Sabtu, 07 November 2009

Jihad Melawan Orang-Orang Kafir Yang Memerangi (8)

Selain mensyariatkan jihad yang bersifat ofensif, Islam juga mensyariatkan jihad yang bersifat defensif, membela diri. Dalam istilah fiqih, jihad defensif dikenal dengan istilah Jihadu Difa' (Jihad Defensif). Semua bangsa, negara dan agama di dunia ini juga menganut prinsip perang demi membela diri. Dengan demikian, perang demi membela diri ini telah disepakati dan dipraktekkan oleh seluruh umat manusia, sejak zaman dahulu sampai sekarang.

1- Pengertian Jihad Difa' :
Berjihad melawan musuh yang menyerang atau menduduki salah satu wilayah atau lebih dari wilayah umat Islam.
Bentuk jihad defensif yang paling sering dikenal dalam fikih Islam adalah :
- Jihad melawan musuh yang menyerang atau menduduki wilayah kaum muslimin.
- Jihad melawan musuh yang menawan satu atau lebih kaum muslimin

2- Hukum Jihad Melawan Musuh yang Menyerang Wilayah Islam

Jika musuh telah menyerang suatu negeri kaum muslimin, maka jihad melawan musuh menjadi wajib ‘ain bagi seluruh penduduk negeri tersebut. Bila penduduk negeri tersebut tidak mampu mengusir musuh, maka kaum muslimin di negeri-negeri tetangga wajib membantu. Bila penduduk negeri-negeri tetangga terebut juga belum mampu mengusir musuh, kewajiban mengusir musuh meluas sampai akhirnya mengenai seluruh umat Islam di seluruh penjru dunia.
Demikian juga jika musuh telah menguasai daerah atau negara Islam, maka wajib ‘ain bagi setiap umat Islam untuk membebaskannya dari cengkeraman musuh. Hukum fardhu 'ain ini telah menjadi kesepakatan seluruh ulama (ijma').
Hukum ini berdasar beberapa ayat dan hadits :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“ Hai orang-orang yang beriman jika kamu bertemu sekelompok pasukan musuh maka tetaplah kamu ditempat itu dan banyaklah berdzikir supaya kalian menang.”(QS. Al Anfaal :45)

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَالَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا زَحْفًا فَلاَ تُوَلُّوهُمُ اْلأَدْبَار
“ Hai orang-orang yang beriman jika kamu bertemu orang-orang kafir (di medan perang) maka janganlah kalian lari membelakangi mereka.” (QS. Al Anfaal : 15)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّه عَنْه عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ ! قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ ؟ قَالَ : الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ.
Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam bersabda bersabda,” Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan !!! Para shahabat bertanya," Apa itu ya Rasulullah? Beliau menjawab,” Berbuat syirik kepada Alloh, perbuatan sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Alloh kecuali dengan alasan yang benar, makan harta riba, makan harta anak yatim, melarikan diri dari medan pertempuran dan menuduh wanita mukminah yang baik-baik berzina.”

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ العَاصِ قَالَ, قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُسْلِمُونَ تَتَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ يَسْعَى بِذِمَّتِهِمْ أَدْنَاهُمْ وَيُجِيرُ عَلَيْهِمْ أَقْصَاهُمْ وَهُمْ يَدٌ عَلَى مَنْ سِوَاهُمْ, يَرُدُّ مُشِدُّهُمْ عَلَى مُضْعِفِهِمْ وَمُتَسَرِّيهِمْ عَلَى قَاعِدِهِمْ, لَا يُقْتَلُ مُؤْمِنٌ بِكَافِرٍ وَلَا ذُو عَهْدٍ فِي عَهْدِهِ.
Dari Abdullah bin Amru bin 'Ash, ia berkata," Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam bersabda : Darah kaum muslimin itu satu level (sejajar dalam masalah qisash dan diyat, pent). Orang yang paling rendah di antara mereka bisa memberi jaminan keamanan (amanul jiwar), dan satu sama lain saling membantu dalam menghadapi musuh. Orang yang kendaraannya kuat membantu orang yang kendaraannya lemah, orang yang terlibat perang membantu orang yang tidak berperang (memberi jatah ghanimah, pent). Seorang mukmin tidak boleh dibunuh karena ia membunuh seorang kafir, dan orang kafir yang terikat perjanjian damai tidak boleh dibunuh."

