekafiran dan kesyirikan) harus ditolak dengan mengambil resiko bahaya yang lebih ringan (dampak-dampak jihad ; hilangnya nyawa, rusaknya harta benda). Beberapa kaedah fikih yang menyebutkan hal ini telah disebutkan sebelumnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :

وَذَلِكَ أَنَّ اللهَ تَعَالىَ أَبَاحَ مِنْ قَتْلِ النُّفُوسِ مَا يُحْتَاجُ إِلَيْهِ فِي صَلاَحِ الْخَلْقِ، كَمَا قَالَ تَعَالَى: {وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنْ الْقَتْلِ} أي أَنَّ اْلقَتْلَ وَإِنْ كَانَ فِيْهِ شَرٌّ وَفَسَادٌ فَفِي فِتْنَةِ الْكُفَّارِ مِنَ الشَّرِّ وَالْفَسَادِ مَا هُوَ أَكْبَرث مِنْهُ
" Allah Ta'ala memperbolehkan pembunuhan nyawa jika memarng diperlukan untuk memperbaiki manusia, sebagaimana firman Allah وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنْ الْقَتْلِ (Dan fitnah (kekafiran dan kesyirikan) lebih besar (dosa dan bahayanya) dari pembunuhan), maksudnya sekalipun dalam pembunuhan ada kerusakan dan kejahatan, namun kerusakan dan kejahatan kekafiran itu jauh lebih besar."

Kebolehan, Bukan Larangan

(d). Ayat 25 surat Al-Fath tidak menunjukkan larangan memerangi kaum kafir jika di tengah mereka ada kaum muslimin. Ayat tersebut "sekedar" menunjukkan kebolehan tidak memerangi kaum kafir tersebut.
Imam Al-Jasash dalam Ahkamul Qur'an V/275 menerangkan hal ini :
" Adapun alasan sebagian orang dengan ayat (وَلَوْلاَ رِجَالٌ مُّؤْمِنُونَ وَنِسَآءٌ مُّؤْمِنَاتٌ ...) untuk melarang menembak kaum kafir karena adanya sebagian umat Islam di tengah mereka : Ayat ini tidak menunjukkan persoalan yang diperselisihkan ini, karena maksimal (maksud ayat ini) adalah Allah menahan kaum muslimin dari memerangi mereka, karena di tengah mereka ada sebagian kaum muslimin. Jika para sahabat masuk ke Makkah dengan pedang (peperangan), ada kemungkinan mereka membunuh sebagian kaum muslimin di Makkah. Maka, ayat ini menunjukkan kebolehan tidak menembak dan menyerang mereka, bukan berarti menunjukkan larangan menyerang mereka setelah mengetahui di barisan mereka ada sebagian kaum muslimin.
Karena boleh saja tidak memerangi mereka demi menjaga keselamatan sebagian kaum muslimin yang bersama mereka. Namun boleh juga menyerang mereka. Dalam hal ini boleh memilih. Maka, ayat ini tidak menunjukkan larangan memerangi mereka."
Tidak memerangi mereka adalah sebuah langkah kehati-hatian, agar tidak jatuh korban dari kaum muslimin. Hal ini juga ditegaskan oleh imam Syafi'i dalam Al-Umm 4/244 :