Di bawah ini disebutkan beberapa pernyataan ulama dari masing-masing madzhab :
[A]. Madzhab Hanafi
Imam 'Alaudin Al-Kasany (587 H) mengatakan ;
“ Jika penduduk tsughur tidak mampu melawan orang-orang kafir, dan ditakutkan musuh akan menguasai mereka maka kaum muslimin yang berada di daerah-daerah terdekat di belakang daerah mereka (tsughur) wajib berangkat berperang dan mengirim bantuan senjata dan harta, berdasar apa yang telah kami sebutkan bahwa saat itu jihad hukumnya wajib atas seluruh orang ahlul jihad (muslim, akal sehat, baligh, tidak cacat dan mempunyai kemampuan, pent). Kewajiban ini gugur atas kaum muslimin yang lain bila sebagian kaum muslimin sudah mencukupi.
Adapun jika terjadi seruan perang (mobilisasi) umum karena musuh menyerang suatu negeri, maka jihad menjadi fardhu ‘ain atas tiap individu dari kaum muslimin yang mampu, berdasarkan firman Allah ta’ala : “Berangkatlah kalian berperang, baik merasa ringan maupun berat "[QS. 9:41]. Dikatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan mobilisasi (seruan jihad). Juga berdasar ayat " TIdak selayaknya bagi penduduk Madinah dan orang-orang badui yang tinggal di sekitar Madinah, untuk tidak turut pergi berperang bersama Rasululah. Tidak patut bagi mereka lebih mencintai diri mereka sendiri atas diri Rasulullah" [QS. 9:120] Juga karena telah tegas ada kewajiban berjihad atas semuanya meski sebelum terjadinya mobilisasi, dikarenakan gugurnya kewajiban jihad atas sebagian orang itu baru terjadi bila sebagian lain telah melaksanakannya (itupun dengan syarat telah menuntaskan pekerjaan, pent).
Jika terjadi mobilisasi umum, jihad tidak akan terealisasi kecuali dengan seluruh umat turut berjihad. Maka jihad tetap fardhu 'ain atas seluruh umat Islam, seperti kedudukan shoum dan sholat. Seorang budak berperang tanpa harus minta izin tuannya, seorang istri berperang tanpa minta izin suami ; karena menurut syariat, manfaat budak dan istri dalam urusan-urusan ibadah yang fardhu ain merupakan pengecualiaan dari kepemilikan tuan dan suami; sebagaimana dalam hal shaum dan shalat. Demikian juga boleh seorang anak keluar berperang tanpa ijin orang tua, sebab hak kedua orang tua tidak dimenangkan (harus dikalahkan) dalam persoalan-persoalan fardhu ‘ain seperti dalam shoum dan sholat. Wallahu A'lam.”
Imam Ibnu ‘Abidin Muhammad Amin bin Umar Al Hanafi (1252 H) mengatakan :
” Hukum jihad adalah fardhu ‘ain bila musuh menyerang sebuah wilayah (daerah perbatasan) kaum muslimin, yaitu bagi kaum muslimin yang terdekat dengan wilayah itu. Adapun bagi penduduk yang jauh dari wilayah tersebut adalah fardhu kifayah jika tidak diperlukan untuk membela wilayah yang diserang itu. Tapi kalau mereka dibutuhkan karena penduduk wilayah yang diserang lemah (tidak mampu) mengusir musuh atau tidak lemah namun malas-malasan maka kewajiban melawan musuh menjadi fardhu ‘ain atas penduduk yang lebih jauh dari wilayah itu seperti wajibnya sholat dan shaum. Mereka tidak boleh meninggalkannya, begitu seterusnya sampai akhirnya wajib atas seluruh umat Islam di belahan bumi Timur dan Barat."
Imam Muhammad bin Ali Al-Hashkafi (1088 H) pengarang Ad-Durul Mukhtar mengataan (Dan fardhu ‘ain ketika musuh menyerang, maka semuanya keluar berperang meski tanpa izin ). Imam Ibnu Abidin menerangkan maksud perkataan ini dengan mengatakan:
” Maksudnya (fardhu ain atas) orang yang dekat dengan musuh. Jika mereka tidak mampu atau bermalas-malasan, maka kewajiban (fardhu ain mengusir musuh) meluas atas orang yang lebih dekat kepada mereka, demikian seterusnya sampai kewajiban mengenai kaum muslimin di Timur dan Barat…Dalam Al Fatawa Al Bazaziyah disebutkan,”Sekiranya ada seorang wanita muslimah yang tertawan di bumi belahan timur, wajib bagi penduduk bumi belahan barat untuk membebaskannya."
Imam Al Jashash Al-Hanafi berkata :
“ Sudah sama diketahui termasuk akidah (keyakinan) seluruh kaum muslimin, bahwa jika penduduk tsughur (perbatasan yang berbatasan dengan daerah musuh--pent) takut terhadap serangan musuh dan mereka tidak mampu melawan mereka, sehingga mereka mengkhawatirkan negeri, nyawa dan keturunan mereka, maka wajib bagi seluruh umat Islam untuk berangkat perang sampai mereka bisa menolak serangan musuh. Hal ini tidak diperselisihkan lagi di kalangan umat Islam, karena tak seorang muslimpun yang menyatakan bolehnya berdiam diri tidak melawan mereka (musuh) sehingga mereka menumpahkan darah kaum muslimin dan menawan keturunannya.”
Imam At Tahanawi mengatakan:
” Jika orang-orang kafir menyerang sebuah negeri dari negeri-negeri kaum muslimin, jihad berubah menjadi fardhu ‘ain atas setiap mukalaf yang tidak mempunyai udzur. Para ulama telah berijma’ bahwa jika musuh menyerang salah satu negeri kaum muslimin, wajib hukumnya atas setiap mukalaf penduduk negeri tersebut yang tidak mempunyai udzur untuk keluar berperang, baik ia seorang merdeka atau budak, kaya atau miskin, karena jihad saat itu menjadi farhu ‘ain sehingga tidak ada kekuasaan tuan atas seorang budak, hak orang yang menghutangi dan hak orang tua, seperti sholat dan shaum (tak perlu izin tuan, orang yang mempiutangi dan orang tua-ed).
Imam Abu Hanifah mengatakan seorang perempuan berangkat berperang tanpa perlu izin suaminya, karena suami tidak bisa mencampuri urusan yang hukumnya sudah fardhu ‘ain. Jika penduduk negeri itu sudah cukup untuk mengusir musuh, maka kewajiban gugur atas penduduk negeri-negeri di belakangnya. Tetapi jika penduduk negeri itu saja belum cukup (kifayah), maka penduduk negeri yang dekat dengan mereka wajib membantu. Jika penduduk yang paling dekat tidak membantu, maka wajib bagi penduduk negeri-negeri yang lebih dekat lainnya untuk membantu.”
Fatwa yang sama disebutkan oleh imam Zainudin Ibnu Nujaim Al-Hanafi (970 H) dalam Al-Bahrur Rooiq Syarhu Kanzud Daqo-iq 5/191 dan imam Kamaludin Muhammad Abdul Wahid Ibnul Hammam Al-Hanafi (861 H) dalam Fathul Qadir Syarhul Hidayah 5/191.

[B]. Madzhab Maliki
Imam Ibnu Abdil Barr mengatakan :
" Jihad hukumnya fardhu 'ain umum atas setiap orang yang mampu melakukan perlawanan, peperangan dan memanggul senjata dari kalangan orang-orang baligh yang merdeka. Ini manakala musuh memerangi dan menguasai Negara Islam. Jika demikian halnya, maka wajib bagi seluruh penduduk Negara tersebut untuk berperang; baik ringan maupun berat, anak-anak muda maupun orang tua.
Tidak boleh ada yang tidak ikut keluar berperang, baik ia kaya maupun miskin. Jika penduduk negeri itu tak mampu mengusir musuh, maka penduduk negara yang berdekatan dan bertetangga (baik mereka sedikit maupun banyak) wajib ikut mengusir musuh, sampai mereka diketahui mampu menahan dan mengusir musuh.
Demikian juga setiap orang yang mengetahui bahwa penduduk negeri yang diserang lemah tak sanggup mengusir musuh, dan ia tahu bahwa ia bisa bergabung dan membantu mereka, maka wajib baginya keluar berperang, karena umat Islam adalah satu tangan (kesatuan) dalam menghadapi musuh. Jika penduduk negeri yang diserang musuh berhasil mengusir musuh, maka barulah kewajiban gugur atas kaum muslimin yang lain.
Seandainya musuh bergerak mendekati Darul Islam namun belum masuk menyerbu, kaum muslimin tetap wajib keluar mengusir mereka."
Imam Ibnu al Arabi Al-Maliki berkata :
” Kadang terjadi kondisi di mana mobilisasi umum itu wajib karena jihad telah menjadi fardhu ‘ain dengan menangnya musuh atas satu daerah dari daerah-daerah kaum muslimin atau berkuasanya musuh di negeri kaum muslimin, maka wajib bagi seluruh orang untuk keluar berjihad. Jika mereka meremehkannya maka mereka berdosa."
Ketika menafsirkan firman Allah QS. At Taubah : 41 (artinya : berangkatlah kalian berperang dalam keadaan ringan maupun berat…), Imam al Qurthubi mengatakan :
“ Kadang terjadi kondisi di mana mobilisasi umum itu wajib …yaitu ketika jihad telah menjadi fardhu ‘ain dengan menangnya musuh atas satu daerah dari daerah-daerah kaum muslimin, atau mereka menduduki (menjajah) Negara Islam. Maka saat itu wajib bagi seluruh penduduk negeri itu untuk keluar dan berangkat berperang; baik dalam keadaan berat maupun ringan, masih muda maupun sudah tua; masing-masing berdasar kemampuannya. Siapa mempunyai ayah tak perlu izin ayahnya, demikian pula yang tak berayah lagi.
Tidak boleh ada yang tidak ikut keluar berperang, baik ia kaya maupun miskin. Jika penduduk negeri itu tak mampu mengusir musuh, maka penduduk negara yang berdekatan dan bertetangga wajib ikut mengusir musuh, sampai mereka diketahui mampu menahan dan mengusir musuh.
Demikian juga setiap orang yang mengetahui bahwa penduduk negeri yang diserang lemah tak sanggup mengusir musuh, dan ia tahu bahwa ia bisa bergabung dan membantu mereka, maka wajib baginya keluar berperang, karena umat Islam adalah satu tangan (kesatuan) dalam menghadapi musuh. Jika penduduk negeri yang diserang musuh berhasil mengusir musuh, maka barulah kewajiban gugur atas kaum muslimin yang lain.
Seandainya musuh bergerak mendekati Darul Islam namun belum masuk menyerbu, kaum muslimin tetap wajib keluar mengusir mereka sampai dienullah menang, wilayah terjaga, penduduk terlindungi dan musuh dihinakan. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat lagi."
Jika ada yang bertanya," Apa yang harus dilakukan oleh seorang diri jika semua orang melalaikan tugas ini ?” Maka dijawab," Ia harus menebus (membebaskan) satu orang tawanan." Ada ulama mengatakan (yang mengatakan adalah imam Ibnu Al Arabi Al Maliki, pent) : Musuh telah menduduki negeri kami (Andalus) pada tahun 527 H. Mereka merajalela seenaknya di tengah daerah-daerah kami, menawan orang-orang terbaik di antara kami dan memasuki negeri kami dengan jumah pasukan yang menggetarkan masyarakat. Maka saya katakan kepada gubernur: " Ini dia musuh Allah sudah masuk dalam "perangkap dan jarring". Maka hendaklah seluruh orang keluar (melawan) sampai tidak tersisa lagi seorangpun di seluruh daerah, lalu mengepung musuh. Musuh pasti akan binasa, mustahil bisa selamat, jika Allah memudahkan kalian untuk mengalahkannya." Sayang, dosa dan maksiat telah mengalahkan masyarakat (sehingga tidak mau bertempur). Semua orang sudah menjadi musang (pelanduk) yang lebih suka bersembunyi di sarangnya, sekalipun tahu tetangganya sedang menghadapi tipu daya musuh. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un."
Fatwa serupa disebutkan oleh imam Syamsudien Muhammad bin Ahmad bin Arafah Al-Dasuqi Al-Maliki (1230 H) dalam Hasyiyah Ad Dasuqi 'ala Asy Syarhil Kabir 2/174.