وَإِنْ كَانَ فِي الدَّارِ – أي دَارِ الْحَرْبِ – أُسَارَى مِنَ الْمُسْلِمِينَ، أَوْ تُجَّارٌ مُسْتَأْمِنُونَ كَرِهْتُ النُّصْبَ عَلَيهِمْ بِمَا يَعُمُّ مِنَ التَّحْرِيقِ، وَالتَّغْرِيقِ وَمَا أَشْبَهَهُ، غَيْرَ مُحَرَّمٍ لَهُ تَحْرِيماً بَيِّناً، وَذَلِكَ أَنَ الدَّارَ إِنْ كَانَتْ مُبَاحَةً فَلاَ يَبِينُ أَنْ تُحَرَّمَ بِأَنْ يَكُونَ فِيهَا مُسْلِمٌ يُحْرَمُ دَمُّهُ ، وَإِنَّمَا كَرِهْتُ ذَلِكَ اِحْتِيَاطاً، ِلأَنَّ مُبَاحاً لَنَا لَوْ لَمْ يَكُنْ فِيهَا مُسْلِمٌ أَنْ نُجَاوِزَهَا فَلاَ نُقَاتِلَهَا. وَإِنْ قَاتَلْنَاهَا بِغَيرِ مَا يَعُمُّ مِنَ التَّحْرِيقِ، وَالتَّغْرِيقِ
" Jika dalam negeri tersebut ---darul harbi--- terdapat kaum muslimin yang ditawan, atau para pedagang yang mendapat jaminan keamanan, saya tidak menyukai (makruh) memerangi mereka dengan cara perusakan masal, seperti membakar, menenggelamkan dan lain-lain. Namun (kemakruhannya) tidak mencapai keharaman secara tegas.
Alasannya, karena negeri tersebut adalah halal, sehingga tidak bisa ditegaskan keharaman (menyerangnya) hanya karena di dalamnya ada orang Islam yang darahnya terlindungi.
Saya berpendapat makruh menyerangnya, sebagai langkah kehati-hatian. Karena bila di dalamnya tidak ada orang Islam, kita boleh melewatkan dan tidak memeranginya, sebagaimana boleh pula memerangi dengan cara yang tidak menimbulkan kehancuran masal seperti pembakaran dan penenggelaman."


Vonis Terberat, Setengah Diyat

(5). Berdasar seluruh keterangan ini, secara tinjauan syariat dan maslahat, operasi yang dilakukan oleh mujahidin sudah benar, sekalipun beberapa kaum muslimin jatuh sebagai korban. Atas dasar ini, mujahidin tidak melakukan kesalahan, sehingga tidak ada konskuensi hukum apapun terhadap kaum muslimin yang jatuh sebagai korban ; baik hukum qisash, diyat maupun kafarat.
Namun taruhlah ada pihak-pihak yang tidak bisa menerima seluruh penjelasan ini, maka maksimal jatuhnya sebagian kaum muslimin dalam operasi tersebut disebut sebagai sebuah pembunuhan tidak sengaja. Sebagian ulama menyatakan mujahidin tidak perlu membayat diyat dan kafarah, sebagian ulama menyatakan mujahidin perlu membayar kafarah dan pendapat yang paling berat menyatakan mujahidin membayar setengah diyat.
Demikian konskuensi hukum bila operasi jihad ini dianggap sebagai pembunuhan tidak sengaja. Meskipun menurut tinjauan syariat dan masalahat, mujahidin meyakini operasi tersebut sudah benar, kondisi tatarus berlaku, syarat-syarat maslahat telah terpenuhi, dan peringatan akan adanya serangan sudah berkali-kali disampaikan ---baik oleh AS dan sekutu-sekutunya, maupun oleh para ulama mujahidin---, sehingga mereka tidak terkena kewajiban qisash, diyat maupun kafarah.
Pendapat paling berat yang menerangkan kewajiban membayar setengah diyat bila membunuh kaum muslimin yang bercampur baur dengan kaum kafir, adalah hadits riwayat At-Tirmidzi dan Abu Daud :

عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ سَرِيَّةً إِلَى خَثْعَمٍ فَاعْتَصَمَ نَاسٌ بِالسُّجُودِ فَأَسْرَعَ فِيهِمُ الْقَتْلَ, فَبَلَغَ ذَلِكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَ لَهُمْ بِنِصْفِ الْعَقْلِ, وَقَالَ أَنَا بَرِيءٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ يُقِيمُ بَيْنَ أَظْهُرِ الْمُشْرِكِينَ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلِمَ ؟ قَالَ لَا تَرَايَا نَارَاهُمَا.

Dari Jarir bin Abdilah bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam mengirim sebuah ekspedisi perang ke suku Kats'am. Sebagian penduduk menyelamatkan diri dengan sujud, namun ekspedisi tersebut segera membunuh mereka. Berita itu sampai kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam, maka beliau memerintahkan membayar setengah akal (diyat). Beliau bersabda," Saya berlepas diri dari seorang muslim yang tinggal di tengah-tengah kaum musyrik."
Para sahabat bertanya," Ya Rasulullah, kenapa ?" Beliau menjawab," Agar api (asap dapur) keduanya (muslim dan musyrik) tidak saling terlihat."

عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ أَمَّا بَعْدُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ جَامَعَ الْمُشْرِكَ وَسَكَنَ مَعَهُ فَإِنَّهُ مِثْلُهُ. وفي رواية الترمذي : لَا تُسَاكِنُوا الْمُشْرِكِينَ وَلَا تُجَامِعُوهُمْ فَمَنْ سَاكَنَهُمْ أَوْ جَامَعَهُمْ فَهُوَ مِثْلُهُمْ.
Dari Samurah bin Jundab, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam bersabda,"Barang siapa berkumpul dan tinggal bersama aorang musyrik, ia seperti sorang musyrik tersebut."
Dalam riwayat Tirmidzi tanpa sanad," Jangan tinggal bersama orang-orang musyrik ! Jangan pula berkumpul bersama mereka ! Barang siapa tinggal atau berkumpul bersama mereka, ia seperti mereka."
Imam Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi Syarhu Sunan Tirmidzi V/189 menerangkan makna hadits Jabir di atas dengan menulis :
" (Sebagian penduduk menyelamatkan diri dengan sujud) maksudnya penduduk muslim yang tinggal di tengah orang-orang kafir. Mereka bersujud dengan asumsi pasukan Islam akan membiarkan dan tidak membunuh kita saat melihat kita bersujud, karena shalat adalah tanda keimanan.
(Beliau memerintahkan membayar setengah akal) maksudnya setengah diyat. Pengarang Fathul Wadud menyatakan, karena mereka membantu (pembunuhan) diri mereka dengan tinggal di tengah orang-orang kafir. Maka mereka seperti orang yang terbunuh karena perbuatan diri sendiri dan perbuatan orang lain, sehingga setengah diyatnya gugur.
(Agar api (asap dapur) keduanya (muslim dan musyrik) tidak saling terlihat) Pengarang An-Nihayah (fi Gharibil Hadits, pent) menyatakan, maksudnya rumah seorang muslim harus berjauhan dari sumah seorang musyrik. Ia tidak boleh tinggal di sebuah tempat, di mana bila ia menyalakan api dapur, asapnya membumbung dan terlihat oleh orang musyrik yang sedang menyalakan api dapur rumahnya. Seharusnya, ia tinggal bersama kaum muslimin. Hadits ini menghasung untuk hijrah.
Imam Al-Khatabi berkata," Makna hadits ini ada tiga :
• Hukum keduanya tidak sama.
• Allah membedakan negeri Islam (darul Islam) dengan negeri kafir (darul-kufri). Maka seorang muslim tidak boleh tinggal bersama orang-orang kafir di negeri mereka. Sehingga ketika mereka menyalakan api dapur, ia bisa melihatnya sehingga dianggap sebagai bagian dari mereka.
• Seorang muslim tidak boleh memiliki sifat orang musyrik, dan tidak boleh menyerupai perangai dan penampilan fisik mereka."
Imam Ibnu Qayyim dalam Hasyiyah 'Ala Sunan Abi Daud (dicetak dibawah 'Aunul Ma''bud) 7/218 berkata :
" Sebagian ulama menyatakan, Rasulullah memerintahkan membayar setengah diyat bagi mereka setelah beliau mengetahui keislaman mereka, karena mereka telah membantu pembunuhan atas diri mereka sendiri dengan tinggal di tengah orang-orang kafir. Maka, mereka seperti orang yang terbunuh karena perbuatan diri mereka sendiri dan perbuatan orang lain. Penjelasan sebagian ulama ini sangat bagus.
Hal yang nampak jelas dari makna hadits ini, bahwa api dapur merupakan lambang saat singgah dan alamat sebuah kaum. Api dapur mengundang orang lain untuk mendatangi mereka. Seorang yang datang di waktu malam (musafir) akan akrab kepadanya. Jika ia telah tersisa dengannya (dengan kedinginan dan tiadanya api), ia akan bertetangga dan berdamai dengan mereka.
Api orang-orang musyrik mengajak kepada setan dan api neraka akhirat, karena ia dinyalakan dalam bermaksiat kepada Allah. Sementara api orang-orang beriman mengajak kepada Allah, ketaatan kepada-Nya dan meninggikan dien-Nya. Lantas, bagaimana kedua api yang demikian keadaannya ini bisa bersatu ?
Sabda beliau ini termasuk perkataan yang paling fasih dan agung, mengandung makna yang agung dan banyak dalam ungkapan yang pendek. Imam Nasai telah meriwayatkan sebuah hadits dari Bahz bin Hakim dari bapaknya (Hakim bin Mu'awiyah) dari kakeknya (Mu'awiyah bin Haidah) :

قُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ, مَا أَتَيْتُكَ حَتَّى حَلَفْتُ أَكْثَرَ مِنْ عَدَدِهِنَّ لِأَصَابِعِ يَدَيْهِ, أَلَّا آتِيَكَ وَلَا آتِيَ دِينَكَ, وَإِنِّي كُنْتُ امْرَأً لَا أَعْقِلُ شَيْئًا إِلَّا مَا عَلَّمَنِي اللَّهُ وَرَسُولُهُ. وَإِنِّي أَسْأَلُكَ بِوَجْهِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ. بِمَا بَعَثَكَ رَبُّكَ إِلَيْنَا؟ قَالَ بِالْإِسْلَامِ.
قُلْتُ وَمَا آيَاتُ الْإِسْلَامِ؟ قَالَ أَنْ تَقُولَ أَسْلَمْتُ وَجْهِي إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَتَخَلَّيْتُ وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ كُلُّ مُسْلِمٍ عَلَى مُسْلِمٍ مُحَرَّمٌ أَخَوَانِ نَصِيرَانِ لَا يَقْبَلُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ مُشْرِكٍ بَعْدَمَا أَسْلَمَ عَمَلًا أَوْ يُفَارِقَ الْمُشْرِكِينَ إِلَى الْمُسْلِمِينَ

Mu'awiyah bin Haidah," Wahai Nabiyullah ! Saya tidak mendatangi anda kecuali setelah bersumpah sebanyak jari-jari tanganku bahwa aku tidak akan mendatangi anda dan agama anda. Saya ini seorang yang tidak memahami apapun selain yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya kepada saya. Saya bertanya kepada anda dengan wajah Allah, dengan apa Rabb anda mengutus anda ?
Rasulullah," Dengan Islam."
Mu'awiyah," Apa tanda-tanda Islam ?"
Rasulullah," Engkau ucapkan "aku serahkan wajahku kepada Allah dan aku lepaskan (seluruh kesyirikan)", engkau tegakkan shalat dan engkau tunaikan zakat. Setiap muslim atas muslim yang lain adalah haram (darah, harta dan kehormatannya). Seorang muslim atas muslim yang lain adalah dua saudara yang saling menolong. Allah tidak akan menerima amalan apapun yang dilakukan oleh seorang musyrik yang masuk Islam, sampai ia memisahkan diri dari orang-orang musyrik dan bergabung dengan kaum muslimin."