[c]. Madzhab Syafi'i
Imam An Nawawi berkata :
” Jenis kedua. Jihad yang hukumnya fardhu ‘ain, yaitu jika orang kafir menduduki negeri kaum muslimin atau menyerangnya dan sudah berada di pintu gerbangnya ingin masuk menguasai namun belum memasukinya, maka hukumnnya fardhu ‘ain., dengan perincian yang akan kami jelaskan insya Allah. Dalam jihad jenis ini, tidak wajib meminta izin kedua orang tua dan orang yang mempiutangi…Jika penduduk negeri (yang diserang) tidak mempunyai kifayah (kecukupan dan kemampuan mengusir musuh), wajib atas mereka (kaum muslimin di Negara-Negara lain) untuk terbang ke arah mereka (segera berangkat membantu mengusir musuh).
Inilah makna perkataan imam Al-Baghawi (jika musuh menyerang Negara Islam, maka jihad menjadi fardhu 'ain bagi kaum muslimin yang dekat dan fardhu kifayah bagi kaum muslimin yang jauh…Bagaimana bisa membiarkan kaum kafir menguasai Negara Islam, padahal mereka bisa dilawan ?"
Beliau juga berkata :
” Jika orang-orang kafir memasuki sebuah negeri kita, atau menguasainya atau sudah berada di pintu gerbangnya namun belum masuk, sedangkan jumlah mereka seimbang (sama banyak) dengan penduduk negeri tersebut, atau lebih sedikit dari dua kali lipat penduduk negeri tersebut, maka jihad pada saat itu menjadi fardhu ‘ain. Seorang budak berangkat berperang tanpa perlu izin tuannya, seorang wanita berangkat berperang tanpa perlu izin suaminya jika memang si wanita bisa membela diri menurut salah satu dari dua pendapat yang lebih benar. Demikian juga seorang anak berangkat berperang tanpa perlu izin kedua orang tuanya, orang yang berhutang berangkat berperang tanpa perlu izin orang yang mempiutangi. Pendapat ini juga menjadi pendapat imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal.”
Beliau juga berkata :
" Para sahabat kami (ulama Syafi'iyah) menyatakan jihad hari ini fardhu kifayah, kecuali jika orang-orang kafir menduduki negeri kaum muslimin, maka saat itu jihad menjadi fardhu 'ain. Jika penduduk negeri tersebut tidak mempunyai kemampuan yang cukup (kifayah), maka wajib bagi penduduk negeri selainnya untuk membantu sehingga tercapai kifayah."
Imam Al Juwaini berkata :
“ Adapun jika orang-orang kafir menduduki negeri kaum muslimin, maka para ulama telah sepakat bahwa hukumnya fardhu ‘ain atas kaum muslimin untuk segera berangkat perang melawan mereka baik berombongan atau sendirian, sehingga seorang budak berangkat perang secara paksa dan keluar dari belenggu ketaatan kepada tuannya.”
Fatwa serupa disebutkan juga oleh imam Syafi'i dalam Al-Umm 4/170, imamSyamsudin Muhammad bin Ahmad bin Hamzah Al-Ramli (1004 H) dalam Nihayatu Muhtaj Syarhul Minhaj 8/58, imam Muhammad Syamsudien Al-Syarbini Al-Khatib (977 H) dalam Mughnil Muhtaj Syarhul Minhaj 4/209. imam Ibnu Nuhas Ad Dimyathi dalam Masyari'ul Asywaq ila Mashari'il Usyaq 1/101 dan imam Ibnu Hajar Al-Haitsami dalam Al-Zawajir 'an Iqtirafil Kabair 2/359.

[d]. Madzhab Hambali.
Imam Ibnu Qudamah berkata,” Hukum jihad menjadi fardhu ‘ain dengan tiga sebab :
Pertama: Pada waktu pasukan kaum muslimin bertemu dengan pasukan orang-orang kafir dan berhadapan di medan pertempuran. Bagi yang berada di tempat ketika itu diharamkan melarikan diri. Ia wajib bertempur menghadapi musuh. Dalilnya adalah firman Alloh

كَمَآأَخْرَجَكَ رَبُّكَ مِن بَيْتِكَ بِالْحَقِّ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنَ الْمُؤْمِنِينَ لَكَارِهُونَ
“ Sebagaimana Rabbmu menyuruhmu pergi dari rumahmu dengan kebenaran, padahal sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya.” (QS. Al Anfal: 5).

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَالَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا زَحْفًا فَلاَ تُوَلُّوهُمُ اْلأَدْبَار، وَمَن يُوَلِّهِمْ يَوْمَئِذٍ دُبُرَهُ إِلاَّ مُتَحَرِّفًا لِقِتَالٍ أَوْ مُتَحَيِّزًا إِلَى فِئَةٍ فَقَدْ بَآءَ بِغَضَبٍ مِّنَ اللهِ وَمَأْوَاهُ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
“Hai orang-orang yang beriman apabila kalian bertemu dengan orang-orang kafir yang sedang menyerang kalian, maka janganlah kalian mudur membelakangi mereka. Barangsiapa yang mundur membelakangi mereka ketika itu, kecuali berbelok untuk mengatur siasat atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan Alloh dan tempat kembalinya adalah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya". (QS. Al-Anfal: 15-16).
Kedua: Bila musuh datang menyerbu negri kaum muslimin, wajib bagi penduduk negri itu untuk berperang menghadapi musuh guna mempertahankan daerah mereka.
Ketiga: Bila imam memerintahkan kaum muslimin untuk keluar berperang. Maka bagi yang ditunjuk wajib untuk memenuhi seruan. Berdasarkan firman Allah [QS. At Taubah :38-39]. Serta berdasarkan sabda Rasululloh shollallahu ‘alaihi wasallam,”Jika kamu diminta untuk berangkat (berjihad fi sabilillah) hendaklah kamu segera berangkat.” (HR Muslim dan Ahmad).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan :

وَأَمَّا قِتَالُ الدَّفْعِ فَهُوَ أَشَدُّ أَنْوَاعِ دَفْعِ الصَّائِلِ عَنِ اْلحُرْمَةِ وَالدِّينِ فَوَاجِبٌ إِجْمَاعاً ، فَالْعَدُوُّ الصَّائِلُ الَّذِي يُفْسِدُ الدِّينَ وَالدُّنْيَا لاَ شَيْءَ أَوْجَبُ بَعْدَ اْلإِيْمَانِ مِنْ دَفْعِهِ ، فَلاَ يُشْتَرَطُ لَهُ شَرْطٌ بَلْ يُدْفَعُ بِحَسْبِ اْلإِمْكَانِ ، وَقَدْ نَصَّ عَلَى ذَلِكَ الْعُلَمَاءُ مِنْ أَصْحَابِنَا وَغَيْرِهِمْ، فَيَجِبُ التَّفْرِيقُ بَيْنَ دَفْعِ الصَّائِلِ الظَّالِمِ الْكَافِرِ وَبَيْنَ طَلَبِهِ فِي بِلاَدِهِ
” Perang defensive merupakan bentuk perang melawan agresor yang menyerang kehormatan dan agama yang paling wajib, hukumnya wajib berdasar ijma’. Musuh yang menyerang yang merusak dien dan dunia tidak ada kewajiban yang lebih penting setelah beriman selain melawannya, maka tidak dipersyaratkan adanya syarat apapun, tetapi dilawan sesuai kemampuan yang ada. Ini sudah ditegaskan para ulama madzhab kami dan madzhab lainnya, maka wajib dibedakan antara melawan musuh dzalim kafir yang menyerang (jihadu difa') dengan jihad melawan mereka di negeri mereka (jihadu thalab).”
Beliau juga berkata :
“Apabila musuh menyerang negeri Islam maka tidak diragukan lagi atas wajibnya melawan mereka atas orang yang berada paling dekat dengan mereka kemudian orang yang paling dekat setelah mereka, karena negeri-negeri kaum muslimin itu bagaikan satu negeri, dan sesungguhnya juga wajib untuk an-nafiir ke daerah tersebut tanpa seizin orang tua atau orang yang menghutangi. Pendapat-pendapat imam Ahmad menegaskan hal ini."
Imam Manshur bin Yunus Al Bahuti (1051 H) mengatakan :
“ Barang siapa berada dalam barisan perang sedang ia orang yang terkena kewajiban jihad (yaitu seorang laki-laki, merdeka, mukalaf, mampu dan muslim) seperti ketika musuh menyerangnya, atau menyerang negerinya, atau kaum muslimin di negeri yang jauh membutuhkan bantuan jihadnya atau pasukan kaum muslimin bertemu dengan pasukan kafir atau imam memerintahkannya berperang (dan ia tidak mempunyai udzur) maka jihad menjadi fardhu ‘ain atasnya.”

Para ulama kontemporer juga mengutip ijma' seluruh ulama atas fardhu 'ain jihad bila musuh menyerang atau menduduki sebuah wilayah umat Islam.
Dr. Abdulloh Azzam berkata :
“ Kondisi pertama jihad menjadi fardhu ‘ain yaitu orang-orang kafir menyerang sebuah negeri kaum muslimin. Dalam kondisi ini seluruh ulama salaf, khalaf, fuqaha’ empat madzhab, para ulama hadits dan ulama tafsir dalam seluruh masa telah bersepakat bahwa jihad pada saat itu telah menjadi fardhu ‘ain bagi penduduk negeri tersebut dan penduduk negeri terdekat. Seorang anak berangkat berperang tanpa perlu izin orang tuanya, seorang istri berangkat perang tanpa perlu izin suaminya, dan seorang yang berhutang berangkat berperang tanpa perlu izin orang yang mempiutangi.
Jika penduduk negeri tersebut tidak mampu mengusir musuh, atau mereka tidak sungguh-sungguh atau malas atau tidak mau berperang mengusir musuh, maka kewajiban fardhu ‘ain mengenai penduduk negeri-negeri terdekat, kemudian yang lebih jauh, kemudian yang lebih jauh lagi dan seterusnya. Jika penduduk negeri terdekat juga tidak mampu mengusir musuh atau tidak sungguh-sungguh mengusir musuh, maka kewajiban terus mengenai penduduk negeri terdekat seterusnya sampai akhirnya mengenai seluruh kaum muslimin di seluruh dunia.”
Beliau juga berkata :
“ Apabila musuh menyerang sejengkal tanah saja dari negeri kaum muslimin, maka jihad hukumnya menjadi fardlu ‘ain menurut pendapat seluruh ulama fiqih, tafsir dan hadits.
Jika jihad telah menjadi fardhu ‘ain, maka tidak ada bedanya antara jihad dengan sholat dan shaum menurut ketiga madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i), sedang menurut madzhab Hanbali didahulukan sholat…
Jika jihad telah menjadi fardhu ‘ain maka tidak perlu izin kepada kedua orang tua sebagaimana tidak perlunya izin kepada kedua orang tua untuk melaksanakan sholat Subuh atau shaum Ramadhan.
Pada saat jihad menjadi fardhu ‘ain, maka tidak ada bedanya antara orang yang tidak berjihad tanpa udzur dengan orang yang tidak shaum Ramadhan padahal ia tidak mempunyai udzur.
(Pada saat jihad menjadi fardhu ‘ain) Seberapapun besarnya harta yang disumbangkan tetap tidak bisa mewakili jihad dengan nyawa, dan kewajiban jihad tetap ada di pundaknya. Maka sebagaimana ia tidak bisa mengganti sholat dan shaum dengan membayar seberapapun besarnya harta, demikian juga dengan jihad.”

Catatan Sangat Penting dari Ulama
Dalam jihad normal (jihad ofensif), kaum muslimin boleh mundur ketika kekuatan musuh lebih dari dua kali lipat kekuatan tentara Islam. Namun dalam jihad defensif, meski kekuatan musuh berkali-kali lipat dari kekuatan kaum muslimin, kaum muslimin tidak boleh mundur. Musuh harus dilawan, sesuai dengan kemampuan yang ada.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :

وَقِتَالُ الدَّفْعِ مِثْلُ أَنْ يَكُونَ اْلعَدُوُّ كَثِيراً لاَ طَاقَةَ لِلْمُسْلِمْينَ بِهِ لَكِنْ يُخَافُ إِنِ انْصَرَفُوا عَنْ عَدُوِّهِمْ عَطَفَ الْعَدُوُّ عَلَى مَنْ يَخْلُفُونَ مِنَ اْلمُسْلِمِينَ فَهُنَا قَدْ صَرَّحَ أَصْحَابُنَا بِأَنَّهُ يَجِبُ أَنْ يَبْذُلُوا مُهَجَهُم ومُهَجَ مَنْ يُخَافُ عَلَيهِمْ فِي الدَّفْعِ حَتىَّ يَسْلَمُوا، وَنَظِيرُهَا أَنْ يَهْجُمَ اْلعَدُوُّ عَلَى بِلاَدِ اْلمُسْلِمِينَ وَتَكُونُ المُقَاتِلَةُ أَقَلَّ مِنَ النِّصْفِ فَإِنِ انْصَرَفُوا اِسْتَولَوْا عَلَى الْحَرِيمِ ، فَهَذَا وَأَمْثَالُهُ قِتَالُ دَفْعٍ لاَ قِتَالُ طَلَبٍ لاَ يَجُوزُ ْالاِنْصِرَافُ فِيهِ بِحَالٍ ، وَوَقْعَةُ أُحُدٍ مِنْ هَذَا اْلبَابِ