Respon yang Proporsional

Inilah petunjuk Rasulullah Shallalahu 'alahi wa salam. Beliau memerintahkan para sahabat membayar setengah diyat bagi kaum muslimin yang menjadi korban. Namun, beliau juga memberi peringatan keras terhadap kaum muslimin yang tinggal bersama kaum kafir.
" Saya berlepas diri dari seorang muslim yang tinggal di tengah-tengah kaum musyrik."
Beliau tidak mencela, menyalahkan, menghujat, mengutuk atau berlepas diri dari para sahabat yang berperang dan membunuh sebagian kaum muslimin yang tinggal bersama orang-orang kafir Bani Khats'am tersebut.
Padahal beliau pernah mencela dengan keras sahabat Usamah bin Zaid yang membunuh seorang musyrik yang mengucapkan dua kalimat syahadat saat terjepit dalam peperangan.

عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ قَالَ :بَعَثَنَا رَسُوْلُ اللهِ اِلَى الْحَرْقَةَ مِنْ جُهَيْنَةَ فَصَبَّحْنَا الْقَوْمَ فَهَزَمْنَاهُمْ وَلَحِقْتُ اَنَا وَرَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَاِر رَجُلًا مِنْهُمْ فَلَمَّا غَشَيْنَاهُ قَالَ لَا اِلَهَ إِلَّا اللهُ. فَكَفَّ عَنْهُ الْأَنْصَارُ وَطَعَنْتُهُ بِرُمْحِي حَتَى قَتَلْتُهُ. فَلَمَّا قَدِمْنَا بَلَغَ ذَلِكَ النَّبِي صلى الله عليه وسلم فَقَالَ ليِ : يَا أُسَامَةُ أَقَتَلْتَهُ بَعْدَ مَا قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ ؟ قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّمَا كَانَ مُتَعَوِّذًا. قَالَ : أَقَتَلْتَهُ بَعْدَ مَا قَالَ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللهُ ؟ فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى تَمَنَّيْتُ أَنِّي لَمْ أَكُنْ أَسْلَمْتُ قَبْلَ ذَلِكَ الْيَوْمِ.
Dari Usamah bin Zaid ia berkata,” Rosululloh shalallahu ‘alaihi wasallam mengutus kami ke Huroqoh dari Juhainah. Lalu kami menyergap mereka di waktu pagi dan mengalahkan mereka. Lalu saya bersama orang anshor mengejar seseorang dari mereka. Setelah kami menguasainya, ia mengucapkan laa ilaaha illalloh. Orang anshor tersebut tidak menahan dirinya (tidak membunuhnya), maka kutusuk ia dengan tombakku sampai mati.
Ketika kami sampai di Madinah dan berita itu sampai kepada Rosululloh shalallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda kepadaku:“Wahai Usamah, apakah kau bunuh padahal dia telah mengucapkan laa ilaaha illalloh?” Lalu kujawab,” Wahai Rosululloh, ia mengatakannya hanya untuk melindungi dirinya.” Beliau bersabda lagi,” Wahai Usamah, apakah kau bunuh padahal dia telah mengucapkan laa ilaaha illalloh?” Rosululloh shalallahu ‘alaihi wasallam terus mengulang-ulangnya sampai-sampai saya berangan-angan seandainya aku tidak masuk Islam sebelum hari itu.
Dalam riwayat Muslim :
أَقَالَ لَا اِلَهَ إِلَّا الله وَقَتَلْتَهُ ؟ قُلْتُ :بَا رَسُولَ اللهِ إِنَّمَا قَالَهَا خَوْفًا مِنَ السِّلَاحِ. قَالَ : أََفَلَا شَقَقْتَ عَنْ قَلْبِهِ حَتَّى تَعْلَمَ أَقَالَهَا أَمْ لَا.
“ Apakah ia sudah mengucapkan laa ilaaha illalloh lalu tetap kamu bunuh ?” Usamah menjawab,”Ya Rasulullah, ia mengucapkannya karena takut kepada senjata.” Rasulullah bersabda,” Apakah sudah kau belah dadanya sehingga kamu mengetahui ia mengatakanmnya atau tidak.”
Beliau juga berlepas diri dari Khalid bin Walid saat membunuh orang-orang musyrik Bani Judzaimah yang tidak bisa mengucapkan "kami masuk Islam". Beliau membayar diyat penuh atas peristiwa itu, dan bahkan berdoa," Ya Allah, aku berlepas diri kepada-Mu dari apa yang dilakukan Khalid."