“ Perang defensif seperti ketika musuh banyak dan kaum muslimin tidak mampu melawan mereka namun ditakutkan kalau kaum muslimin menghindar dari musuh, maka musuh akan menyerang orang-orang yang ada dibelakang kaum muslimin, maka dalam kondisi seperti ini para teman kami (ulama’ Hambali) menegaskan wajib bagi kaum muslimin mengerahkan nyawa mereka dan nyawa orang yang mereka takutkan keselamatannya untuk melawan musuh sampai mereka selamat. Contoh semisal adalah ketika orang-orang kafir menyerang negara Islam sedangkan orang yang berperang tidak mencapai setengah, jika mereka menghindar, musuh akan menguasai kaum wanita (tentunya juga anak-anak, orang tua, pent). Kasus ini dan contoh yang semisal termasuk dalam kategori perang defensife bukan ofensif, sama sekali tidak boleh menghindar dari medan perang, dan perang Uhud termasuk dalam bab (kategori) ini.”
Beliau juga berkata :

فَأَمَّا إِذَا أَرَادَ الْعَدُوُّ اْلهُجُومَ عَلَى اْلمُسْلِمِينَ فَإِنَّهُ يَصِيرُ دَفْعُهُ وَاجِباً عَلَى اْلمَقْصُودِينَ كُلِّهِمْ وَعَلَى غَيْرِ اْلمَقْصُودِينَ ِلإِعَانَتِهِمْ كَمَا قَالَ تَعَالَى : وَإِنِ اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَليَكمُ ُالنَّصْرُ ، وَكَمَا أَمَرَ النَّبِيُّ  بِنَصْرِ اْلمُسْلِمِ ، وَسَوَاءٌ أَكَانَ الرَّجُلُ مِنَ اْلمُرْتَزِقَةِ لِلْقِتَالِ أَوْ لَمْ يَكُنْ. وَهَذَا يَجِبُ بِحَسْبِ اْلإِمْكَانِ عَلَى كُلِّ أَحَدٍ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ مَعَ الْقِلَّةِ وَالْكَثْرَةِ وَالْمَشْيِ وَالرُّكُوبِ ، كَمَا كَانَ الْمُسْلِمُونَ لَمَّا قَصَدَهُمُ الْعَدُوُّ عَامَ الْخَنْدَقِ لَمْ يَأْذَنِ اللهُ فِي تَرْكِهِ أَحَداً كَمَا أَذِنَ فِي تَرْكِ اْلجِهَادِ اِبْتِدَاءً لِطَلَـبِ الْعَدُوِّ، وَالَّذِي قَسَّمَهُمْ فِيهِ إِلىَ قَاعِدٍ وَخَارِجٍ ، َبلْ ذَمَّ الَّذِينَ يَسْتَأْذِنُونَ النَّبِيَّ يَقُولُونَ إِنَّ بُيُوتَنَا عَوْرَةٌ ، فَهَذَا دَفْعٌ عَنِ الدِّينِ وَالْحُرْمَةِ وَاْلأَنْفُسِ وَهُوَ قِتَالُ اضْطِرَارٍ

" Adapun jika musuh akan (ingin) menyerang kaum muslimin, maka wajib hukumnya melawannya atas seluruh kaum muslimin yang akan diserang, dan kaum muslimin yang tidak diserang untuk membantu. Sebagaimana firman Allah Ta'ala (Jika mereka meminta pertolongan kalian dalam membela agama, maka wajib bagi kalian untuk membantu mereka, QS. 8:72) Juga berdasar perintah Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam untuk senantiasa menolong muslim yang lain. (Hukum ini berlaku) baik ia seorang yang mempunyai harta untuk berperang maupun tidak mempunyai harta.
Hukumnya wajib atas setiap individu sesuai kemampuan, dengan nyawa dan hartanya, baik sedikit maupun banyak, dengan berjalan atau berkendaraan. Ini sebagaimana kondisi kaum muslimin saat diserang musuh pada tahun Khandaq.
Dalam perang itu, Allah Ta'ala tidak mengizinkan seorangpun untuk tidak berjihad. (ini berbeda kondisi dengan) sebagaimana Allah mengizinkan untuk tidak berjihad bila jihadnya adalah menyerang musuh (Jihadu Thalab). di mana Allah membagi kaum muslimin menjadi dua kelompok : kelompok yang tidak berperang (qo'id) dan kelompok yang berperang (khorij). (Dalam perang Khandaq yang hukumnya fardhu ain, Allah tidak memberi izin seorangpun yang memenuhi syarat untuk tidak berjihad, pent) bahkan Allah Ta'ala mencela orang-orang yang meminta izin kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam untuk tidak berjihad dengan mengatakan rumah-rumah kami terbuka (tidak ada yang menjaga). (Karena) Perang ini adalah untuk membela agama, kehormatan dan nyawa, maka ia merupakan perang karena kondisi darurat."
Imam Ibnu Qayyim mengatakan :

فَقِتَالُ الدَّفْعِ أَوْسَعُ مِنْ قِتَالِ الطَّلَبِ وَأَعَمُّ وُجُوباً, وَلِهَذَا يَتَعَيَّنُ عَلَى كُلِّ أَحَدٍ ، يُجَاهِدُ فِيهِ اْلعَبْدُ بِإِذْنِ سَيِّدِهِ وَبِدُونِ إِذْنِهِ ، وَالْوَلَدُ بِدُونِ إِذْنِ أَبَوَيهِ ، وَالْغَرِيمُ بِدُونِ إِذْنِ غَرِيمِهِ . وَهَذَا جِهَادُ اْلمُسْلِمِينَ يَومَ أُحُدٍ وَالْخَنْدَقِ وَلاَ يُشْتَرَطُ فِي هَذَا النَّوْعِ مِنَ الْجِهَادِ أَنْ يَكُونَ الْعُدُوُّ ضَعْفَيْ اْلمُسْلِمِينَ فَمَا دُونَ فَإِنَّهُمْ كَانُوا يَوْمَ أُحُدٍ وَالْخَنْدَقِ أَضْعَافَ الْمُسْلِمِينَ, فَكَانَ الْجِهَادُ وَاجِباً عَلَيهِمْ ِلأَنَّهُ جِهَادُ ضَرُورَةٍ وَدَفْعٍ لاَجِهَادُ اِخْتِيَارٍ

“ Perang defensif lebih luas dan lebih umum kewajibannya dari perang ofensif. Karena itu perang defensif wajib atas setiap individu. Seorang budak berperang baik dengan izin tuannya maupun tidak, seorang anak berperang meskim tanpa izin orang tuanya, orang yang berhutang berperang meski tanpa izin orang yang mempiutangi. Inilah jihad kaum muslimin pada perang Uhud dan Khandaq. Dalam perang defensif ini, tidak disyaratkan musuh dua kali lipat kaum muslimin atau kurang dari itu, karena pada saat perang Uhud dan Khandaq jumlah musuh berlipat-lipat dari jumlah kaum muslimin. Jihad tetap wajib atas mereka karena saat itu jihad darurat (terpaksa), bukan karena jihad pilihan sendiri.”
Seperti telah disebutkan dalam penjelasan sebelumnya, hukum asal jihad yang semula fardhu kifayah akan menjadi fardhu ‘ain manakala tentara kaum muslimin yang melaksanakan jihad tidak mampu menuntaskan pekerjaan (tujuan jihad) yaitu tegaknya kalimat Allah ta’ala dan terusirnya musuh. Maka ketika penduduk negeri yang diserang tidak mampu mengusir musuh, maka fardhu ‘ain atas penduduk negeri-negeri Islam lain untuk membantu mengusir musuh, sekalipun semula fardhu kifayah atas mereka membantu negeri yang diserang.
Imam Al Qurthubi mengatakan :

كُلُّ مَنْ عَلِمَ بِضَعْفِهِمْ عَنْ عَدُوِّهِمْ وَعَلِمَ أَنَّهُ يُدْرِكُهُمْ وَيُمْكِنُهُ غِيَاثُهُمْ لَزِمَهُ أَيْضاً الْخُرُوجُ إِلَيهِمْ
“ Siapa saja mengetahui kelemahan kaum muslimin dalam menghadapi musuh, dan ia mengetahui bahwa ia bisa membantu mereka; maka ia juga wajib keluar berperang mengusir musuh.”

3. Hukum Jihad Melawan Orang-Orang Kafir yang Menawan Sebagian Kaum Muslimin
Ketika musuh menawan sebagian kaum muslimin, umat Islam berkewajiban membebaskannya, baik dengan cara diplomasi damai, tukar menukar tawanan, membayar tebusan, maupun cara-cara damai lainnya yang dibenarkan oleh syariat. Bila semua cara gagal, umat Islam wajib berjihad untuk membebaskan kaum muslimin yang tertawan. Para ulama menyebutkan, hukum jihad melawan orang-orang kafir yang menawan sebagian kaum muslimin ini, adalah fardhu kifayah. Namun bila ia tidak terlaksana dengan tuntas, dan tawanan tidak bisa dibebaskan, hukum jihad menjadi fardhu 'ain.
Hal ini berdasar kepada beberapa dalil :
(a). Firman Allah Ta'ala :

وَمَالَكُمْ لاَتُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَآءِ وَالْوِلْدَانِ الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَآأَخْرِجْنَا مِنْ هَذِهِ الْقَرْيَةِ الظَّالِمِ أَهْلُهَا وَاجْعَل لَّنَا مِن لَّدُنكَ وَلِيًّا وَاجْعَل لَّنَا مِن لَّدُنكَ نَصِيًرا
“ Mengapa kalian tidak mau berperang di jalan Allah dan membela orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita maupun anak-anak yang semuanya berdo’a,” Ya Allah, keluarkanlah kami dari negeri yang penduduknya dzalim ini dan berilah kami pelindung dari sisi-Mu dan berilah kami penolong dari sisi-Mu”. (QS. AnNisa’: 4:75).
Imam Abu Bakar ibnu al Araby al Maliky berkata :
[قَالَ عُلَمَاؤُنَا : أَوْجَبَ اللهُ سُبْحَانَهُ فِي هَذِهِ ْالآيَةِ اْلقِتَالَ ِلاسْتِنْقَاذِ اْلأَسْرَى مِنْ يَدِ اْلعَدُوِّ مَعَ مَا فِي اْلقِتَالِ مِنْ تَلَفِ النُّفُوسِ ، وَكَانَ بَذْلُ اْلمَالِ فِي فِدَائِهِمْ أَوْجَبَ لِكَوْنِهِ دُونَ النَّفْسِ وَأَهْوَنَ مِنْهَا ، وَقَدْ رَوَى اْلأَئِمَّةُ أَنَّ النَّبِيَّ  قَالَ : (أَطْعِمُوا اْلجَائِعَ ، وَعُودُوا ْالمَرِيضَ ، وَفَكُّوا ْالعَانِي) ، وَقَدْ قَالَ مَالِكٌ : (عَلَى النَّاسِ أَنْ يَفْدُوا ْالأُسَارَى ِبجَمِيعِ أَمْوَالِهِمْ ، وَلِذَلِكَ قَالَ : عَلَيهِمْ أَنْ يُوَاسُوهُمْ ، فَإِنَّ اْلمُوَاسَاةَ دُونَ اْلمُفَادَاةِ]
" Dalam ayat ini ada beberapa masalah;
Pertama. Para ulama kami menyatakan, dalam ayat ini Allah mewajibkan perang untuk membebaskan tawanan dari tangan musuh meskipun dalam perang itu ada nyawa yang melayang. Adapun mengeluarkan harta untuk menebus mereka, hukumnya lebih wajib lagi karena lebih ringan dari mengorbankan nyawa. Para ulama telah meriwayatkan bahwasanya Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Berilah makan orang yang lapar, jenguklah orang yang sakit dan bebaskanlah tawanan !.” Imam Malik mengatakan,” Manusia wajib membebaskan tawanan (meskipun menghabiskan–pent) dengan seluruh harta mereka." Karena itu, imam Malik mengatakan," Kaum muslimin harus menyantuni (menolong) mereka, karena menyantuni (menolong) lebih ringan dari menebus."
Keempat. Jika terjadi mobilisasi umum karena musuh telah menguasai daerah umat Islam atau menguasai tawanan, maka mobilisasi itu menjadi umum dan wajib keluar perang baik dalam keadaan ringan maupun berat, berjalan kaki maupun berkendaraan, merdeka maupun budak, orang yang mempunyai bapak keluar tanpa harus minta izin bapaknya demikian juga yang tak mempunyai bapak, sampai agama Allah menang, daerah umat Islam terlindungi, musuh terkalahkan dan tawanan terbebaskan. Dan dalam hal ini tak ada perbedaan pendapat."
Imam Al-Qurthubi berkata :

قَولُهُ تَعَالَى ( وَمَا لَكُمْ لا تُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ) : حَضٌّ عَلَى الْجِهَادِ ، وَهُوَ يَتَضَمَّنُ تَخْلِيصَ اْلمُسْتَضْعَفِينَ مِنْ أَيْدِي اْلكَفَرَةِ اْلمُشْرِكِينَ الَّذِينَ يَسُومُونَهُمْ سُوءَ الْعَذَابِ وَيَفْتِنُونَهُمْ عَنِ الدِّينِ ، فَأَوْجَبَ تَعَالَى اْلجِهَادَ ِلإِعْلاَءِ كَلِمَتِهِ وَإِظْهَارِ دِينِهِ وَاْستِنْقَاذِ اْلمُؤْمِنِينَ الضُّعَفَاءِ مِنْ عِبَادِهِ وَإِنْ كَانَ فِي ذَلِكَ تَلَفُ النُّفُوسِ ، وَتَخْلِيصُ اْلأُسَارَى وَاجِبٌ عَلَى جَمَاعَةِ اْلمُسْلِمِينَ إِمَّا بِالْقِتَالِ وَإِمَّا بِاْلأَمْوَالِ وَذَلِكَ أَوْجَبُ لِكَوْنِهَا دُونَ النُّفُوسِ إِذْ هِيَ أَهْوَنُ مِنْهَا ، قَالَ مَالِكٌ : وَاجِبٌ عَلَى النَّاسِ أَنْ يَفْدُوا اْلأُسَارَى بِجَمِيعِ أَمْوَالِهِمْ ، وَهَذَا لاَ خِلاَفَ فِيهِ"
" Ini merupakan sebuah hasungan untuk berjihad, dan mengandung (perintah) untuk membebaskan orang-orang yang tertindas (lemah) dari tangan orang-orang kafir musyrik yang menyiksa dengan keji dan menghalang-halangi (fitnah) mereka dari melaksanakan ajaran dien. Allah Ta'ala mewajibkan jihad untuk meninggikan kalimat-Nya, memenangkan dien-Nya dan membebaskan hamba-hamba-Nya yang beriman dan lemah. Sekalipun dalam jihad tersebut akan ada nyawa yang melayang. Membebaskan para tawanan adalah wajib atas jama'ah mulimin, baik dengan perang maupun dengan harta, yang juga wajib karena lebih ringan dari perang. Imam Malik berkata," Masyarakat wajib menebus para tawanan dengan seluruh harta mereka." Dan dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat."
Imam Al Qarafy berkata," Sebab (jihad) keempat. Imam Al Lakhmy berkata: Membebaskan tawanan berdasar firman Allah (Mengapa kalian tidak mau berperang di jalan Allah dan membela orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita maupun anak-anak yang semuanya berdo’a,” Ya Allah, keluarkanlah kami dari negeri yang penduduknya dzalim ini dan berilah kami pelindung dari sisi-Mu dan berilah kami penolong dari sisi-Mu." QS. An Nisa’: 75).
Pengarang Shahibul Bayan menyatakan,” Wajib bagi imam untuk membebaskan tawanan dengan harta baitul mal. Jika harta baitul mal kurang, maka wajib membebaskan mereka dengan seluruh harta kaum muslimin, masing-masing sesuai dengan kemampuannya."
(b). Juga firman Allah Ta'ala :