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ : بَعَثَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم خَالِدَ بْنَ الْوَلِيْدِ اِلَى بَنِي جُذَيْمَةَ فَدَعَاهُمْ اِلَى الْإِسْلَامِ فَلَمْ يُحْسِنُوا أَنْ يَقُوْلُوْا أَسْلَمْنَا. فَجَعَلُوا يَقُوْلُوْنَ صَبَأْنَا صَبأْنَا. فَجَعَلَ خَالِدٌ يَقْتُلُ فِيْهِمْ وَ يَأْسِرُ وَدَفَعَ اِلَى كُلِّ رَجُلٍ مِنَّا أَسِيْرَهُ. حَتَّى إِذَا كَانَ يَوْمٌ أَمَرَ خَالِدٌ أَنْ يَقْتُلَ كُلُّ رَجُلٍ مِنَّا أَسِيْرَهُ. فَقُلْتُ : وَاللهِ لَا أَقْتُلُ أُسِيْرِي وَلَا يَقْتُلُ رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِي أَسِيْرَهُ حَتَّى قَدِمْنَا عَلَى النَّبِي فَذَكَرْنَاهُ. فَرَفَعَ النَّبِي يَدَيْهِ فَقَالَ : اَللَّهُمَّ إِنِّي أَبْرَأُ إِلَيْكَ مِمَّا صَنَعَ خاَلِدٌ.
Dari Abdullah Ibnu Umar ra. Ia berkata,” Rasulullah mengutus Kholid bin Al-Walid ke Bani Judzaimah. Ia mengajak mereka untuk masuk Islam.Mereka tidak bisa mengucapkan أَسْلَمْنَا (Kami masuk Islam), Mereka hanya bisa mengucapkan ” صَبَأْنَا صَبأْنَا “. Maka Khalid membunuh sebagian mereka dan menawan sebagian lainnya. Ia menyerahkan seorang tawanan kepada masing-masing kami. Suatu hari Khalid memerintahkan setiap kami untuk membunuh tawanan masing-masing, namun kukatakan,” Demi Allah, saya tidak akan membunuh tawananku dan setiap sahabatku tak akan membunuh tawanannya.” (Perkara itu kami tangguhkan) hingga kami datang kepada nabi dan kami menceritakannya kepada beliau. Ketika itu Rosululloh mengangkat kedua tangannya dan berdoa,” Ya Allah. Aku berlepas diri dari perbuatan Khalid.”
Sungguh berbeda sekali apa yang dilakukan kaum muslimin zaman sekarang dengan petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam. Saat mujahidin melakukan serangan kepada orang-orang kafir dan sebagian kaum muslimin jatuh sebagai korban, para tokoh masyrakat, pemerintahan, organisasi dan partai Islam berlomba-lomba untuk mengecam, mengutuk dan mengharamkan operasi tersebut. Bahkan, mereka bahu membahu dengan orang-orang kafir dan murtad untuk memberantas dan memerangi mujahidin. Ironsinya, mereka sama sekali tidak mencela, mengutuk dan memerangi orang-orang kafir tersebut. Pun, tidak mencela, mengutuk dan berlepas diri dari kaum muslimin yang tinggal, membantu dan bekerja untuk orang-orang kafir tersebut.
Bagaimana sebuah ibadah yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya dicela, dikutuk, dimusuhi dan diperangi ? Sementara kekafiran, kezaliman terhadap umat Islam di seantero dunia, tinggal dan bekerja untuk orang-orang kafir tidak perangi ? Bahkan dicela dan dikutukpun tidak ? Sungguh, akal dan agama manusia sudah berubah.
Wallahu a'lam bish shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan berikan nasehat anda :