ثُمَّ أَنتُمْ هَآؤُلآءِ تَقْتُلُونَ أَنفُسَكُمْ وَتُخْرِجُونَ فَرِيقًا مِّنكُم مِّن دِيَارِهِمْ تَظَاهَرُونَ عَلَيْهِم بِاْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَإِن يَأْتُوكُمْ أُسَارَى تُفَادُوهُمْ وَهُوَ مُحَرَّمٌ عَلَيْكُمْ إِخْرَاجُهُمْ أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَاجَزَآءُ مَن يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنكُمْ إِلاَّ خِزْيُُ فيِ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلىَ أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
“ Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan daripada kamu dari kampung halamannya, kamu bantu-membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan; tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebagian dari Al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (QS. Al Baqoroh: 85).
Dalam ayat ini, Allah Ta'ala mengambil perjanjian dari Bani Israil untuk tidak melakukan tiga kejahatan : memerangi saudara sebangsa sendiri, mengusir saudara sebangsa sendiri dari negeri mereka dan bahu membahu dengan musuh dalam memerangi saudara sebangsa sendiri. Ketiga larangan ini mereka langgar, namun mereka masih menyisakan satu kebaikan, yaitu apabila ada saudara sebangsa sendiri yang tertawan oleh musuh dan dijadikan budak, mereka masih mau membeli dan membebaskan si tawanan tersebut. Meski demikian, Allah menegur mereka dengan keras dan menyatakan mereka mengimani sebagian Al-Kitab dan mengkufuri sebagian lainnya.
Imam Al Qurthubi mengatakan tentang makna ayat ini (tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, Al-Baqarah :85):

[وَلَعَمْرُ اللهِ لَقَدْ أَعْرَضْنَا نَحْنُ عَنِ اْلجَمِيعِ بِالْفِتَنِ فَتَظاهَرَ بَعْضُنَا عَلَى بَعْضٍ ، لَيْتَ بِالْمُسْلِمِينَ بَلْ بِالْكَافِرِينَ حَتَّى تَرَكْنَا إِخْوَانَنَا أذِلاَّء َصَاغِرِينَ ، يَجْرِي عَلَيهِمْ حُكْمُ اْلمُشْرِكِينَ ، فَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ اْلعَلِيِّ اْلعَظِيمِ . قَالَ عُلَمَاؤُنَا : فِدَاءُ اْلأُسَارَى وَاجِبٌ وَإِنْ لَمْ يَبْـقَ دِرْهَمٌ وَاحِدٌ .
قَالَ ابْنُ خُوَيزِمِنْدَادَ : (تَضَمَّنَتِ اْلآيَةُ وُجُوبَ فَكِّ اْلأَسْرَى وَبِذَلِكَ وَرَدَتِ اْلآثاَرُ عَنِ النَّبِيَّ  أَنَّهُ فَكَّ اْلأُسَارَى وَأَمَرَ بِفَكِّهِمْ ، وَجَرَى بِذَلِكَ عَمَلُ اْلمُسْلِمِينَ وَانْعَقَدَ بِهِ اْلإِجْمَاعُ)
“ Demi Allah, kita telah berpaling dari seluruh perintah Allah (keempat perintah dalam ayat ini, pent) dengan berbagai fitnah (perang saudara, pent), maka sebagian kita bekerja sama memusuhi sebagian yang lain. Bukan bekerja sama dengan kaum muslimin, namun dengan kaum kafir (dalam memusuhi saudara seiman, pent), sehingga kita membiarkan saudara-saudara kita hina dan tertundukkan (terjajah), atas diri mereka diberlakukan hukum-hukum kaum musyrik. La haula walaa quwwata illa billahil 'aliyyil 'adzim. Para ulama kami mengatakan,” Menebus para tawanan itu wajib meski akhirnya tak tersisa harta satu dirhampun.”
Imam Ibnu Khuwaizi Mindad mengatakan:
" Ayat ini mengandung perintah wajibnya membebaskan tawanan. Dalam hal ini ada hadits-hadits Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam yang menyatakan beliau menebus para tawanan dan menyuruh membebaskan mereka. Itulah yang diamalkan oleh kaum muslimin dan telah tercapai ijma’ dalam hal ini.” Wajib membebaskan tawanan dengan harta baitul mal, kalau tidak ada maka wajib bagi seluruh kaum muslimin. Siapa di antara mereka sudah melakukannya berarti telah menggugurkan kewajiban itu atas yang lain.”

قَالَ مَالِكٌ رَحِمَهُ اللهُ : يَجِبُ عَلَى النَّاسِ فِدَاءُ أَسْرَاهُمْ وَإِنِ اسْتَغْرَقَ ذَلِكَ أَمْوَالَهُمْ. وَهَذَا إِجْمَاعٌ أَيْضًا
Imam Malik rahimahullah berkata,” Manusia wajib menebus tawanan-tawanan mereka sekalipun menghabiskan seluruh harta mereka. Ini juga sudah menjadi ijma’."
(c). Hadits Ibnu Umar :

عَنِ عَبْدِاللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِي اللَّه عَنْهمَا أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,” Seorang muslim adalah saudara bagi seorang muslim lainnya. Ia tidak akan menzaliminya atau menyerahkannya kepada musuh. Barangsiapa mengurus keperluan saudaranya, Allah akan mengurus keperluannya. Barang siapa menghilangkan kesulitan seorang muslim, Allah akan menghilangkan darinya satu kesusahan di hari kiamat. Dan siapa menutupi (aib) seorang muslim, Allah akan menutupi (aib)nya di hari kiamat."
(d). Hadits Abu Hurairah :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَنَاجَشُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَلَا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ وَلَا يَحْقِرُهُ *
Dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam bersabda," Janganlah kalian saling iri ! Janganlah kalian saling jual beli menipu ! Janganlah kalian saling membenci ! Janganlah kalian saling membelakangi ! Janganlah kalian menawar barang yang sedang ditawar orang lain ! Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara ! Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain. Ia tidak akan menzaliminya, mentelantarkannya ataupun merendahkannya."
Imam An Nawawi berkata :

" وَأَمَّا لاَ يَخْذُلُهُ : فَقَالَ اْلعُلَمَاءُ : اَلْخَذْلُ تَرْكُ اْلإِعَانَةِ وَالنَّصْرِ ، وَمَعْنَاهُ : إِذَا اسْتَعَانَ بِهِ فِي دَفْعِ السُّوءِ وَنَحْوِهِ لَزِمَهُ إِعَانَتُهُ إِذَا أَمْكَنَهُ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ عُذْرٌ شَرْعِيٌّ"
" Laa yakhdzuluhu" para ulama berkata, al-khadzlu adalah tidak membantu dan tidak menolong, Maknanya, jika seorang muslim meminta bantuannya untuk menolak keburukan dan hal yang serupa dengannya, ia wajib memberi bantuan selama memungkinkan dan tidak mempunyai udzur syar'i."
(e). Hadits Abu Musa Al-Asy'ari :

عَنْ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَطْعِمُوا الْجَائِعَ وَعُودُوا الْمَرِيضَ وَفُكُّوا الْعَانِيَ
Dari Abu Musa ia berkata, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,” Beri makan orang yang lapar, jenguklah orang yang sakit dan bebaskanlah orang yang ditawan musuh.”
(f). Hadits Abu Juhaifah Wahab bin Abdillah :

عَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ رَضِي اللَّه عَنْه قَالَ قُلْتُ لِعَلِيٍّ رَضِي اللَّه عَنْه هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ مِنَ الْوَحْيِ إِلَّا مَا فِي كِتَابِ اللَّهِ ؟ قَالَ لَا. وَالَّذِي فَلَقَ الْحَبَّةَ وَبَرَأَ النَّسَمَةَ مَا أَعْلَمُهُ إِلَّا فَهْمًا يُعْطِيهِ اللَّهُ رَجُلًا فِي الْقُرْآنِ وَمَا فِي هَذِهِ الصَّحِيفَةِ. قُلْتُ وَمَا فِي الصَّحِيفَةِ ؟ قَالَ الْعَقْلُ وَفَكَاكُ الْأَسِيرِ وَأَنْ لَا يُقْتَلَ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ
Abu Juhaifah radiyallahu 'anhu berkata," Saya bertanya kepada Ali bin Abi Thalib : Apakah engkau mempunyai catatan wahyu selain yang ada dalam kitabullah ?" Ali menjawab," Tidak. Demi Allah yang telah membelah biji dan menumbuhkan tunas. Saya tidak mengetahui catatan wahyu tersebut selain pemahaman Al-Qur'an yang dikaruniakan oleh Allah kepada seseorang, dan apa yang tertulis dalam lembaran-lembaran ini." Aku bertanya," Apa yang tertulis dalam lembaran-lembaran itu ?" Ali menjawab," Hukuman denda (diyat atas pembunuhan atau melukai), membebaskan tawanan dan seorang muslim yang membunuh seorang kafir tidak bisa dikenai hukuman mati."
Imam Ibnu Bathal berkata:

فَكَاكُ اْلأَسِيرِ وَاجِبٌ عَلىَ الْكِفَايَةِ وَبِهِ قَالَ اْلجُمْهُورُ
” Membebaskan tawanan hukumnya fardhu kifayah, dan ini merupakan pendapat mayoritas ulama."
Imam Ibnu Abidin Al-Hanafy berkata :

وَفِي اْلبَزَّازِيَّةِ : مُسْلِمَةٌ سُبِيَتْ بِالْمَشْرِقِ وَجَبَ عَلَى أَهْلِ اْلمَغْرِبِ تَخْلِيصُهَا مِنَ اْلأَسْرِ مَا لَمْ تَدْخُلْ دَارَ اْلحَرْبِ
” Dalam Al-Fatawa Al-Bazaziyah disebutkan: jika seorang muslimah ditawan di bumi belahan Timur, maka wajib bagi umat Islam di bumi belahan Barat untuk membebaskannya selama belum masuk negara kafir. Bahkan dalam kitab Adz Dzakhirah disebutkan wajib bagi setiap yang mempunyai kekuatan untuk mengejar mereka demi membebaskan anak-anak dan wanita yang tertawan meskipun telah masuk negara kafir."
Imam Abu Yahya Zakaria Al-Anshari (926 H) mengatakan :
” Kalau mereka menawan seorang muslim dan kita masih mempunyai harapan bisa membebaskannya dari tangan mereka, maka wajib ‘ain jihad melawan mereka sekalipun mereka tidak masuk negara kita karena kehormatan seorang muslim lebih besar dari kehormatan negara. Juga karena hadits Imam Bukhari, ”Bebaskan tawanan.” Jika kita tidak mempunyai harapan bisa membebaskannya maka jihad tidak menjadi fardhu ‘ain tetapi kita akhirkan karena dharurah (terpaksa).”
Imam Abi Zaid al Qairawany menyatakan:" Jihad ada dua: fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Fardhu ‘ain untuk membebaskan tawanan, memenuhi nadzar, mobilisasi dari imam dan musuh yang menyerang suatu kaum (daerah umat Islam). "
Imam Ibnul Juzi Al-Maliki berkata,” Jihad menjadi fardhu ‘ain dengan tiga sebab :
a) Perintah Imam. Siapa saja ditunjuk oleh imam wajib berangkat.
b) Musuh menyerang sebagian wilayah kaum muslimin. Penduduk wilayah yang diserang wajib melawan. Jika mereka tidak mampu mengatasinya, maka wajib atas kaum muslimin yang terdekat dengan mereka untuk membantu. Jika ternyata juga tidak teratasi, maka wajib bagi segenap kaum muslimin memberikan bantuan hingga musuh dapat diatasi.
c) Membebaskan tawanan-tawanan muslim dari tangan orang-orang kafir.
Syaikh Ibrohim bin Abdur Rohim Al-Hudzri berkata,” Jihad akan menjadi fardlu ‘ain pada situasi dan kondisi sebagai berikut:
a) Bila musuh menyerang negeri kaum muslimin sebagaimana yang banyak terjadi pada hari ini.
b) Saat Imam menyerukan seruan jihad secara umum.
c) Sewaktu berhadapan dengan musuh, maka ketika itu tidak boleh meninggalkan medan perang.
d) Wajib bagi orang yang telah ditunjuk oleh Imam.
e) Wajib bagi tentara sebuah negeri.
f) Ketika mulai pertempuran.
g) Ketika orang kafir menawan beberapa kaum muslimin dan menjadikannya tebusan.
Syaikh Yusuf bin Sholih Al-'Ayiri mengatakan," Memerangi orang kafir di negeri mereka berubah menjadi fardhu 'ain, dalam beberapa bentuk yang disebutkan oleh para ulama, sebagai berikut :
a). Jika imam kaum muslimin menunjuk personal muslim tertentu untuk berjihad.
b). Jika terjadi mobilisasi umum, yaitu saat imam kaum muslimin memerintahkan penduduk sebuah negeri atau daerah.
c). Jika sebagian kaum muslimin menjadi tawanan di tangan orang-orang kafir, sampai mereka terbebaskan.
d). Jika seorang muslim hadir dalam barisan tentara Islam yang sedang bertempur melawan tentara kafir, maka wajib baginya turut berjihad.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan berikan nasehat anda :